Helminawati Pandia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Idul Adha Pertama Tanpa Suami

Idul Adha Pertama Tanpa Suami

#Tagur Hari-28

#Idul_Adha_Pertama_Tanpa_Suami

"Coba diperiksa, kayaknya udah tanak itu, Nduk!" perintah Emak membuyarkan lamunanku. Lamunanku akan saat-saat menyambut lebaran tahun lalu, bahkan lebaran setiap tahun yang telah lalu. Bagaimana Mas Alek duduk dengan tekun sambil memasukkan beras yang telah direndam dengan air kedalam bungkus ketupat berwarna kuning. Dengan cekatan suamiku itu mulai menatanya diatas kukusan besar, menungguinya dengan sabar hingga matang sempurna.

Aku akan dikagetkannya dengan suapannya yang tiba-tiba dari arah belakang, " rasai, dong. Udah masak belum, nih?" Aku berteriak manja karena kepanasan. Segera pelukan hangatnya menenangkanku, dan kecupan lembutnya mendarat dipipiku. Dan ah, kumis tipis itu, aku akan pura-pura meronta, melepaskan tubuhku dari pelukannya sambil menahan geli.

Semua moment indah itu tidak sanggup kulupakan begitu saja. Bayangan itu melekat di otakku, senantiasa berputar kembali seperti cerita sinetron yang diputar berulang tanpa ada jeda iklan. Dan itu sangat mengiris hatiku. Perih. Pedih.

"Nduk, awas gosong, lo. Airnya dah kering itu. Ya udah matikan aja." Emak mengambil alih tugasku. Aku beringsut pergi. Tak sanggup aku melihat saat tangan Emak mulai mengambil sebuah ketupat, membuka bungkusnya dan mencuilnya sedikit , menyodorkannya ke mulutku, " coba rasa, Nduk!"

Kuhempaskan tubuhku diranjang yang selama lima tahun ini telah menjadi saksi pernikahanku dengan Mas Alek. Lima tahun sudah kami arungi lautan kehidupan berumahtangga. Merajut mahligai cinta berkeluarga. Tiada setitikpun aku ingat ada hal yang membuat aku tidak bahagia. Semua berjalan begitu sempurna.

Mas Alek adalah sosok suami penuh tanggungjawab, selalu baik, selalu tersenyum. Selalu memperlakukan aku seperti ratu. Memanjakanku, memenuhi semua kebutuhanku, kebutuhan lahir dan batinku. Tidak ada setitik jua kudapatkan sikap dan perlakuannya yang pantas untuk kubenci.

Tapi kenapa? Kenapa tiba-tiba semuanya berubah? Tiada sepatah katapun yang pernah kamu ajukan untukku sebagai alasanmu hingga kamu benar benar sampai pada keputusan yang sangat besar. Keputusanmu untuk menikah lagi. Apa salahku? Apa kekuranganku? Kamu yang begitu sempurna dimataku, kenapa begitu tega tiba-tiba memohon restuku untuk kamu menikah lagi.

Aku tak sanggup, Mas. Aku tidak bisa memberi ijin padamu. Aku tidak sanggup harus berbagi suami dengan maduku. Aku tahu hatimu penuh dengan kasih sayang, lautan cinta ada disana. Tidak akan pernah surut dan kering walau kami berbagi berenang disana. Tapi satu hal yang perlu kamu ketahui, aku tidak ingin ada perempuan lain yang berenang juga di samudra cintamu seluas apapun itu. Aku tidak mau berbagi, Mas. Aku hanya ingin bersamamu saja. Aku ingin hanya kita berdua.

Pundakku terguncang-guncang menahan sedu sedanku. Kucoba menangis dan meratap tanpa suara. Aku tidak mau suara tangisku akan menambah luka di hati Emakku. Aku tidak ingin menambah beban pikirannya. Tapi semakin aku berusaha tidak bersuara, semakin kuat guncangan di pundakku.

"Nduk, sabar. Wanita diciptakan Allah, memang hanya untuk patuh dan taat pada suami," ucap Emak lembut. Wanita yang sudah mulai sepuh itu rupanya mengikutiku kekamar. " Jangan ditangisi lagi. Sudah, kamu terima aja keputusan suamimu. Laki-laki wajar beristri lebih dari satu. Yang penting dia tetap sayang dan mau bertanggungjawab terhadap istri pertamanya. Toh kamu tidak dicerai, Nduk. Statusmu tetap istri Alek. Bukan janda Alek."

Aku bangkit perlahan. Kuseka air yang menganak sungai dipipiku. Lekat kutatap wajah emakku. Wajah yang mulai penuh kerut itu tetap tampak cantik dan teramat tenang. Kutatap tepat ke bola matanya. Bola mata yang bagai telaga teduh, tapi tidak bisa menyembunyikan luka laranya. Luka ya g sama yang kurasakan saat ini. Luka karena dihkianati oleh suami yang sangat dicintai, walaupun sang suami tetap mencintai.

Tapi aku bukan Emak. Aku bukan perempuan lemah, yang pura-pura tegar dihadapan semua keluarga, dihadapan lingkungan dan masyarakat sekitar. Yah, aku memang perempuan lemah. Aku lemah karena tidak sanggup berbagi suami. Lemah karena tidak bisa dimadu. Tapi setidaknya aku masih punya harga diri. Harga diri sebagai perempuan yang akan bisa tetap bertahan walau tanpa ada sosok suami. Harga diri sebagai seorang wanita yang berusaha mempertahankan haknya tanpa mau berbagi. Jika memang itu tidak memungkinkan, maka gelar janda bukanlah status yang buruk untuk disandang.

Ketukan halus dipintu dan beriring salam, membuat Emak bergegas keluar dari kamarku. Kudengar suara Emak mempersilahkan sang tamu masuk, lalu bergegas kembali menemuiku, "Alek datang. Temuilah, Nduk."

Aku terhenyak sesaat. Apa gerangan yang akan disampaikan oleh lelaki yang hingga detik ini masih mendebarkan hatiku itu. Masihkah dia kekeh pada keinginannya untuk beristri dua? Ataukah dia sudah sadar bahwa hanya akulah satu-satunya perempuan yang ada dihatinya. Yang telah bersusah payah dia perjuangkan dulu, yang telah diperebutkanya diatara sekian banyak lelaki yang menjadi saingannya. Ah, Mas Alekku. Semoga kamu ingat semua itu. Semoga kamu merubah niatmu. Ya, kamu mau berlutut dikakiku, kan, Mas. Mau minta maaf, kan? Dan aku akan pura-pura manyun gak maafin kamu. Sampai kamu berusaha pegang tanganku, remas jariku, mencium pipiku, dan ...."

"Nduk, temuilah!" "Mak, sebentar. Ai mau nanya sesuatu. Boleh?" "Opo toh, Nduk?" "Ayah saat ini pasti dirumah istri keduanya, kan? Mestinya lebaran begini dia ada disini. Dirumah istri tuanya. Kenapa dia milih disana? Karena Emak gak pernah marah. Emak gak pernah protes. Emak selalu menerima apapun perlakuan Ayah. Seandainya Emak bersikap seperti Ai, pasti hingga detik ini, hanya Ai lah putri ayah. Hanya Emaklah istri satu satunya Ayah. Emak lihat kan, Mas Alek tuh datang lagi. Pasti dia nyesal dan mau minta maaf ke Ai. Niat Mas Alek beristri dua pasti dibatalkan. Perempuan gak boleh lemah, Mak. Gak boleh nerima wae. Kita juga punya hak untuk memilih."

Emak menghela nafas panjang. Sepanjang ocehanku. Aku yang begitu bersemangat perlahan melemah, bergetar. Perubahan wajah Emak yang kian kusut membuat jantungku berdebar tak karuan. Harusnya Emak ikut berbahagia, ikut senang. Tapi kenapa dia malah kian berduka?

Kuayunkan langkahku keruang tamu. Kali ini bukan hanya dadaku yang bergemuruh menahan debaran jantungku yang kian cepat. Seluruh tubuhku kini ikut bergetar. Getaran menahan emosi jiwaku yang perlahan merambat ke otakku, hingga otakku melemah, tak sanggup memerintahkan kakiku untuk menahan bobot tubuhku. Aku terkulai jatuh di sofa. Terduduk lemas persis dihadapan Mas Alek, dan perempuan itu.

Dengan tatapan kosong lekat kutatap wajah cantik putih merona itu. Tiada henti senyum terukir disana. Wajah malu-malu itu tidak dapat menyembunyikan perasaan bahagianya, persis seperti aku lima tahun yang lalu, saat akan dipersunting oleh lelaki yang akan mempersuntingnya kini. Mas Alek. Lelaki tampan, baik, bahkan nyaris sempurna. Tapi ternyata sanggup berbuat lebih kejam dari srigala. Tega dia menunjukkan perempuan yang jelas-jelas akan jadi musuhku, kehadapanku.

Ingin sekali aku mencakar wajah cantik itu, ingin sekali aku mencabik-cabik tubuh muda semampai itu. Ingin sekali aku menjambak rambutnya, lalu menghentakkan kepalanya kedinding hingga pecah, otaknya muncrat keluar membasahi lantai, lalu perempuan ini terkapar dibawah kakiku. Kupijak-pijak hingga berkeping-keping.

Tapi aku tak berdaya. Aku tidak bertenaga. Aku hanya mampu menatapnya. Tubuhku kian limbung. Napasku kian sesak. Dan air mata ini bagai bendungan pecah, membasahi pipiku. Dan sungguh aku sangat benci kenapa aku menangis dihadapannya. Aku benci diriku sendiri. Aku sangat benci kelemahanku.

"Maaf, Sayang. Maaf jika Ai kurang berkenan. Tapi sungguh. Dengan atau tanpa ijin Ai, Mas tetap akan menikahi Gendis. Harapan Mas, di hari baik ini, di hari lebaran ini, di hari suci ini, kiranya, Ainun bisa berpikir dengan jernih. Untuk mengijinkan dan menerima keputusan Mas, ya , Ai?" Tatapan Mas Alek begitu memohon. Tapi kata-kata yang mengalir dari mulutnya begitu tajam, teramat sangat mengiris hatiku.

Dan entah kekuatan dari mana tiba-tiba aku mampu menggerakkan tanganku, kakiku, dan tubuhku. Mungkin kata-kata Mas Alek mampu mencubit harga diriku. Sepertinya oksigen sudah terisi penuh diotakku memerintahkan seluruh syaraf ditubuhku untuk bekerja dengan benar, bertindak yang seharusnya.

Vas bunga dimeja tepat didepanku adalah target utamaku, dan sasaran utamaku adalah wajah tampan yang selama lima tahun ini telah membuaiku dengan cinta dan memandikanku dalam lautan kebahagian. Aku tidak perduli kita wajah itu berlumuran darah. Vas bunga itu telak menghantam pelipisnya.

Kini kuberalih ke wajah cantik, manja malu-malu disampingnya yang kini menatapku penuh ketakutan. Kuraih rambut ikal indah itu, kutarik berulang-ulang, kuhentakkan kemeja dan, aku tersenyum sinis melihat benjolan di kening mulusnya. Darah merembes dari hidung bangirnya. Beruntungnya perempuan itu segera dilindungi oleh sang pujaan hatinya yang sesaat tadi masih merupakan pujaan hatiku juga. Pelukannya menghalangi kekejamanku menghajar tubuh perempuan itu.

Emak yang lemah tak bertenaga berusaha menenangkanku. Jelas kulihat ketakutan di wajah polosnya. Kasihan Emak. Aku tidak ingin menambah penderitaannya dengan membiarkan diriku masuk penjara akibat membunuh dua mahkluk durjana ini. Sebenarnya aku tidak peduli sekalipun tubuhku akan membusuk di dalam penjara. Aku sudah tidak inginkan apa-apa lagi. Tapi Emak. Biarlah...kuijinkan mereka bernafas demi Emak. Yah, demi Emak.

"Keluar dari rumahku! Segera kirim status jandaku! Dan satu lagi, jangan pernah muncul dalam kehidupanku sekalipun itu hanya berpapasan di jalan yang kebetulan kulalui. Kalau hal itu terjadi, aku tidak menjamin apa yang akan kulakukan terhadapmu, terutama terhadap lontemu itu, mengerti!" ***

Lebaran ini, berlalu begitu kelabu. Belum sempat kucicipi ketupat yang dimasak khusus di Idul Adha ini, aku masih tenggelam dalam lautan air mataku. Dalam dukaku. Dalam laraku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ceritanya bikin haru bun,,sedih

01 Aug
Balas

Makasih, Bun.

01 Aug

Sedih kisahnya Bu...

01 Aug
Balas

Iya, Bu. Makasih.

01 Aug

Terharu bacanya

01 Aug
Balas

Iya, Bu.

01 Aug



search

New Post