BAHASA DAN JENIS KELAMIN
. Tindak Tutur Wanita dengan Pria
Tidak tutur wanita memang berbeda dengan pria, Mulgtamiah dan Basuki mengutip beberapa pandangan para pakar dialektologi “tradisional” tentang wanita yang akan dijadikan informan. Itu Wanita cenderung yang mempunyai sikap “hiperkolek” sehingga dianggap mengaburkan situasi yang sebenarnya dikehendaki oleh para peneliti. Karena mereka dianggap warga Negara “kelas dua” seperti itu mereka menghadirkan emansipasi.
Karena posisi seperti itu wanita berusaha keras dengan segala cara untuk “meningkatkan” dirinya sederajat dengan laki-laki dan salah satu cara yang efektif adalah dengan memahami bahasa ragam baku sebaik-baiknya, karena ragam baku mempunyai konotasi terpelajar, berstatus, berkualitas, kompoten, independen, dan kuat.
Namun dilain pihak ada pula yang cederung memakai wanita sebagai responden seperti dilakukan oleh Wartburg (1925:133); “Sepanjang menyangkut bahasa, setiap orang tahu wanita itu konservatif dari pada pria, mereka lebih fanatik menyimpan tutur warisan bahasa kita”.pendapat ini ditunjang oleh Coates (1987:42); “Wanita itu hampir tidak pernah meninggalkan desanya, tidak seperti pria; wanita tinggal di rumah dan berbincang dengan sesama wanita lain, dan tidak bergaul dengan orang asing, wanita tidak mengikuti wajib militer”.
Samarin (1967) menyatakan: “lebih bijaksana kalau seorang peneliti pertama-tama bekerja dengan informan wanita jika pertanyaannya menyangkut urusan rumah atau hal-hal yang menyangkut kewanitaan.
2. Perbedaan Tindak Tutur Wanita dengan Pria
a. Gerak Anggota Badan dan Ekspresi Wajah
Perbedaan pria dengan wanita itu mungkin tidak langsung menyangkut masalah bahasa atau strukturnya, melainkan hal-hal yang membarengi tutur. Hal-hal lain yang membarengi itu adalah gerak anggota badan (gesture) dan ekspresi wajah.
Gesture adalah gerak anggota badan seperti kepala, tangan, jari yang menyertai tutur. Contohnya orang yang mengatakan “ya” akan menganggukkan kepalanya sedangkan orang yang mengatakan “tidak” akan menggelengkan kepala.
b. Suara dan Intonasi
Banyak orang yang bisa mengenal suara pria atau wanita, karena secara umum bisa dikatakan volume suara pria relatif lebih besar daripada wanita. Dalam dunia seni suara kita kenal golongan suara pria dan wanita. Pada wanita misalnya, ada suara alto dan sopran, pada pria ada suara tenor dan bass. Semua ini tentu berhubungan dengan organ-organ tubuh penghasil suara. Kita juga bisa merasakan dalam hal bicara, setidaknya terlihat pada beberapa suku di Indonesia, suara wanita lebih lembut dibandingkan dengan suara pria. Hal ini sedikit banyak berkaitan dengan nilai sosial (social value) atau tata krama dan sopan santun yang terdapat pada orang itu.
c. Fonem sebagai ciri pembeda
Vokal pada tutur wanita, dalam banyak logat atau ragam bahasa Inggris Amerika, telah ditemukan posisinya lebih “meminggir” atau “menepi” (lebih kedepan, kebelakang, lebih tinggi atau lebih rendah) dibandingkan vokal pria. Ada dua fonem yang khusus untuk pria dan untuk wanita dalam bahasa Yukaghir, Asia Timur Laut. Keduanya dilafalkan sama oleh anak-anak yang sama dilafalkan oleh wanita dewasa dan berbeda pada wanita usia tua. Lafal pria dewasa berbeda dengan lafal pada waktu kanak-kanak mereka, dan berbeda pula ketika mereka sudah tua. Perkembangan itu dapat diskemakan demikian
Kanak-kanak Dewasa Tua
P : / tz / , / dz / / tj / , / dj / / cj / , / jj /
W : / tz / , / dz / / tz / , / dz / / cj / , / jj /
d. Kasus Hindia Barat
Ketika orang-orang Eropa pertama kali tiba di kepulauan Antillen Kecil, Hindia Barat dan mengadakan kontak dengan orang Indian Karibia. Mereka menemukan pria dan wanita menggunakan bahasa yang berbeda, pengamatan selanjutnya menunjukkan sebenarnya mereka itu bukan menggunakan bahasa yang berbeda, melainkan hanya ragam yang berbeda dalam satu bahasa dan itupun hanya menyangkut kosakata dalam frase.
e. Teori Tabu
Tabu memegang peranan penting dalam bahasa. Ilmu ini memperhatikan tabu sebagai berubahnya makna kata. Sebuah kata yang ditabukan tidak dipakai, kemudian digunakan kata lain yang sudah mempunyai makna sendiri. Akibanya, kata yang di tabukan itu memperoleh beban makna tambahan. Tabu itu tidak hanya menyangkut ketakutan terhadap roh gaib, melainkan juga berkaitan dengan sopan santun dan tata krama pergaulan sosial, orang yang tidak ingin dianggap tidak sopan akan menghindarkan penggunaan kata-kata tertentu, contohnya adalah penabuaan kata yang hampir sama bunyinya dengan bunyi kata yang di tabukan itu apa yang pernah terjadi di Malaysia. Di Malaysia kata butuh di tabukan karena dianggap porno.
f. Teori sistem kekerabatan
Bahasa Chiqiuto, bahasa Indian Amerika di Bolivia, bila seorang wanita ingin mengatakan kakak saya laki-laki, ia mengetakan icibausi, sedangkan pria mengatakan tsaruki. Perbedaan kosakata ini jelas bukan karena masalah tabu, melainkan akibat dari sistem kekerabatan dan sistem jenis kelamin. Perbedaan kata itu di dasarkan atas jenis kelamin penutur atau orang yang menyapa. Cara ini di temukan pada hubungan lain, misalnya :
Penutur Pria Penutur Wanita
‘ayah saya’ ijai isupu
‘ibu saya’ ipaki ipapa
Perbedaan ini bertolak belakang dengan yang ada dalam Bahasa Indonesia, perbedaan didasarkan pada orang yang disapa atau yang disebut, bukan kepada orang bertutur. Kata paman atau bibi mengacu pada jenis kelamin yang berbeda dari orang yang kita sapa.
g. Konservatif dan Inovatif
Ada situasi yang menarik dalam perbedaan ragam tutur pria dan wanita yang tidak bisa dijelaskan dengan teori tabu. Situasi itu adalah yang terdapat dalam bahasa Koasati, suatu bahasa Indian Amerika. Perbedaan ragam ini melibatkan fonologi dan bentuk-bentuk kata ganti persona. Contohnya :
Makna Pria Wanita
‘dia sedang berkata’ / ka:s / / ka: /
‘itu jangan diangkat’ / lakauci:s / / lakaucin /
Tutur pria cenderung mengarah kepada bunyi / s / pada bagian akhir kata, sedangkan wanita tidak demikian. Jika seorang anak laki-laki mengatakan /ka:/ misalnya, ibunya akan memperingatkan itu tidak benar, dan berkata “jangan begitu, kau harus mengatakan /ka:s/ (harus ada / s / -nya)”.
h. Sikap Sosial dan Kejantanan
Berdasarkan hasil survei telah dinyatakan bahwa perhitungan faktor kelas sosial, etnik dan umur para wanita secara konsekuen menggunakan bentuk-bentuk yang lebih mendekati bentuk-bentuk ragam baku atau logat dengan prestise tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk yang digunakan pria. Dengan kata lain, para wanita Inggris (yang modern) seperti halnya wanita Koasati (yang modern) menggunakan bentuk-bentuk yang dianggap lebih baik daripada yang digunakan pria.
Keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berperan karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda.
i. Prestise Tersembunyi
Dalam hal ini ada pendapat yang mengatakan bahwa ragam bahasa non baku dan kelas buruh rendahan itu juga mempunyai “prestise” dan ini khusus dimiliki oleh pria (yang umumnya pekerja rendah). Labov menamakan jenis prestise ini sebagai prestise tersembunyi atau terselubung karena sikap ini tidak diungkapkan secara nyata dan terbuka. Sikap ini juga secara mencolok menyimpang dari alur nilai-nilai sosial pokok yang didasari oleh tiap orang.
j. Wanita Sebagai Pelopor Perubahan
Tutur wanita dalam masyarakat Koasati terutama pada masyarakat Chuckhi lebih konservatif daripada pria. Artinya, perubahan bahasa dipelopori oleh pria. Akan tetapi, jika terdepat sejenis ragam bahasa berstatus tinggi atau bernorma nasional (bukan regional, bukan dialek), perubahan kearah norma ini lebih sering dipelopori oleh wanita. Menurut anggapan orang, hal ini terjadi karena pentingnya ketepatan dan kebenaran.
k. Penelitian di Indonesia
Penelitian ragam bahasa pria dan wanita di Indonesia belum banyak dilakukan. Satu diantaranya yang sedikit adalah penelitian Suhardi (Sumarsono & Partana, 2002:125) tentang sikap kebahasaan kaum wanita di sebagian kota Jakarta. Secara umum dapat dikatakan sikap kebahasaan wanita cenderung mendua. Artinya, ada semacam kontroversi atau pertentangan sikap. Di satu pihak berdasarkan analisis dari segi usia, pekerjaan, maupun pendidikan, kaum wanita itu tidak begitu menganggap penting penguasaan bahasa ibu, jarang mengikuti siaran-siaran TV/radio.
Sikap wanita yang mendua sejalan dengan dugaan Elyan dkk. (1988) wanita bersifat androgin (mendua). Menurut Elyan, wanita-wanita di kota-kota besar cenderung mendua; mereka juga ingin maju dan kuat (perkasa) seperti pria, tetapi juga tidak mau kehilangan kefeminiman.
l. Ragam Bahasa Waria dan Gay
Waria (singkatan dari Wanita-Pria) merujuk kepada orang-orang yang secara biologis atau fisik berkelamin laki-laki tetapi berpenampilan (berpakaian dan berdandan) serta berprilaku seperti sebagai perempuan. Gay (atau Homoseks atau Homo) merujuk kepada laki-laki yang menuyukai sesama laki-laki secara emosional dan seksual. Bahasa mereka dapat ditinjau dari dua segi, yaitu : (A) struktur pembentukan istilah dengan kaidah perubahan bunyi yang produktif, dan teramalkan, dan (B) penciptaan istilah baru atau pemberiaan makna pada istilah umur yang sudah ada. Pada unsur (A) ada dua jenis pokok, yaitu (A1) yang berdasarkan kata bahasa jawa, dan (A2) yang berdasarkan kata-kata bahasa Indonesia. Unsur (A2) dapat dibedakan menjadi dua pula, yaitu (A2a) jenis kata-katanya berakhir dengan –ong dan (A2b) jenis kata yang berakhir dengan –s. Kaum waria umumnya memamakai A1, sedangkan gay memakai A1 maupun A2. Jenis B dipakai oleh keduanya.
Contoh : A1:
Banci : siban
Lanang ‘laki-laki’ : silan
Payu ‘laku’ : sipa
Contoh : A2a:
Banci : bencong
Homo : hemong
Contoh : A2b:
Banci : bences
Homo : hemes
Tentang jenis B dapat dikatakan, jenis itu sangat berubah-ubah dan sulit dicari kaidahnya. Wujud bahasa ini hampir serupa dengan bahasa remaja.
Bahasa dan Jenis Kelamin
Menurut penelitian ada sejumlah masyarakat tutur pria berbeda dengan tutur wanita. Dalam penelitian-penelitian linguistik kadang-kadang wanita tidak dipakai sebagai informan karena alasan-alasan tertentu. Wanita cenderung mempunyai sikap “hiperkorek” sehingga dianggap mengaburkan situasi yang sebenarnya yang dikehendaki oleh para peneliti. Karena posisi seperti itu, wanita berusaha keras dengan segala cara untuk “meningkatkan” dirinya sederajat dengan laki-laki dan salah satu cara yang paling efektif ialah dengan mamakai bahasa ragam baku sebaik-baiknya.s
Perbedaan pria dengan wanita kemungkinan tidak langsung menyangkut masalah bahasa atau strukturnya, melainkan hal-hal lain yang membarengi tutur. Hal-hal itu antara lain gerak badan (gesture) dan ekspresi wajah. Dalam hal intonasi, pada wanita intonasinya lebih “memanjang” pada bagian akhir kalimat. Dalam bahasa Indonesia kita kenal istilah “suara manja” yang khas pada wanita.
Keseragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial yang erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Pada ragam bahasa berdasarkan kelompok etnik dan kelompok sosial, sekurang-kurangnya sebagian, adalah akibat dari jarak sosial, sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin tadi adalah akibat dari perbedaan sosial.
Banyak bukti bahwa nilai sosial dan peranan jenis kelamin dapat mempengaruhi sikap penutur terhadap sesuatu variasi kebahasaan tertentu. Kita ketahui, penutur yang banyak memperhatikan tuturnya secara linguistik akan cenderung untuk menggunakan ragam bahasa yang melambangkan status prestise tersembunyi.
Berdasarkan penelitian ragam bahasa pria dan wanita di Indonesia, secara umum dapat dikatakan sikap kebahasaan wanita cenderung mendua. Artinya, ada semacam kontroversi atau pertentangan sikap. Di satu pihak, berdasarkan analisis dan segi usia, pekerjaan, maupun pendidikan, kaum wanita itu tidak begitu menganggap penting penguasaan bahasa.
Pada kelompok orang berjenis kelamin “khusus”, yaitu yang di Indonesia disebut waria (banci) dan “gay. Berdasarkan penelitian Dede Oetomo yang meneliti bahasa waria dan gay di Surabaya dan sekitarnya, bahasa mereka sebagai model bahasa “rahasia”. Karena tampak “kelainannya” karena adanya sejumlah kosakata yang khas yang berbeda dengan kosakata umum. Bahasa waria data ditinjau dari dua segi, yaitu (1) struktur pembentukan istilah dengan kaidah perubahan bunyi yang produktif dan teramalkan, dan (2) penciptaan istilah baru atau pemberian makna lain pada istilah umum yang sudah ada.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar