Meraih mimpi
Senja kembali menyapa, membiarkan langit menebar pesona dengan jingganya. Burung-burung pipit hendak pulang ke sangkarnya, hewan-hewan peliharaan seperti ayam, kelinci dan angsa di umpan untuk masuk ke kandangnya. Daun-daun jarak dan bunga-bunga dalam pot seolah bahagia menikmati angin sepoy-sepoy. Begitulah keadaan flora-faun saat senja datang di Kampung Salak tempat seorang wanita cantik dilahirkan. Namnya Fatimah Hussein. Ia hendak bercermin pada lemari baju seukuran pintu. Mengamati dirinya adakah yang perlu ia rapikan lagi di bagian hijab dan pakaiaannya. Mata mungilnya menyorot sayu, bulu alis kecoklatannya membentuk seperti busur melengkapi wajahnya yang bulat dan putih. Tangan kanannya sudah penuh dengan perlengkapan sholat dan sebuah Al-quran. “Fatimah, sudah selesai belum?” tanya ibunya dari arah ruang tamu. Yang telah memakai atasan mukena dan sajadah hijau menyorban di punggungnya. “Iya bu, aku sudah selesai” jawab Fatimah dengan suaranya yang khas. Keduanya berangkat menuju masjid Al-ikhlas yang memerlukan waktu 10 menit untuk menuju masjid itu. Jalannya memang tidak sebesar jalan raya, tapi jalan itu sudah teraspal sejak Fatimah masih duduk di bangku SD. Langkahnya hampir sampai di halaman masjid itu. Sudah dari kejauhan ia melihat anak-anak sedang bermain kejar-kejaran. Mereka hampir seusia dengan adiknya Bayu yang masih duduk di bangku SD kelas 3. Setiap kali Fatimah menyaksikan anak-anak itu, selalu membuatnya tersenyum lebar dan menyimpan harapan besar. Tak lama adzan maghrib berkumandang, menggemas di seluruh Kampung Salak. Para tetangga dan anak-anak berdatangan menuju masjid Al-ikhlas. Sebagian dari mereka mengantri untuk berwudhu, dan sebagiannya lagi langsung menempati sajadahnya karena telah mengambil wudhu di rumahnya masing-masing. Fatimah duduk dan menunggu sholat maghrib dimulai. Beberapa orang yang berdatangan menyalaminya dan saling membalas senyum . beberapa dari mereka memebrikan satu atau dua pertanyaan pada Fatimah yang baru kelihatan setelah sekian lama sibuk dengan kuliah S1 nya di Bandung. “Sudah selesai kuliahnya Fatimah?” tanya bu Ani, guru SD nya dulu di kampung Salak. “Alhamdulillah selesai bu” jawab Fatimah dengan senyum manisnya. Beberapa orang di sekitarnya memperhatikannya dengan sorot yang agak berbeda. Terutama teman-teman seusianya yang seolah sinis pada Fatimah, tetapi ada yang pula yang merasa malu padanya. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa Fatimah sudah menjadi golongan yang elit. Pasalnya, hanya Fatimah yang memiliki tekad untuk tetap menjadi wanita yang berpendidikan. Kampung Salak tak hanya memiliki perkebunan yang maju dan subur. Terdapat beberapa pemuda-pemudi dan para orangtua yang hanya menyelsaikan pendidikannya di jenjang Sekolah Dasar. Mereka hanya berpikir kalau kuliah itu mahal, bahkan ada yang berpikir pelajaran kuliah itu susah. Beberapa diantara mereka menganggap, bahwa kehidupan itu hanya perlu pekerjaan dan mendapatkan uang. Sedangkan para gadis-gadis hanya berpikir menikah dan memiliki anak, asalkan hidup mereka tercukupi sehari-hatinya. Membuat mereka selalu menyindir Fatimah untuk tidak terlalu mementingkan pendidikannya. Namun berbeda dengan pemikiran Fatimah. Ia selalu berpikir bahwa berapapun usiayanya, jenis apapun latar belakang keluarganya pasti memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Dengan modal harapan, niat dan ikhtiar membuatnya sampai pada proses awal meraih cita-citanya. Malam datang membawa kesunyian, ia akan menjadi tempat para manusia untuk memejamkan matanya. Meminjam gelap untuk sejenak merebahkan raga mereka dari lelahnya aktivitas siang hari. Semua orang pulang dari masjid dan menutup pintu rumah mereka dengan rapat. Sebagian para bapak dan pemuda nongkrong di pos ronda, sedangkan para anak-anak dan ibu segera menyalakan Televisinya. Fatimah sudah tahu, kebiasaan masyarakat disekitarnya itu. Tapi itu tidak diterapkan di rumah Fatimah. Setelah pullang dari masjid, Fatimah mengajarkan Bayu untuk mengecek pelajaran apa yang esok akan ia dapatkan di kelasnya. Mengerjakan PR, menyiapkan buku pelajaran dan baju sekolah. Setelah itu barulah mereka menyalakan Televisinya. “Bu, aku sering malu sama tetangga disini. Dari dulu, mereka tidak suka kalau aku kuliah” ucap Fatimah pada ibunya yang hendak memotong kain untuk ia buat menjadi sebuah pakaian. Ibu Fatimah adalah seorang penjahit kecil-kecilan. Semenjak suaminya merantau jauh, membuat Ibunya Fatimah mengisi waktunya dengan menjahit. Sedangkan ayah Fatimah bekerja sebagai koki Restoran Sunda di Malang. “Sudahlah, jangan kau hiraukan perkataan atau prilaku yang membuat kamu sedih. Ikuti saja apa yang menjadi cita-cita kamu. Ingat pesan ayah, kejarlah cita-cita kamu selagi kamu mampu” jawab ibunya yang masih sibuk membuat pola di atas kain-kain itu. “Aku jadi punya keinginan untuk menjelaskan pada mereka semua bahwa menjadi wanita berkualitas itu merupakan sebuah nilai yang baik” Fatimah memain-mainkan potongan-potongan kain bekas di depan ibunya. “Buktikan saja dengan cita-citamu sendiri nak. Nanti orang juga akan diam jika melihatmu sukses” dukung ibunya yang mulai senang dengan semangat anaknya itu. “Bu, kalau aku melanjutkan S2 bagaimana?” tanya Fatimah. “Apapun keinginanmu ibu hanya bisa mendo’akan dan membantu semampu ibu dan yah kamu nak” “Tapi sebelum itu, aku harus punya kegiatan lain. Tapi apa ya bu?” “Coba aja melamar jadi guru di tempat sekolahmu dulu. Siapa tahu kamu dibutuhkan. Bukannya pemikiran baru dan wajah-wajah baru itu penting di sekolah?” “Benar juga ya bu” Fatimah mulai gembira. Berdialog dengan ibunya membuat ia kini mendapatkan suplemen baru di otaknya. Segera ia beranjak menuju kamarnya. Menyiapkan sebuah alat tulis dan membuat sebuah kosep yang menjadikannya sebuah mini riset untuk meraih impiannya. Beberapa buku berserakan di atas kasur, Fatimah bangun dari tidurnya semalam. Ia mulai ingat, bahwa semalaman ia telah membuat sebuah konsep yang membuatnya ketiduran. Segera ia menengok ke arah jam dinding persegi empat berwarna merah yang menunjukan puluk 03.00 WIB dini hari. Ia segera membereskan buku-buku itu dan membasuh wajahnya dengan air wudhu. Seperti kebiasaannya, jika sempat Fatimah melaksanakan shalat tahajud dan memanjatkan doa’doa dan harapannya pada Allah. Hingga pagi datang membawa semangat baru dan langkah baru. “Aku tahu, tidak mudah menjadi manusia yang berfaedah, tidak mudah menjadi seorang wanita yang melangkah kakinya jauh dari rumah dan mencari sebuah impian. Banyak hal yang perlu aku waspadai, yang harus aku benahi, yang mesti aku gapai. Sebagai wanita yang memiliki cita-cita untuk mengajak mereka bersama-sama menyuarakan jiwa dan raganya untuk pergi ke tempat singgahsana keberhasilan membuat aku terseret untuk bercita-cita sebagai seorang guru. Yang bisa memberikan motivasi dan semangat kepada anak-anak untuk tak berhenti berjuang menjalakan roda kehidupan melalui pendidikan. Karena dengan pendidikan akal dan hati bisa menata langkah lebih cerah” gumam Fatimah dalam hatinya. Segera Fatimah membuka pintu rumahnya, menuju sekolah-sekolah di Kampung Salak untuk menyampaikan maksudnya. Dengan harapan dan bismillah ia mulai dengan sedemikian cantik, meski Fatimah tahu, akan ada banyak tantangan dan cobaan yang akan datang menerpa hidupnya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mamtap