Heri Sucipto, M.Pd.

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Tragedi Itu Indah

Perempatan lampu merah kini mendadak ramai, sarat lalu lalang kendaraan peserta upacara 17 Agustus 2017, Hari Ulang Tahun ke 72 Republik Indonesia yang baru saja selesai. Ekspresi Pak Tomo pun menyambut dengan rautan mimik muka yang bak gado-gado, campur aduk. Ia hanya bisa terharu dan bangga menyaksikan warna warni bendera, antusias euforia masa, geliat pembangunan di ‘Kota Tepian’ tercinta buah manis perjuangan pahlawan kemerdekaan. Namun tak bisa dipungkiri ia pun membatin, menyesali, dan meratapi suasana hati yang gundah. Sejatinya, kini ia belum dapat merasakan makna nikmat kemerdekaan sesungguhnya diusia yang hampir mencapai kepala lima. Di pagi itu, air matanya mulai berlinang dan makin bercucuran tatkala mengenang tragedi menyakitkan sepanjang hidupnya. Kejadian satu setengah dasawarsa silam ketika pasca peringatan detik-detik kemerdekaan nyaris serupa seperti saat ini. Ia harus kehilangan kaki kanan setelah diamputasi akibat tabrak lari oleh seorang pelajar dengan seragam SMA swasta yang sedang kebut-kebutan balapan liar di jalan alteleri Jenderal Sudirman. Padahal, ia baru saja mendampingi siswa-siswanya mengikuti upacara di lapangan KODIM. Ironis, mengenang itu laksana nostalgia duka membuka kembali lembaran kelabu menyayat hati.

Dulu sebelum musibah itu, predikat guru teladan kota sempat disandang kala masa emas kariernya sebagai pendidik panutan. Juara lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional dan badminton se kota merupakan bukti kejayaan prestasinya. Sungguh cemerlang kilauan penghargaan yang pernah diraih, bukan semata mendedikasikan diri sebagai pengajar, melainkan sanjungan olahragawan muda, penulis berbakat pun sering mengalir dari teman sejawat. Nasi telah menjadi bubur, belum sempat obsesi besar menjadi Pegawai Negri Sipil yang diangkat negara tercapai, nasib naas itu telah menimpanya. Lantaran hanya bernaung pada salah satu yayasan ternama di kota ini, ia pun didepak secara hormat dari sekolah tempat ia mengabdi hampir selama lima tahun. Ia dipecat, harus angkat koper sebagai seorang guru lantaran pertimbangan efektifitas kinerja dan efesiensi lembaga yang bukan berplat merah itu. Ia dianggap tidak produktif lagi dengan ketunaan fisik kaki yang diderita. Setelah tiga bulan musibah kecelakaan itu, ia urung hadir ke sekolah lantaran krisis kepercayaan diri sehingga khatamlah mimpi besarnya. Habis manis sepah dibuang. Malu, minder, frustasi dan carut marut berbagai gejolak psikis lain mendera emosi batinnya dalam pergaulan dengan warga sekitar lingkungan tempat tinggalnya, hingga rentetetan peristiwa itupun semakin menggelayuti perasaannya. Ia pun kala itu memutuskan mengurung diri dalam rumah hampir dalam kurun setahun.

Untung, Ibu Fatmawati sang istri pujaan hati masih setia bersama buah cinta kesayangan, Dirmantara. Padahal, Dirman sapaan kecil anaknya, kala itu baru berusia enam bulan. Betapa sukar meneguhkan hati Pak Tomo untuk bangkit dari keterpurukan, menjadi lelaki sejati, suami panutan, dan seorang bapak yang diidolakan anak semata wayangnya itu. Hanya kemurnian cinta dan kelembutan kasih Ibu Fatmawatilah yang senantiasa sabar, ulet, ikhlas telah berhasil menyejukkan dan menumbuhkan keberanian yang secara perlahan mampu mendewasakan hati Pak Tomo demi bangkit berkarya kembali, menjalani kehidupan normal walau harus bantuan tongkat untuk pijakan pengganti kakinya itu. Kini dihari bersejarah di tengan kondisi ketunadaksaannya ia mencoba bersyukur walau hanya menjadi seorang loper koran dan tukang sol sepatu yang menetap, membuka lapak kecil di bawah pohon trembesi tepat di tepi kiri perempatan Bhayangkara. Sementara sang istri selalu mendampingi di samping tempat usahanya sambil juga mencoba menjajakkan es dawet dan pecel pincuk khas Madiun di atas sebuah gerobak dorong sederhana.

Kenapa Mas, kok bengong melamun sendiri?” ujar sang istri

Gak ada apa-apa kok, Dek.” jawab Pak Tomo datar

Jangan bohong, aku ini istrimu, Mas.” sahut istrinya meyakinkan

Nggak Dek, mas cuma bingung, cemas dan rindu saja.”

Pak Tomo bingung akan rejeki yang kian menurun drastis karena sepinya pelanggan koran dampak kemajuan akses teknologi digital diera globaliasasi, sosial media semakin canggih, serta jarangnya peminat sol sepatu lantaran semakin menjamur sepatu impor bermerek, baik baru atau loak dengan harga miring ala blackmarket, akibat isu gencar akan dimulainya perdagangan bebas kawasan Asia Tenggara, MEA. Pak Tomo pun cemas akan nasib kelanjutan pendidikan Dirman sebab uang untuk asap dapur keluarga saja kini masih tambal sulam pinjam tetangga dan iuran komite sekolah pun telah enam bulan menunggak, terbesit pula kerinduan Pak Tomo akan memegang spidol untuk transfer knowledge kepada peserta didik di sekolah, kangen untuk menghidupkan riwayat ijazahnya yang kini mati suri.

Tawakal ya, Mas.”

Insyallah ada jalan keluarnya.”

tutur Ibu Fatmawati menenangkan setelah mendengarkkan sendu curahan hati sang suami.

Bantu mas, Dek! Agar tegar menghadapi semua ini.” Pak Tomo lirih pasrah

***

Brraaakkkk!

Aduh … kaki ku ini… akh… sakiiit!” seorang anak nampak meringis kesakitan

Tidak… tidak… tidak… tidak mungkin ini terjadi padaku… tidak mungkin!”

Anak itu pun teriak histeris, syok dan pingsan di tempat.

Suatu tabrakan dahsyat terjadi tepat di depan mata Pak Tomo dan Ibu Fatmawati. Seorang anak SMP terpental jatuh lalu terkapar bersimbah darah. Penabrak pun terhempas hingga hampir ke tengah simpang empat itu. Dahi, Pipi, sikut, lutut, lengan, telapak tangan dan kaki kanannya pun memar, terluka parah. Motornya terlempar lalu terjungkal ke parit tepat di tepi kanan marka jalan. Fiber sayap kanan motor itu pun tergores retak, lampu sein pecah dan kaca spion kanan patah. Jalan pun macet, mengular, kerumunan orang pun menyemut, mengelilingi tempat kejadian perkara. Situasipun kacau, serba panik tak terkira, saling tuding karena saat sebelum kejadian trafight light tiba-tiba padam, sambung opini dari para saksi mata saling melengkapi kronologis peristiwa dari. Tapi yang membuat semua orang di situ tak percaya menerima kenyataan, sepatu kiri anak SMP itu terlepas dari kaki kirinya akibat terlindas keras ban motor. Namun tidak hanya lepas biasa, tapi sangat memilukan, nampak kaki siswa itu buntung di pergelangan betis kirinya, sepatu dan kaus kaki masih melekat bersimbah darah merah segar. Seketika pula, Ibu Fatmawati pun pingsan mendadak, setelah selintas mengira anak yang berseragam putih biru yang tertabrak itu adalah Dirman, yang hingga kala itu belum pulang sekolah. Jantung si Pak Tomo pun seketika kambuh, trauma, tak siap menyaksikan hal serupa yang pernah dialami. Mentalnya sangat terpukul seraya tak terima, menghakimi emosi diri terhadap peristiwa naas yang terjadi. Pak Tomo meringis kesakitan menahan perih jantungnya. Tiba-tiba dengan terengah-engah berlari tergesa-gesa sambil menangis, Dirman datang menghampiri kedua orang tuanya yang didapatinya telah tak berdaya.

***

Pasca kejadian, semua keadaan berangsur normal kembali, si penabrak diintrogasi di Polsek Samarinda Kota yang tak jauh dari TKP, si korban telah dilarikan ke RSUD A. W. S. Syahranie, situasi lalu lintas perlahan lancar teratur, Ibu Fatmawati mulai siuman, penyakit jantung yang semula kambuh perlahan mulai sembuh membaik berkat ditolong oleh warga sekitar. Keadaan pun bertahap tenang seperti sedia kala. Mengharukan, sewaktu Ibu Fatmawati memeluk erat anaknya, setelah dilihat sehat dan selamat hadir tepat di depannya. Pak Tomo pun spontan ikut memeluk istri dan si Dirham, wujud ekspresi syukur atas keutuhan keluarganya.

Darimana saja, Nak?”

Kenapa baru pulang?” lirih Ibu Fatmawati

Dirman dari sekolah, Bu.”

Tadi habis pulang sekolah, dipanggil wali kelas, Bu.”

Pak Karno nanyakan masalah uang buku, Pak.” deskripsi Dirman pada kedua orang tuanya

Ya Alloh, Gusti, cobaan apalagi ini ini?” keluh getir Ibu Fatmawati

Berapa semuanya, Nak?” sahut Pak Tomo

Dua ratus lima puluh ribu rupiah, Pak.”

Ini tagihan cicilan kelima, Bu.” papar Dirman lanjut menjelaskan

Aduh, darimana lagi duit untuk membayar semua itu?”

Dagangan ibu masih sepi, orang pada puasa.”

Koran bapakmu dari tadi nggak banyak yang laku, Nak.” ujar Ibu Fatmawati

Dirman hanya bengong tak tahu harus berbuat apa.

Bu, tapi tadi Bapak Sukarno juga mengasih surat ini.” tutur Dirman agak sedikit ketakutan

Walah, Kau buat masalah apalagi di sekolah?”

Pusing banget ibumu ini, Tole.”

Sinau iku sing tenanan to, ora usah gawe perkoro karo kancamu lan bapak ibu guru koe!”

(belajar itu yang serius, tidak usah membuat masalah dengan teman dan bapak ibu gurumu)

Ibu Fatmawati menceramahi singkat dengan logat Jawa Timuran yang kental

Coba tenang dulu, Bu!”

Kita baca surat itu baik-baik dulu!” bujuk si Pak Tomo

Ya sudah kalau begitu, Bapak saja yang buka dan membaca surat itu.”

Kasihkan surat itu pada bapakmu!”

Usai membaca inti isi surat itu,

Alhamdulillah Bu, surat ini tentang panggilan orang tua atau wali murid dalam rangka serah terima beasiswa prestasi.”

Walah tole-tole, kau itu anak berprestasi toh di sekolah.”

Bapak baru ngerti.”

Maafkan bapak dan ibumu ini telah buruk sangka padamu.” Pak Tomo menghampiri sembari menepuk pundak anaknya itu.

Tole anak yang membawa berkah ya, Pak!” Ibu Fatmawati memuji

***

Tak lama kemudian, tengah hari dalam cuaca panas terik menyengat, hadir satu rombongan lelaki berbadan tegap mengenakan seragam lengkap Satuan Polisi Pamong Praja yang masing-masing dari mereka membawa sebilah rotan panjang bergegas dengan sigap menyerbu ke arah lapak dan gerobak milik Pak Tomo dan Ibu Fatmawati. Mereka membabi buta mengangkat paksa segala barang dagangan yang ada. Sepasang suami istri itu tak berdaya, menjerit lantang seketika sembari menangis pilu meratapi nasibnya. Mereka sesekali coba berontak, dan menghalang-halangi para pemuda kekar spesial penata ketertiban lingkungan dan penyakit sosial yang meresahkan masyarakat itu. Apa boleh buat, kemampuan Pak Tomo dan Ibu Fatmawati, tidak sebanding dengan kegesitan Satpol PP itu yang dengan tangkas dan kasar mengangkut satu-satunya lahan mencari nafkah keluarga. Histeris pun tak dapat dipungkiri dialami Dirmantara. Akhirnya mereka hanya bisa pasrah lantaran secepat kilat semua tuntas dan bersih terangkut ke truk khusus memuat barang sitaan pedagang kaki lima. Pak Tomo dan Ibu Fatmawati sadar bahwa mereka berdua sebelumnya telah mendapat tiga kali teguran dan dua kali surat perigatan dari pihak Satpol PP untuk mensterilkan lokasi dari akifitas tak berizin resmi dengan dalih penciptaan Kota Tepian yang hijau, bersih, dan sehat.

Para petugas Satpol PP itu pun tak kompromi lagi dalam eksekusi lahan itu dari segala kekumuhan dan kesemerawutan kota. Padahal, pada kotak sol sepatu yang disita, terdapat dua pasang pesanan jahitan sepatu yang telah selesai dikerjakan dan akan diambil oleh pemiliknya nanti sore ini. Dalam lapak korannya pun masih banyak koran dan majalah yang belum laku terjual, bahkan dagangan itu hanya titipan dan ambilan sementara yang masih belum dibayar dari para agen dan penerbit surat kabar. Begitu pula Ibu Fatmawati, selain gerobak tuanya, cobek dan lemper, bakul nasi, piring, mangkuk, hingga gelas dan gentong dari tanah liat yang masih berisi dawet pun raib ikut tersita. Mereka mengaku bersalah karena tidak mengherankan teguran dan peringatan petugas. Mereka tidak punya pilihan lain untuk lokasi jualan gratis karena ditempat itu sangat strategis dan menguntungkan untuk mendagangkan barang-barang dagangannya.

Pengangguran lagi, pengangguran lagi. Mau diberi makan apa anak istri. Hal itu yang menggelayuti alam pikiran Pak Tomo seraya termenung meratapi segala penderitaan yang selama ini terjadi. Galau, gusar, dan gelisah tak dapat dielakkan dari raut wajahnya. Dirinya pun semakin malang ketika mengingat lima hari lagi jatuh tempo waktu pembayaran kontraknya yang telah nunggak triwulan. Pasalnya, ancaman pengusiran paksapun telah disampaikan sang juragan kost sebulan sebelum kejadian ini. Tak tahu harus berbuat apa, mereka bertiga hanya duduk tertunduk lesu meratapi semua ini. Tapi Pak Tomo sempat ingat pada pesan wasiat moral dari mendiang almarhum ayahnya, bahwa

Sebagai anak bangsa, kita harus tetap tersenyum walau ibu pertiwi menangis. Generasi keturunanku, nanti harus mampu bangkit dari keterpurukan, jangan seperti generasi bapak yang hidup sengsara dilindas tirani kemiskinan sepanjang zaman. Anak cucuku, kita nanti harus menjadi orang yang jujur, sabar, ikhlas namun tetap berusaha selama hayat masih dikandung badan untuk mencari rezeki halal jangan menyerah pada keadaan karena Allah tidak akan memberikan cobaan yang melebihi batas kemampuan hambanya. Kamu tidak boleh lemah hati, tapi kamu harus menjadi manusia seutuhnya yang mampu memberi warna pada lingkunganmu.”

Demikian sekelumit wejangan yang sempat Pak Tomo ingat sebelum bapaknya meninggal dunia.

***

Di saku, dompet, dan kotak uang mereka berdua kini hanya ada uang tersisa sekitar tidak sampai seratus tujuh puluh lima ribu rupiah hasil jerih payah peras keringat mereka. Mereka bingung bagaimana memanfaatkan sisa uang tersisa. Tiba-tiba, seorang wanita tua datang-datang marah menghampiri Pak Tomo dan Ibu Fatmawati. Wanita itu marah besar, tak terima atas perlakuan Ibu Fatmawati yang membuat anak sulungnya muntah-muntah, diare, yang nyaris terindikasi keracunan nasi pecel yang dibeli di warung gerobak Ibu Fatmawati pada hari lusa lalu. Gejalanya dimulai setelah anak sulung ibu paruh baya itu selesai melahap habis sebungkus nasi pecel racikan bumbu kacang khas ala Ibu Fatmawati, namun setelah beberapa saat menyantap nasi pecel, anak itu muntah-muntah, lalu diare semalaman, besoknya diperiksakan di dokter keluarga, ternyata terindikasi keracunan makanan. Setelah ditanyakan pada dokter, penyakit itu bersumber dari nasi pecel itu, yang juga menurut perlakuan anak sulungnya bahwa kulupan daun singkong pada nasi pecel itu sudah mengeluarkan aroma bau tak sedap.

Merasa anaknya diperlakukan tidak nyaman dan hingga kini terpaksa harus dirujuk dan rawat inap di rumah sakit, wanita tua itu pun bersiap memperkarakan si Ibu Fatmawati ke aparat berwajib yang kemungkinan akan dijebloskan ke hotel rodeo. Kasus itu pun akan tidak sampai ke polisi, namun Ibu Fatmawati harus menyelesaikan melalui jalan kekeluargaan dengan memberikan uang ganti rugi pengobatan dan biaya administrasi rumah sakit kepada saya yang seluruhnya senilai sepuluh juta rupiah. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pusing tujuh keliling, stress berat seketika kini diderita Ibu Fatmawati dan Pak Tomo karena harus segera memutuskan pilihan antara berurusan dengan penegak hukum atau diselesaikan secara damai. Nampak Pak Tomo keringat dingin, Ibu Fatmawatipun hanya bisa terduduk lesu, mengeritkan dahi merunduk sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Mereka semakin bingung atas rentetan permasalahan keluarga yang semakin pelik menguras pikiran.

Nggak ada pilihan lain kah, Bu?”

Kami ini cuma rakyat jelata, mangan wae susah.”

Apalagi harus mengganti biaya sebesar sepuluh juta rupiah.” Ibu Fatmawati berkeluh kesah dengan polos

Darimana mendapat uang sebanyak itu?”

Usaha dagang kami saja kini baru disita petugas.” ucap Pak Tomo dengan gelagat mengharap belas kasihan

Apa peduli saya, yang penting kalian bayar segera atau saya akan penjarakan istrimu itu!”

Saya ingin kalian memilih, bukan merengek mengharap mukjizat.” cetus kasar wanita itu.

Anak kau saja, bisa sekolah.”

Pokoknya saya nggak mau tahu, segera kau putuskan atau saya laporkan sekarang ke polisi!”

Jangan… jangan… jangan!”

Jangan lakukan itu pada kami, Bu!

Mohon maafkan aku, Bu!”

Aku rela menjadi pembantu Ibu seumur hidup, asal tidak dipenjara karena anakku masih kecil.” Ibu Fatmawati bersimpuh sujud di kaki wanita itu

Mohon jangan bersimpuh begini, Bu. Saya jadi tidak tega melihat Ibu seperti ini.”

Sebenarnya saya hanya menguji Bapak dan Ibu.”

Saya seharusnya yang malu dan merasa bersalah karena tingkahlaku anak saya dahulu.”

Maafkan saya karena telah berbohong besar pada Bapak dan Ibu.”

Tadi saya hanya bersandiwara saja dihadapan Bapak dan Ibu.”

Wanita tua itu merupakan orang tua dari siswa yang pernah menabrak Pak Tomo hingga kaki kirinya buntung. Kecacatan kaki Pak Tomolah yang membuat anak wanita itu merasa dihantui sepanjang hidupnya. Hingga pada akhirnya anak wanita itu pun mengalami nasib lebih sangat tragis lagi. Anak itu terlibat tabrakan maut berantai antara sedan yang dikemudikannya dengan bus, dan truk kontainer tepat di simpang empat yang sama dengan kejadian Pak Pak Tomo. Sangat mengenaskan, kepala anak itu pecah, badannya remuk di dalam sedan yang turut ringsek terlindas truk kontainer. Mungkin ini menjadi karma atau memang sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Namun, pada saat kejadian itu, ia bukan lagi anak SMA swasta, melainkan telah menjadi enterpreuner muda warisan kejayaan usaha dari ayahnya, ia telah menjadi pengusaha kondang dibidang jual beli mobil dan juga memiliki berbagai bengkel dan agen resmi penjualan spare part yang cukup ternama di kota ini. Karena ia anak tunggal dan belum sempat menikah, sebelum tewas dalam kecelakaan maut, ia telah sempat menuliskan wasiat yang dititipkan kepada kuasa hukumnya yang intinya bahwa satu bengkel besarnya yang ada di jantung kota ini akan diserahkan kepemilikannya kepada Pak Pak Tomo, sebagai bukti tobat penyesalannya karena ia sangat merasa bersalah dan berdosa telah membunuh semangat dan potensi diri Pak Tomo.

Sebelum tewas, memang si oknum anak penabarak Pak Tomo itu telah mengetahui keberadaan diri dan keluarga setelah ia melakukan penelusuran berhari-hari lantaran beban merasa bersalah membatin sepanjang hayatnya. Cuma ia masih merasa malu dan serba salah, serta kebingungan bagaimana pengakuaan atas kesalahan fatalnya yang telah menabrak lari Pak Tomo. Sedangkan showroom mobil dan agen resmi penjualan suku cadang kendaraan diserahkan pada wanita itu yang tak lain adalah ibu kandungnya. Bak kejatuhan durian runtuh. Pak Tomo, Ibu Fatmawati, dan Dirman dapat saja terbebas dari debu polusi kepenatan kota menjadi tinggal di ruangan sejuk ber Air Conditioner dan duduk di kursi empuk. Ia mungkin dapat menuruti membelikan mainan untuk Dirman yang mana suka, membeli pakaian dengan brand merk impor dari Kota Mode Paris bahkan Milano, tidak usah memakai pakaian lusuh. Kalau pun mau, deret ATM berserta kartu kredit berkala telah siap di dompet kulit termahal, mengendarai mobil merah ekslusif keluaran terbaru yang limited edition.

Maaf, Bu. Kami sekeluarga tidak bisa menerima semua ini.”

Semua perhatian yang Ibu berikan bukan hasil jerih payah kami

Biarlah kami hidup dengan keterbatasan dan kemampuan tangan kami sendiri

Bukannya kami tidak mensyukuri nikmat, tapi kami justru lebih nikmat dengan keadaan kami yang ada saat ini” papar Tomo dengan gamblang

Namun itu bukan jati diri prinsif hidup Pak Tomo dan Ibu Fatmawati. Mereka menolak hidup bergelimang harta, tapi mereka tetap setia hidup sederhana dengan berusaha merintis kembali usahanya di tempat yang lebih aman, tertib dan sehat. Pada hakikatnya, menurut mereka bahwa kemuliaan hidup di dunia dan kedamaian rumah tangga tidak ditentukan oleh materi belaka melainkan ketulusan dan kemerdekaan hati untuk menerima kenyataan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus ceritanya...

16 Oct
Balas

Cerita yang bagus. Tokoh utama dihadapkan pada beberapa masalah yang rumit, namun tetap tegar dan tabah dalam menjalaninya. Kisah yang diceritakan mirip dengan peristiwa nyata dan kondisi saat ini. Namun, format penulisan pada bagian awal cerita tidak sama dengan bagian yang lain (rata tengah).

17 Oct
Balas



search

New Post