Helminawati Pandia

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Idul Adha Pertama Tanpa Suami

#Tagur Hari -41

#part9

Angin senja bertiup sepoi-sepoi membelai dedauan nangka yang tumbuh berbaris dihalaman rumah kontrakkanku. Suara gemerisik dedaunan itu bagai musik senja yang begitu syahdu di telingaku. Menyanyikan lagu sendu yang tidak lagi mengiris hati. Yah, aku tidak mau tersedu lagi. Semua kepiluan karena telah dikhianati telah kusingkirkan dari pikiranku. Kini aku bagai terlahir kembali dengn jiwa yang baru. Dengan asa yang baru, penuh percaya diri untuk menyongsong esok yang pasti lebih baik daripada hari yang telah lalu.

Dua hari sudah aku dan Emak menempati rumah mungil ini. Tidak ada kemewahan di dalamnya. Tidak ada perhiasan mahal yang menghiasi ruangannya. Yang ada hanya kesederhanaan bahkan menjurus kekurangan. Oh, iya. Masih Ada sebuah sepeda motor yang tercagak gagah disudut ruang tengah rumahku. Tetapi motor metik berwarna merah itu bukan lagi milikku. Pemilik barunya bernama Vito, salah seorang anggota komunitas alumni SMA ku. Tentu saja dia bekas temanku, meski sampai detik ini aku belum menemukan wajahnya di memeori ingatanku. Entah mengapa hingga hari ini sang empunya belum juga menjemput kepunyaan itu.

Di kontrakan kecilku ini aku merasakan ketenangan yang luar biasa. Kedamaian yang tidak bisa ditukar dengan kemewahan apapun. Begitu pula dengan Emak. Wajah pucat dan lusuhnya kini telah berganti dengan wajah teduh, bahagia. Yah, wajah yang tidak pernah kering dari air wudhu itu kini nampak tenang penuh keikhlasan. Perempuan sederhana ini tidak inginkan apa-apa, selain putrinya bahagia. Doa terbaik tiada henti terucap dari mulutnya dalam setiap salatnya.

“Hei, sore, cantik,” sapaan yang sudah sangat kukenal itu tiba-tiba mengagetkanku.

“Ah, Yesi. Ngagetin aja. Kok enggak bilang kalau mau mampir? Baru pulang kerja, nih?”

“Kamu sih, melamun terus. Padahal aku sudah klakson tadi sebelum turun dari mobil. Oh, iya. Gimana udah bisa kerja enggak mulai besok?” Yesi duduk disampingku setelah dia menyapa Emak yang sedang mengaji di ruang tengah.

Aku ingat, tadi malam Yesi nelpon dan mengatakan ada yang menawari pekerjaan untukku. Sebenarnya aku sangat gembira mendengar ada orang yang menawarkan pekerjaan setelah sekian lama aku hilir mudik mencari namun selalu gagal. Namun mendengar nama Vito entah mengapa ada perasaan kurang enak dihatiku.

“Ai, barusan dia nelpon aku lagi. Di mohon kesedian kamu untuk menerima tawarannya. Dia butuh banget tenaga kerja.”

‘Tidak masuk akal banget. Aku Cuma lulusan SMA. Apa yang dia butuhin dari aku coba? Lagian dia tau dari mana, sih, aku lagi nyari-nyari kerjaan?”

“Begini, lho, Ai. Jangan tersinggung ya. Sebenarnya dia duluan yang cerita ke aku kalau dia lagi butuh orang kerja.” Wajah Yesi berubah serius.

“Jadi aku sodorin nama kamu. Eh, dia setuju. Tapi maaf ya, Ai. Kerjaan ini sebenarnya cuman kayak, gimana ya aku ngomongnya.” Ucapan Yesi terhenti. Sesaat ada keraguan disana.

“Kenapa, emang?” cecarku penasaran.

Jadi gini. Vito kalau di kantornya itu sering kesulitan kalau mau minum, atau pas jam makan siang gitu, sukak lupa. Kadang sarapan aja dia gak sempat dari rumah, eh, di kantor gak sempat sangkin sibuknya. Nah, dia ini ada penyakit asam lambung gitu deh. Jadi dia butuh seseorang yang bekerja di kantornya khusus untuk ngurus itu.”

“Oh, jadi babu, gitu?” teriakku.

“Oh, bukan!” Yah, bisa dibilang asisten pribadi gitulah. Jangan tersinggung, Ai. Sekarang Vito yang butuh tenaga kamu. Sebenarnya dia bisa aja nyuruh orang lain. Banyak kok yang melamar kerjaan ke dia. Tapi kan, kalau ngurus makanan gitu harus orang yang terpercaya, makanya dia milih kamu.”

Aku bingung harus bagaimana sekarang. Aku memang sangat butuh pekerjaan. Uang hasil jual motorku tidak mungkin bisa bertahan lama kalau aku tidak segera bekerja. Tapi pekerjaan macam apa yang ditawarkan ini? Memang sih, aku hanya punya ijasah SMA. Tapi jadi pelayan itu rasanya bagaimana, ya. Tapi pekerjaan apa sih yang pantas aku dapatkan?

“Sudahlah, Nduk. Daripada kamu tiap hari bengong dirumah, gak ada salahnya kalau kamu coba dulu pekerjaan itu. Toh, pekerjaannya juga halal. Insyaallah akan berkah, Nduk,” tiba-tiba Emak sudah ada didepanku.

Yesi tersenyum lega mendengar ucapan Emak. Dan meskipun masih ragu, aku mengangguk menyetujui tawaran Yesi.

“Nah, gitu, dong. Semangat!” Yesi memelukku erat seolah ingin menyalurkan kekuatan padaku.

“Ok, berhubung, kantor kita tidak searah, kamu berangkat pake motor kamu aja, ya. Tahukan alamatnya? Begitu pesan Vito tadi saat nelpon aku,”

“Hey, itu bukan motor aku lagi, itu motor Vito.”

“O, iya. Sekarang aku baru paham kenapa dia membeli motor kamu tanpa mengambil barangnya., rupanya ini rencananya. Supaya kamu bisa memakai motor itu untuk pergi bekera dikantornya. Ternyata Vito sangat cerdas.” Sergah Yesi berdecap kagum.

“Jadi maksudmu, ini semua sudah direncanakan olehnya, begitu?”

“Entahlah. Tapi kenapa semua jadi serba kebetulan begini? Tidak mungkinkan? Jangan-jangan….”

“Jangan-jangan apa?”

“Entahlah…” Yesi sengaja menggantung ucapannya.

“Sebenarnya Vito itu, siapa, sih?” sergahku sesaat setelah berpikir keras tentang kebingunganku.

“Besok kamu akan tahu, sabarlah. Mudah-mudahan kamu tidak jatuh cinta, karena proses perpisahanmu belum selesai. Kamu masih istrinya Alek. Jangan main api dulu, ya!” Yesi terkekeh menunjukkan barisan gigi putihnya yang tersusun rapi. Emak ikut tersenyum sambil berlalu menuju dapur.

"Aku belum makan, nih. Emak masak apa hari ini?" tanya Yesi mengekori langkah emak.

"Emaka cuma masak balado telur, dan oseng-oseng kangkung. Yuk, makan disini aja sekalian."

"Tapi ya, gini. Seadanya. Gak ada daging atau ikan. Pasti kamu gak selera?" sambung emak lagi.

"Selera kok. Aku suka oseng-oseng kangkung."

Aku menyusul menuju dapur dan ikut duduk lesehan bersama emak dan Yesi. Tidak ada meja makan disitu. Duduk lesehan dilantai harus kami lakukan setiap hari. Namun hal itu tidak mengurangi kebahagian yang mulai kami raih.

"Ai, gimana si Gendis?" tanya sambil menyuapkan oseng kangkung kemulutnya.

"Gimana apanya?"

"Setelah berdarah kemarin, gimana perkembanngannya?"

"Gak ada, aku malah menunggunya. Aku mau tahu gimana reaksi suami barunya itu. Sebenarnya gak enak itu sama Hardi. Tapi gimana, dia gak bisa mendidik adiknya."

"Jangan salahin Hardi! Dia enggak salah. Gendis yang pelakor, Hardi yang kamu salahin!" protes Yesi menyudahi makannya.

Aku menangkap sedikit rasa kurang senang dari nada ucapannya. Namun jujur waktu itu aku belum memahaminya.

"Yes, kalau boleh tahu, kamu kapan rencananya?" tanyaku hati-hati.

"Rencana apa ya?"

"Kamu pendidikan udah kelar, kerja udah mapan. Tinggal nikah dong?"

Yesi tersenyum sekilas. "Gak mau buru-buru. Ntar nyesal kayak kamu."

"Kalau boleh tahu, kamu udah punya pilihan belum. Aku gak liat kamu dekat siapa-siapa."

"Gak ada, Ai. Yang aku suka sudah milik orang. Dan aku gak mau jadi pelakor, hehehe. Udah ah, aku balik ya. Emak saya pulang dulu ya."

Aku mengantar Yesi kedepan. Masih terngiang ditelingaku ucapannya barusan. Ternyata sahabatku ini juga memendam suatu kesedihan. Namun dia sangat pintar membungkus deritanya. Tiada sekalipun kumelihat keluh kesahnya. Tiada juga duka diwajahnya. Tapi siapa sebenarnya pria yang dimaksudnya. Seingatku sejak.di SMA dulu hanya Hardi yang dekat dengannya. Tapi mereka dekat karena Hardi berniat mendekati aku. Tetapi mungkinkah Yesi malah....

"Jangan lupa besok pagi, Vito menunggumu. Dadah...."

Mobil mungilnya perlahan menjauh meninggalkan seribu tanya dihatiku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ada apa dengan vito? Siapa vito? Penasaran saya bun

14 Aug
Balas

Iya, bun. Tunggu part berikutnya ya.

15 Aug

Lanjut di part selanjutnya ya.

15 Aug
Balas

Bun kok belum terbit part selanjutnya. Pinisirin Bun.

25 Aug
Balas



search

New Post