Helminawati Pandia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Idul Adha Pertama Tanpa Suami

Idul Adha Pertama Tanpa Suami

#Tagur Hari-31

#part4

Pagi ini aku bangun lebih awal. Sidang pertama kasus perpisahanku dengan Mas Alek dimulai pukul delapan pagi ini. Segalanya sudah kupersiapkan dengan matang. Termasuk bukti-bukti perselingkuhan yang dilakukan Mas Alek yang akan aku jadikan alasan utama aku menggugat Mas Alek, semuanya sudah kupersiapkan dengan sempurna. Tentu saja semua berkat bantuan Hardi, sang pengacara muda, teman satu sekolahku dulu.

Hardi, mendampingiku dari awal pendaftaran gugatan di pengadilan agama di kotaku hingga sampai masa sidang pagi ini. Segalanya dia yang urus. Aku hanya diserahi tugas mengumpulkan bukti-bukti. Awalnya aku agak kesulitan mengumpulkan alat bukti, namun Yesi dan beberapa temannya berhasil mendapatkannya.

"Maaf, Ai. Aku gak enak banget nunjukin ini ke kamu," ucap Yesi dua hari yang lalu seraya menyerahkan beberapa fhoto dan fhotocopy dokumen penting kepadaku.

Yah, benar sekali. Serasa dihujam belati tepat di ulu hatiku saat melihat fhoto-fhoto dan dokumen itu. Sebenarnya aku sudah tidak perduli apa pun tentang mereka. Tentang Mas Alek dengan Gendis selingkuhannya. Tapi kenapa masih ada rasa sakit setiap melihat kebersamaan mereka. Sakit sekali. Pengkhianatan ini mampu menghancurluluhlantakkan hatiku, jiwaku.

Tapi aku harus kuat, aku harus bangkit. Aku masih berharga, aku masih punya harga diri, Alek. Harga diriku akan kutebus dengan perjuangan ini. Di persidangan pagi ini. Semoga Yang Kuasa menolongku bangkit dari keterpurukan ini. Sekalipun pertolongan itu harus melalui orang-orang pilihan'Mu ya, Tuhan. Seperti Hardi dan Yesi.

"Ai, Nak Pengacara itu ada didepan," Emak tiba-tiba masuk kekamarku.

Aneh, kenapa dia datang kesini? Harusnya langsung ke persidangan. Ada apa? Tiba-tiba hatiku berdebar. Berbagai prasangka memenuhi kepalaku. Setengah berlari aku menemuinya di ruang tamu.

Wajah pemuda lumayan ganteng itu tertunduk lesu. Duduknya yang gelisah menambah syak dihatiku. Namun dia tetap berusaha tersenyum manis begitu melihatku.

"Har, ada apa? Gak ada masalah, kan?" sergahku sembari duduk dihadapannya.

"Ai, anu... Begini.."

Jantungku semakin dag dig dug dengan kata-kata terbatanya. "Kenapa, Har? Kita jadi sidangnya kan? Ini sidang pertama, lo. Harapanku sih, disidang pertama ini keputusan langsung final. Gak perlu ada sidang selanjutnya. Tapi kamu kok, gugup gini kenapa?"

"Ai, sebelumnya aku minta maaf. Sebenarnya aku sudah menyelidiki dan tadi malam setelah kamu kirim bukti-bukti itu, aku baru tahu, ternyata...."

"Ternyata....ternyata apa, Har?"

"Selingkuhan suami kamu itu, dia..dia..."

"Dia Gendis, Gendis namanya. Kenapa dengan dia?" kejarku tak sabar lagi.

"Sebenarnya mereka tidak selingkuh, Ai. Mereka sudah menikah secara siri. Kita tidak bisa menggugat dengan alasan mereka selingkuh."

"Apa maksudmu, Har. Mereka selingkuh dibelakangku, Har. Mereka belum menikah. Tidak mungkin mereka menikah tanpa ijin dariku."

"Ai, maafkan aku. Mereka sudah menikah. Aku yang telah menikahkan adikku dengan suamimu, maafkan aku. Aku tidak tahu sebelumnya."

"Hardi.... Apa yang kamu katakan barusan? Apa maksudmu, Har?"

"Iya, Ai. Gendis adikku satu-satunya. Ayah kami sudah tidak ada. Jadi tanggungjawabkulah mengurus pernikahannya. Ketika Alek sering datang kerumah, aku tidak pernah menyadari kalau dia sudah beristri. Dan saat dia dan keluarganya melamar Gendis, aku juga tidak menyadarinya. Alasan mereka hanya menikahi Gendis secara siri adalah karena ada keluarganya yang sedang sakit parah, ditambah suasana wabah penyakit menular yang sedang melanda saat ini, sehingga mereka memohon agar biar sah aja dulu. Nanti jika suasana sudah memungkinkan, baru dilangsungkan pernikahan secara resmi dan digelar resepsi yang semestinya."

Bagaikan petir sambar menyambar kurasaka demi mendengar semua penjelasan Hardi. Berkali-kali petir itu menyambar tubuhku. Aku terkapar tak bersuara dihadapan Hardi, yang semula kukira malaikat penolongku yang sengaja dikirim Allah untukku. Tapi ternyata dialah orang yang telah menikahkan suamiku. Apa arti semua ini ya Tuhan. Belum cukupkah penderitaan ini? Masih kurangkah beban ini? Ataukah memang sudah takdirku seperti ini. Haruskah aku hanya diam dan pasrah menerima yang telah kau gariskan ini? Apakah aku sudah durhaka terhadap ayahku karena selalu membantahnya, selalu berbuat kasar terhadap istri keduanya, selalu menghina Roni anak dari madu emakku itu. Atau apakah aku salah karena tidak menuruti kata-kata Emak supaya aku manut saja dengan semua keinginan suami? Kenapa? Kenapa?

Kutatap nanar Hardi yang kian nampak pucat dihadapanku. Aku tahu dia tidak bersalah dalam hal ini. Tapi kenapa pula aku mesti bertemu dengannya saat seperti ini. Apakah ini juga merupakan bagian dari rencanaMu Ya, Tuhan. Apakah aku kena tulah karena dulu pernah menolak Hardi, padahal dia sudah banyak berkorban termasuk sering traktir Yesi demi dapatkan aku. Ah, tidak! Ini semua tidak benar.

"Har, artinya kamu mundur, kan?" sergahku lunglai. Lama Hardi diam. Emak yang dari tadi hanya menguping dari balik dinding kini ikut duduk bersama kami. Aku tahu hatinya lebih pedih kini. Wajah teduh itu kian lusuh.

"Ai, ayo kita berangkat, " bisik Hardi tiba-tiba. Aku dan Emak terperanjat.

"Cepat, Ai. Ini sudah hampi pukul delapan. Jangan sampai kita terlambat. Emak juga ikut ya. Emak dan saya akan jadi saksi di persidangan nanti."

"Kamu serius, Har?"

"Sumpahku adalah selalu membela yang benar, kamu ada di pihak yang benar, Ai."

"Bagaimana dengan Gendis?"

"Dia sudah tahu, Alek beristri, bukan? Dia ikut membohongiku. Padahal aku adalah pengganti ayah baginya. Tega dia berdusta hanya untuk mendapat seorang laki-laki durjana. Dan ketika dia pulang berdarah waktu itu, aku berkeras akan menempuh jalur hukum, dia malah ketakutan. Dari saat itu sebenarnya aku mulai curiga ada yang tidak beres."

"Aku minta maaf, sebenarnya kalau bukan karena Emak, aku sudah membunuhnya waktu itu, Har, " bisikku lirih.

Hardi tersenyum kecut. Diraihnya tas kerjanya dan kunci mobil yang tergeletak dimeja. Meja yang pernah mencium kepala dan hidung adik kesayangannya hingga berdarah. "Ayo kita berangkat," ucapnya pasti.

Aku dan Emak bergegas mengikuti pemuda itu. Kubukakan pintu mobil untuk Emak. Setelah memastikan posisi duduk Emak. Aku bergegas duduk di jok depan, disamping pengacaraku, yang berjanji akan membebaskanku dari lingkaran belunggu cinta sang durjana, Alek.

Kulirik pemuda ganteng disebelahku yang dengan cekatan menyetir dijalanan padat pagi ini. Jam segini lalu lintas memang sangat padat. Dan ketika kami harus berhenti di lampu merah, ku beranikan mengucapkan sesuatu yang kuyakin akan menambah keyakinanku. Tentang masa lalu, masa lalu cinta Hardi padaku.

"Har, aku mau minta maaf, dulu.... Waktu kita masih satu sekolah dulu, aku tidak menganggap kamu." bisikku.

Hardi menatapku lama, aku tertunduk aku berdebar. Yah berdebar bukan karena saat ini aku sudah menganggap dia. Tapi berdebar karena aku takut dia akan salah paham, dan malah bisa saja dia memungkirinya. Atau lebih parah lagi bisa saja dia menghinaku.

"Ai, terimakasih, kamu masih mengingatnya."

Aku tersentak. Aku tidak menyangka kata-kata itulah yang keluar dari mulutnya. Kuangkat wajahku, kutatap tepat ke bola matanya. Tapi bola mata itu kian rajam menukik tumbus ke hatiku. Aku jengah, aku tertunduk lagi.

"Ai, aku tidak bersyukur kamu akan berpisah dengan suamimu. Aku juga tidak bersyukur kamu akan singel sebentar lagi. Tapi aku tidak bisa berdusta kalau sebenarnya aku sangat bahagia."

Suara klakson bersahut-sahutan memerintahkan mobil kami agar segera bergerak. Hardi tersenyum karena kaget, dan wajahku merona karena malu. Emak pura-pura tidak melihat semua kejadian itu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

ceritanya luar biasa bunda, saya sangat salut dengan penulisan dialognya, terasanya begitu nyata bunda, perjalanan hidup yang sangat berat, namun tetap meyakinkan diri untuk kuat.., ini berlanjut apa gimana bunda..? salam sukses dan salam literasi

04 Aug
Balas

Makasih, Bunda. Lanjut, Bun.

04 Aug

Cerpennya ok, semoga Ai menemukan kebahagiaanya, klw Ai dan Hardi berjodoh bakal ada ikatan kembali donk dengan mantan suaminya, sukses buat ibu

04 Aug
Balas

Makasih, Aamiin.

04 Aug

Jodoh memang tidak kemana...mantap cerita bu...

04 Aug
Balas

Makasih, Bu.

04 Aug



search

New Post