Hendriko Septriadi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Curahan Hati

Aku terlahir bukan dari keluarga yang kaya. Ayahku seorang petani dan ibu seorang ibu rumah tangga. Setiap pagi selepas subuh, ibu mempersiapkan segala sesuatu yang kami butuhkan. Yang tidak pernah terlepas dipersiapkan ibu adalah sarapan. Ibu sangat marah kalau kami tidak sarapan sebelum melakukan aktifitas. Bagi ibu sarapan merupakan sumber energi pertama yang kita peroleh sebelum beraktfitas.

            Ayah sudah berangkat ke sawah atau ke ladang setiap pagi. Kadang ayah mengolah sawah yang kami punya, yang tidak seberapa luas nya. Kadang ayah menerima borongan dari orang lain untuk mengerjakan sawah atau ladang orang tersebut.

            Upah yang diterima ayah dari borongan orang lain, tidak mencukupi untuk membiayai seluruh kebutuhan kami, yang mana kami sekeluarga berjumlah 8 orang. Jangan kan untuk biaya pendidikan, untuk makan sehari hari saja tidak cukup.

            Untuk mencukupi biaya hidup kami, ibu membantu ayah dengan ikut menjadi buruh tadi. Sungguh berat perjuangan keluarga kami. Menetes air mata ini melihat perjuangan kedua orangtuaku. Seakan hati ini berontak, kenapa hidup kami seperti ini? Terkadang muncul rasa ini dihati, melihat kehidupan orang lain. Serba berkecukupan, apa yang diminta langsung bisa dikabulkan orangtuanya. Sementara aku? Tak ada kata untuk serba berkecukupan.

            Cobaan silih berganti menghampiri keluarga kami. Ayah dan ibu tetap tegar dan kuat menghadapi semuanya. Kami tinggal disebuah pondok, ditengah hamparan sawah. Rumah yang terbuat dari bambu. Jikalau hujan kedinginan, jikalau panas, kami sekeluarga kepanasan. Rumah tanpa aliran listrik.

            Penerangan dalam rumah kami hanya dengan sebuah lampu dinding, yang berbahan bakar minyak tanah. Penerangan yang ala kadarnya. Kalau kami makan malam harus dempet dempetan, karena penerangan yang tidak cukup.

            Kalau ada tugas rumah yang diberikan guru maka aku kerjakan dengan cepat disiang hari. Takut tak bisa dikerjakan dimalam hari, karena tak bisa berkosentrasi mengerjakannya akibat tidak terangnya cahaya lampu dinding.

            Satu hal yang membuatku tak lupa diri, agama. Orangtua ku mendidik aku dan saudara ku yang lain menjadi hamba yang bersyukur. Hamba yang melihat kebawah, bukan hamba yang melihat ke atas. Ayah dan ibu memberikan pelajaran bagaimana cara bersyukur, bagaimana cara mempertahankan hidup dengan berbagai cobaan yang datang silih berganti.

 

            Melihat kehidupan ku yang seperti ini tak membuat surut dihati ini untuk menempuh pendidikan yang layak. Cita cita ku adalah ingin membahagiakan orangtuaku. Istilah orang minang mengatakan Mambangkik Batang Tarandam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantul koo...samo nasib wah mah koko...tapi beda profesi...

05 Mar
Balas

sangat menginspirasi , mantul pak

05 Mar
Balas

Aku juga sedih mengingat kisah hidup ku

10 Mar
Balas

Aku juga sedih mengingat kisah hidup ku

10 Mar
Balas

Gua jdi sedih....

06 Mar
Balas



search

New Post