Helminawati Pandia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Idul Adha Pertama Tanpa Suami

Idul Adha Pertama Tanpa Suami

#Tagur Hari-29

#part2

"Ai, kamu dimana? Cepat kamu datang ke klinik!" perintah ibu mertuaku terdengar ketus lewat hapeku.

"Maaf, Bu. Ai sibuk. Ai di salon."

"Apa? Di salon? Sejak kapan kamu hobi ke salon? Tunggu-tunggu, suamimu berdarah karena ulahmu, kamu malah kesalon? Istri macam apa kamu!"

"Maaf, Bu. Saya sibuk." sergahku menutup telpon.

Emak menatapku cemas. "Ai, kenapa begitu terhadap mertuamu? Cobalah bersikap tetap sopan, Nduk. Yang bermasalah kan anaknya, bukan ibunya, " suara ibu terdengar parau. Aku hanya diam bergeming. "Ayo kita ke klinik. Mungkin luka Alek parah, Nduk."

"Ai mau ke salon, Mak," sergahku mengagetkan Emak. Matanya melotot kearahku.

"Jangan ngawur! Ada masalah sebesar ini kamu malah mau pergi ke salon. Gak pernah-pernah kamu ke salon, kok ini malah...."

"Gak ada lagi masalah, mak. Sudah Ai putuskan bahwa Ai minta pisah. Emak dengar sendiri tadi kan? Apa yang Ai bilang sama Mas Alek?"

"Jangan ambil keputusan saat sedang emosi, Nduk!"

"Ai ke salon, ya Mak." Ai pergi dulu." Kuraih tas sandangku dan jilbab yang tergantung di balik pintu kamarku.

"Ai, ngapain? Untuk apa kamu ke salon, Nduk? Jangan yang aneh-aneh kamu itu!" Emak mengikuti langkahku penuh kebingungan.

Kuhentikan langkahku dan menghadap tepat didepan Emak. "Coba lihat, ini, coba Emak perhatikan! Lihat pakaian Ai ini, liat penampilan Ai," kataku sambil berputar di depan Emak. "coba liat wajah Ai, ini...ini...liat Mak, kulit Ai kusam, terkopek-kopek. Tangan Ai kasar. Ai, Ai kampungan, Mak. Coba Emak ingat penampilan Gendis, lontenya Mas Alek itu... Wajar aja Mas Alek kepincut sama dia, wong istrinya sendiri penampilannya kayak gini. Mas Alek pasti bosen sama Ai." suaraku melemah, menghiba, dan kembali air mata tumpah di pipiku.

Emak memelukku, menepuk-nepuk punggungku dengan kasih sayang. "Ai, cinta sejati bukan di lihat dari penampilan. Tapi dari hati, Nduk."

"Tapi itu mempengaruhi, Mak. Liat diri Emak. Emak tidak pernah mau berubah sih, makanya Ayah lebih kepincut sama istri mudanya itu dari pada sama Emak."

"Ai, manusia hidup harus menjalani takdirnya. Jika memang Allah sudah menentukan takdir kita menjadi istri pertama tapi punya madu, maka kita harus menjalaninya tanpa protes, tanpa prasangka. Kita harus ihklas. Dengan begitu hati kita akan tenang, damai, kita pasti bisa menjalani kehidupan ini tanpa masalah, semua berjalan tenang, tidak ada gejolak."

"Ai, tidak bisa. Bukan maksud Ai, melawan kata-kata Emak. Ai tidak mau durhaka sama Emak. Tapi sungguh, Ai tidak bisa menuruti kehendak Emak untuk tetap patuh pada keinginan Mas Alek. Ai pergi dulu, Mak."

"Ai, untuk apa kamu ke salon? Kamu mau merubah penampilanmu, mau lepas hijabmu seperti Gendis? Dan kamu pikir Alek akan menuruti keinginanmu karena terpesona akan penampilan barumu, Nduk?"

"Tidak, Ai berusaha lebih baik saja. Ai tidak akan lepas hijab, Mak. Bisa kok perempuan muslimah tetap tampil modis walau berhijab. Teman-teman Ai banyak contohnya. Tapi yang paling penting, Ai mau merubah penampilan bukan untuk Mas Alek. Keputusan Ai sudah bulat. Ai pasti minta pisah dari Mas Alek. Ai, masih muda Mak. Terlalu muda untuk diinjak-injak oleh Mas Alek. Ai berhak bahagia. Ai mau menyambut masa depan Ai."

"Ai, eling, Nduk. Masa depanmu itu ya Alek. Ingat kamu sudah menikah dengan Alek."

"Maafkan, Ai. Maaf Ai pergi dulu," kuraih tangan Emak, kucium lembut dan segera aku berlari mengambil motorku. Masih sempat kudengar teriakan Emak melarangku mengendarai motor. Emak takut aku jatuh. Yah, aku sendiri sebenarnya agak grogi karena sudah lama tidak pernah lagi mengendarai motor kesayanganku ini. Sejak menikah aku tidak pernah diijinkan keluar rumah sendirian, apalagi naik motor. Kemana-mana harus atas ijin Mas Alek. Selalu diantar kalau itu penting sekali. Dan aku tidak pernah protes akan aturan itu.

Cintaku terlalu besar untuk Mas Alek, sehingga mematikan akalku selama ini. Aku seperti burung yang disayang dan disanjung setiap detik. Aku ditempatkan di dalam sangkar mewah yang terkunci dari luar, sehingga aku tidak tahu akan perkembangan dunia luar. Mas Alek tidak pernah protes dengan penampilanku yang hanya berbalut daster lusuh, rambut di gelung asal, wajah tidak pernah dirawat, bibir gak pernah di poles. Dan aku percaya saja saat Mas Alek bilang aku cantik alami. Aroma dapur malah dibilang aroma kesturi. Dan aku begitu melambung dengan semua pujiannya.

Sayangnya begitu Mas Alek menemukan mainan baru, jenis burung baru, maka dia ingin memilikinya juga. Apa salahnya seorang tuan memiliki dua sangkar mewah? Ya, tidak salah. Terserah dia mau memilik seribu sangkar aku tidak perduli. Tapi aku tidak mau menjadi salah satu diantaranya.

*****

Dua hari sudah aku hilir mudik mencari pekerjaan. Aku harus punya penghasilan untuk melanjutkan hidupku. Tidak mungkin aku bergantung kepada Emak yang hanya mendapat jatah pas-pasan dari ayah. Tidak mungkin juga aku mengharapkan jatah dari Mas Alek, karena aku tidak memiliki anak darinya. Aku juga tidak mengharapkan harta gono gini bila perpisahan kami sudah sah nanti. Namun hasilnya masih nihil. Ijasah SMA yang kuandalkan ternyata tidak memenuhi syarat setiap pekerjaan yang kulamar.

Penyesalanku menikah muda dulu kembali menderaku. Aku menyesal mengikuti keinginan Mas Alek untuk cepat-cepat menikahiku. Dari segi usia, dia memang sudah cukup dewasa, dia juga sudah mapan. Tapi aku, aku baru saja selesai SMA. Alasannya takut aku diambil orang. Padahal akibatnya sekarang aku yang menanggungnya. Aku tidak punya bekal apa-apa.

Sore ini aku kembali kerumah dengan tangan kosong. Kuparkirkan motorku dengan lesu, lalu melangkah dengan gontai. Aku baru menyadari sebuah mobil mewah terparkir di halaman samping. Aku kenal mobil itu. Mertuaku.

Segera aku berbalik ke motorku hendak melarikan diri. Tapi langkahku terhenti dengan panggilan seorang Lelaki. Roni. Yah, dia adikku. Begitu kata ayahku. Sebenarnya aku tidak mengakuinya. Dia Anak Ayahku dari istri keduanya. Anak dari madu Emakku.

"Mbak, masuk yuk. Semua sudah nunggui Mbak dari tadi."

Terpaksa kuturuti perintahnya. Aku melangkah pelan didepannya. Tanpa senyum, tanpa keramahan, seperti biasanya.

"Mbak, sepertinya ada yang berubah ini?" celutuknya menghentikan langkahku. " Apa, ya? Mbak tambah cantik, penampilan Mbak mirip cewek-cewek kawan kuliah Roni. Tapi tetap Mbak lebih cantik. Elegan." sambungnya.

"Terimakasih pujiannya, tapi tetap saya tidak tertarik untuk berbaikkan dengan anda, anak pelakor!." ketusku melanjutkan langkahku. Aku tidak perduli akan perasaan Roni. Rasa benciku pada ibunya selalu kutumpahkan padanya. Aku benci harus berbagi ayah dengannya. Sejak kehadiran ibunya, ayah tidak pernah menyayangiku lagi. Apa lagi sejak kelahiran Roni. Dia berhasil merampas segalanya dariku. Dan aku semakin membenci ibunya.

Aku melangkah memasuki ruang tamu dimana mereka semua berkumpul. Kedua mertuaku, ayah dan emakku, juga Alek. Laki-laki yang sangat kubenci itu duduk disudut ruangan. Pelipisnya masih dibalut plaster. Mungkin luka karena kulempar dengan vas bunga itu cukup dalam waktu itu.

Alek menatapku lama. Bola matanya seolah tak berkedip menyaksikan perubahan penampilanku. Tidak ada lagi daster kumal yang dibilangnya dulu menunjukkan kederhanaan, atau rambut digelung asal cermin cantik alami, atau aroma asap dapur yang dikatakannya aroma kesturi.

Aku tidak perduli dengan tatapannya. Setelah menyalami kedua mertuaku aku duduk disamping Emak. Semua mata menatapku, aku agak gerah. Tapi aku berusaha tenang. Anggun. Elegan ( pinjam istilah Roni tadi).

"Ai, Bapak sudah tahu semua masalah kalian. Alek sudah menceritakan semuanya. Dan Bapak juga sudah membicarakan ini semua secara panjang lebar dengan ayah dan emakmu." Bapak mertuaku memulai percakapan.

"Ya, Nduk. Sebenarnya apa yang terjadi ini bukanlah suatu masalah, kalau saja kamu mau bercermin dari emakmu. Kamu lihat ayah dan emak tetap rukun, tidak pernah ada gonjang ganjing. Tidak pernah ada pertengkaran apalagi sampai pertumpahan darah seperti yang kamu lakukan terhadap Nak Alek." Suara ayah terdengar begitu tegas. Jelas dia sangat menyalahkan aku. Jelas dia akan membela Alek. Karena perbuatannya terhadap emak, persis seperti perbuatan Alek terhadapku. Karma. Sakit hati emak kini akulah yang menanggungnya. Tapi ayah tidak sadar itu. Dia tetap bangga dengan sikapnya.

"Padahal Alek datang baik-baik, mohon ijinmu, mengenalkan Gendis calon madumu. Daripada dia diam-diam nikah dibelakangmu! Kok kamu gak ngerti sih, Ai. Untung Gendis bisa memaafkan perbuatanmu. Keningnya bengkak sebesar bola kasti. Hidungnya berdarah. Kalau keluarganya ngadu ke polisi, gimana? Penganiyayaan namanya. Di baiki kok malah nyerang. Gak waras kamu!" kali ini ibu mertuaku menumpahkan kekesalannya

Lagi-lagi aku hanya diam. Tepatnya masih diam. Aku masih menunggu momen yang paling tepat untuk bicara. Dan saat ini belum tepat. Aku masih menunggu mereka semua menumpahkan semua isi hati mereka. Tinggal emakku yang belum bicara. Oh iya. Emakku, sampai kapanpun tidak akan bicara kalau tidak diminta. Dia selalu manut, nurut, tidak pernah bersuara kalau tidak diminta, apalagi mengutarakan isi hatinya. Tidak akan pernah. Perempuan malang itu hanya menatapku memohon. Aku tau makna tatapannya. Permohonannya agar aku enggeh saja, jangan bikin ribut. Sayangnya aku harus menolaknya kali ini.

"Ai, begini, kami semua berharap agar kamu bisa menerima kehadiran Gendis ya. Jangan minta pisah ya, Nak. Kasihanilah kami yang udah tua ini, keluarga kita akan malu kalau sampai masyarakat tahu keluarga kita bercerai," ujar Bapak mertuaku.

Aku menggeram marah. Kurapatkan gigiku menahan emosi yang kian memuncak agar tidak bersuara.

"Dan terus terang, sebenarnya sudah lama kami ingin sekali menimang cucu. Jangan salahkan Alek, karena dia berusaha memenuhi keinginan kami dengan cara menikahi perempuan lain, dan karena dia sangat mencintaimu, dia tidak ingin berpisah denganmu, tapi kamu gak sadar itu kan?" ibu mertuaku menambahi.

Dan aku merasa inilah saat yang tepat untuk mulai bersuara. Kukumpulkan segenap keberanianku untuk membela harga diriku, mengungkapkan apa pula sebenarnya keinginanku.

"Kalau Bapak, Ibu dan Ayah sudah selesai, sekarang Ai mau bicara," ucapku memulai. Semua mata tertuju padaku. Dan aku semakin yakin dengan sikapku.

"Pertama masalah keluarga akan malu kalau dalam keluarga kita ada yang bercerai, Ai merasa disini Ai yang akan jadi korban. Demi kehormatan keluarga Ai harus rela dimadu? Ai tidak mau. Dan ada satu hal yang kalian perlu ketahui, selama ini kalian menganggap punya istri lebih dari satu adalah suatu kehormatan? Kalian merasa hebat. Salah. Kalian tidak sadar masyarakat justru mencibir kalian. Yang kedua, masalah Bapak dan Ibu menginginkan cucu? Artinya kalian nuduh Ai yang gak bisa ngasi keturunan? Kenapa kalian tidak berfikir sebaliknya, kalau Mas Aleklah yang tidak sehat?"

"Apa! Kamu....." ibu mertuaku melotot kapadaku.

"Kalian menuduh tanpa bukti. Harusnya Ai yang sedari dulu memohon ijin untuk menikah lagi karena Mas Alek tidak bisa memberi Ai anak."

"Kurang ajar, kamu!" ibu mertuaku mencoba menyerangku. Segera suaminya menangkap tangannya. Mas Alek hanya menunduk di sudut.

" Kaget? Bapak dan Ibu kaget? Saya tidak bermaksud membuka aib anak kalian. Kalianlah yang terlebih dahulu menuduh tanpa bukti. Jadi, Mas Alek ingi nikah lagi murni karena dia laki-laki durjana. Untuk apa saya mempertahankan dia? Maaf sekali, saya bukan perempuan dungu yang akan nurut apapun keinginan kalian. Saya tetap pada pendirian saya, saya minta pisah."

Ayah dan Emak saling berpandangan. Ibu dan bapak mertuaku meminta penjelasan dari Mas Alek. Dan aku, aku memilih meninggalkan ruangan itu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus sekali ceritanya Bunda... mengalir...enak dibaca...salam literasi

02 Aug
Balas

Terimakasih, Bu. Salam.

02 Aug

Duh lg seru baca eh habis....seru bu..salam literasi

02 Aug
Balas

Bersambung, Bu. Besok pasti tayang.

02 Aug

Menarik sekali.... bagus bu...

02 Aug
Balas

Makasih, Bu.

02 Aug

Ditunggu lanjutannya bunda...

02 Aug
Balas

Ok, makasih ya, Bun.

02 Aug

Mantap perempuan harus punya harga diri.

02 Aug
Balas

Iya, Bun. Makasih

02 Aug

Mantap Ai ...

02 Aug
Balas

Makasih

02 Aug

Bagus ceritanya bun, alurnya mengalir enak dibaca

02 Aug
Balas

Maksih, Bun.

02 Aug



search

New Post