Herdiansyah Taher, S.Pd., Gr.

Follow IG: Herdiansyahtaher || Menulis adalah bekerja dalam keabadian "Pramoedya Ananta Toer". Ia salah satu tenaga pendidik di Aceh Timur dilahirkan dari ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tantangan Gurusiana Hari Ke-27. Napak Tilas Sejarah Tarian Adat Perang Enggano
www.antaranews.com

Tantangan Gurusiana Hari Ke-27. Napak Tilas Sejarah Tarian Adat Perang Enggano

Napak Tilas Sejarah Tarian Adat Perang Enggano

Oleh: Herdiansah,S.Pd.

[email protected]

Apa yang terlintas dipikiran kalian jika mendengar kata Enggano? Sebuah pulau terluar Indonesia yang masih primitif dengan semua kekurangan yang ada. Salah besar jika itu yang terlintas dalam pikiran kalian, Pulau Enggano adalah pulau terdepan Indonesia dengan segala keindahan alamnya yang alami, masyarakatnya yang ramah tamah, dan adat istiadat yang masih dijunjung tinggi.

Pulau Enggano berada di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu dan merupakan satu kecamatan. Pulau ini berada di sebelah barat daya Kota Bengkulu dengan koordinat 05° 31'13 LS, 102° 16'00 BT. Pulau yang terpaut jarak yang cukup jauh dengan Kota Bengkulu sekitar 175 km, 123 km dari Kota Manna Kabupaten Bengkulu Selatan, dan 133 km dari Kota Bintuhan Kabupaten Kaur. Perjalanan menunju pulau terdepan Indonesia ini menggunakan kapal feri selama 12 jam perjalanan jika tidak terhambat oleh badai melalui Pelabuhan Pulai Bai, Bengkulu.

Enggano memiliki luas wilayah 400,6 km² dengan jumlah penduduk 2.691 jiwa (per 2010) yang tersebar pada enam desa, yaitu Desa Kahyapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok, dan Banjarsari. Enggano memiliki lima suku asli yaitu suku Kaitora, Kauno, Kaharuba, Kaahua, dan Kaarubi, serta satu suku pendatang yaitu Kamay. Suku asli dan suku pendatang di Enggano sekarang hidup rukun dan berdampingan.

Masyarakat di sana masih menjunjung tinggi nilai adat dan istiadat yang menjadi peninggalan nenek moyang mereka. Tahu nggak sih? pulai yang memiliki lima suku asli dan satu suku pendatang ini tetap menjaga dan melestarikan seni budaya tari perang, yang diketahui sudah ada kisaran tahun 1828 silam.

Kita tilik sejarah terjadinya tarian perang Enggano. Sebelum itu, kita ketahui dulu tari perang itu apa? Tari perang sendiri merupakan tarian kebesaran adat masyarakat Enggano, yang dipertunjukkan ketika ada pesta adat pengukuhan serta penyambutan para petinggi atau pejabat yang datang ke pulau Enggano. Dalam tari perang ini, melibatkan penduduk asli Enggano. Baik dari kalangan orang tua, dewasa maupuan remaja serta kalangan kaum pria dan perempuan, yang jumlah penarinya bisa mencapai kurang lebih 80 orang.

Tari perang sudah ada sejak dulu dan diketahui sebagai peninggalan nenek moyang masyarakat Enggano. Tari perang adalah kisah salah satu suku di Enggano yang sedang melangsungkan pesta adat masa itu. Saat pesta adat sedang berlangsung muncul masyarakat dari suku lain datang dan langsung menyerang rombongan masyarakat adat yang berpesta. Sehingga, terjadilah perang antar suku yang tidak bisa terelakkan. Perang antar suku selesai jika salah satu diantara suku tersebut kalah dan meninggalkan kawasan teritorialnya. Masyarakat suku yang berperang akan membawa senjata pusaka berupa tombak dan parang serta ''Kamiyu'' alat tiup tradisional untuk memanggil masyarakat yang terbuat dari kerang laut.

Menilik sejarah ke belakang, ternyata dibalik tarian perang Enggano yang sering kita lihat ketika hari kemerdekaan RI atau ada acara penyambutan seseorang yang dianggap penting memiliki sejarah yang kelam. Setiap suku yang ada tidak pernah hidup rukun dan damai. Setiap suku mempertahankan teritorialnya atau daerah kekuasaanya masing-masing dipimpin oleh kepala suku sampai mengusir suku yang lemah.

Saat ini, kita tidak perlu takut lagi ketika masyarakat Enggano menampilkan tarian perang karena senjata pusaka parang dan tombak dalam tari yang dibawakan oleh masyarakat lima suku dan satu suku pendatang itu, sudah tidak menggunakan senjata yang asli dalam arti sudah replika atau senjata yang terbuat dari kayu. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kecelakaan saat tari perang berlangsung. Sebab, beberapa waktu lalu masyarakat yang ikut tari perang pernah kesurupan yang diduga kerasukan arwah nenek moyang. Akibatnya, salah satu masyarakat yang ikut menarikan tarian ini terluka. Sejak kejadian itu, senjata pusaka tidak digunakan lagi dan disimpan. Senjata pusaka yang masih ada sekitar seratus dan tersimpan di rumah ketua suku.

Hanya satu alat yang masih tetap digunakan yaitu “Kamiyu” alat tiup yang terbuat dari kerang laut berfungsi sebagai tanda dalam perang. Penggunaan Kamiyu tidak digunakan secara sembarangan karena bisa saja kalau digunakan sembarangan bisa terjadi bencana yang tidak diduga. Kamiyu memiliki kode dan makna tersendiri. Jika peniupan tiga kali putus-putus bertanda ada tanda bahaya yang datang. Sementara jika ditiup panjang sebanyak tiga kali berarti ada musyawarah atau acara pernikahan. Jika ada acara pernikahan atau acara adat masyarakat Enggano tidak perlu mengantarkan undangan ke setiap rumah, hanya meniupkan kamiyu tiga kali. Ketika ada bencana maka kamiyu ditiup secara putus-putus. Kamiyu tidak ditiup sembarangan. Kondisi seperti ini masih digunakan di Enggano.

Masyarakat yang mengikuti tari perang menggunakan pakaian yang terbuat dari alam, untuk perempuan mengenakan baju yang terbuat dari daun pisang yang sudah kering. Begitu juga dengan kaum pria, pakaian yang digunakan terbuat dari daun pisang dan tambahan aksesoris lain seperti, rerumputan liar yang terdapat di hutan, serta arang atau tanah untuk mengotori badan para penari khusus kaum pria. Aksesoris yang digunakan di atas kepala baik kaum perempuan ataupun pria sama yaitu daun Kitoh dengan cara diikatkan ke kepala.

Sekarang kita bisa tahu, ternyata dulu memang terjadi perang sungguhan antar suku untuk memperebutkan wilayah kekuasaan. Namun, saat ini tarian perang Enggano ditampilkan hanya sebatas tarian untuk mengingatkan sejarah kelam yang seharusnya tidak pernah terjadi dan tidak akan terulang kembali. Sekarang enam suku yang ada di Enggano yaitu, suku Kaitora, Kauno, Kaharuba, Kaahua, dan Kaarubi, serta satu suku pendatang yaitu Kamay hidup rukun dan damai. Biarlah masa lalu hanyalah masa lalu yang hanya akan menjadi kenangan kelam yang tidak akan terulang lagi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post