Menawar, Hemat atau Hobi
Tugas rutin, Sabtu pagi menemani istri ke pasar. Belanja kebutuhan pokok. Sayur-mayur, lauk-pauk, serta berbagai bumbu dapur untuk persediaan selama seminggu.
Tiba di los sayur-mayur, kami berhenti di depan penjual sayuran. Seorang wanita usia sekitar tiga puluh tahunan. Di sampingnya, seorang bocah, mungkin usia setahun, tampak tertidur lelap berselimut sarung tipis ibunya di antara tumpukan sayur mayur.
“Berapa, Mbak?” tanya istriku sambil mengambil dua ikat kecil kacang panjang.
“Tiga ribu seikat, Bu,” jawab si mbak penjual sayur.
“Lima ribu dua ikat, yah,” tawar istriku.
“Sudah Bun, jangan ditawar. Kasihan, dia untungnya nggak seberapa,” bisikku perlahan.
Si mbak juga tampak agak berat menjual dua ikat kacang panjang itu lima ribu rupiah. Tapi begitu istriku beranjak mau pergi, perlahan dia mengangguk,
“Iya, Bu. Boleh,” jawabnya sambil membungkus dua ikat kacang panjang itu.
Istriku menyerahkan tiga lembar uang dua ribuan. Si mbak memberikan kembalian, uang logam seribu rupiah.
“Nggak beli yang lain, Bu?”
“Ini aja, Mbak. Terima kasih.”
Kami beranjak ke penjual tomat. Ada yang masih bertumpuk, ada juga yang sudah dikemas dalam plastik. Setiap kemasan beratnya satu kilo.
“Tomatnya, Bu. Lima belas ribu sekilo,” kata si penjual.
“Tiga belas, ya, Pak,” kembali istriku menawar.
Kugamit pelan lengan istriku. Pelahan kugelengkan kepala sebagai isyarat agar jangan ditawar. Tapi istri malah pura-pura tak mengerti.
“Gimana, Pak, boleh, ya?”
“Iya lah, Bu. Nggak papa.”
Istriku memberikan uang lima belas ribu. Si bapak penjual tomat menyerahkan kembalian dua koin seribuan. Ah, dasar ibu-ibu, gerutuku dalam hati. Cuman beli sayuran aja pakai nawar.
Melihat wajahku yang cemberut, istri bukannya sadar, eh malah senyum-senyum nggak jelas. Bangga betul dia, bisa menawar harga. Padahal uang yang dihemat juga tidak banyak. Cuman tiga ribu.
Singkat cerita, belanja sudah selesai. Kami pun menuju tempat parkir motor untuk pulang. Di pasar ini ada uang parkir. Seribu rupiah untuk setiap kendaraan roda dua. Istriku merogoh saku celana yang ia kenakan. Saku kanan, lalu saku yang kiri, beralih lagi ke saku kanan. Wajahnya kelihatan agak kesal.
“Kok nggak ada.”
“Kenapa, Bun?”
“Uang logam kembalian tadi, Yah, buat bayar parkir.”
“Astaga, saku Bunda bolong!”
Bunda… bunda…. Coba waktu belanja sayur tadi nggak usah ditawar. Lumayan kan, uang kembalian tiga ribu itu buat nambah keuntungan si mbak dan bapak penjual sayur. Nah, sekarang? Uang yang Bunda hemat, akhirnya juga hilang, tercecer entah di mana.
Begitu ucapku, tapi tentunya hanya dalam hati. Aku tak berani mengatakan langsung. Dalam keadaan kesal, power of emak-emak bisa sangat dahsyat akibatnya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen ulasannya, Pak. Sukses selalu. Salam literasi
Alhamdulillah, masih belajar Pak Dede. Mohon bimbingan. Terimakasih.