Pendidikan Kita Melampaui Korea
Catatan Muhibah
Bagian Ke 16
Siryu Middle School terletak di sebelah timur dan dekat dengan Stasiun kereta api Suwon. Dulunya, sekolah tersebut diperuntukkan bagi kaum hawa (Girls MIddle School). Semenjak enam belas tahun yang lalu berubah menjadi sekolah yang menerima siswa laki-laki dan juga perempuan. Disekolah tersebutlah mentor saya mengajar sebelum dipindah ke Yulcheon High School.
Waktu menunjukkan pukul 16:30 waktu Suwon. Kami bergegas menuju lantai dua bangunan sekolah bertingkat tiga nan besar tersebut. Beberapa guru sudah berkumpul di ruang baca perpustakaan sekolah. Empat guru yang duduknya saling berhadapan asyik menikmati makanan kecil sambil "menyeruput" kopi pahit. Beberapa lainnya sedang membolak-balikkan halaman pada buku baru yang dibagikan ke pada peserta pertemuan sore itu.
Tidak berapa lama kemudian, datanglah peserta silih berganti hingga semua kursi terisi. Terdapat 10 guru dalam pertemuan tersebut. Mereka adalah "Bujangnim". Bujangnim adalah sebutan untuk ketua atau manager urusan tertentu di sekolah. Kebetulan sore itu adalah pertemuan bulanan para manager bagian inovasi. Terdapat beberapa topik yang dibahas secara bergantian disetiap bulannya. Dari permasalahaan yang ditemukan di dalam kelas hingga isu pendidikan kekinian. Mentor saya merasa sangat betah dan senang berada dalam pertemuan tersebut. Penyebabnya adalah tipe pesertanya yang memiliki pikiran terbuka dan progressive.
Salah satu peserta disisi depan kanan tempat saya duduk memulai diskusi sore itu dengan sebuah pertanyaan pancingan. Dia bertanya kepadaku tentang proses rekruitmen guru di Indonesia. Apakah sama seperti di Korea yang sangat ketat. Sayapun mulai menjelaskan bagaimana pola rekruitmen guru di Indonesia. Kalau kita flash back ke Tahun 2000 an misalnya, rekruitmen guru sekolah lebih banyak terjadi karena by condition dan bukan by design. Saya adalah produk hasil rekruitmen guru by condition. Banyak orang menjadi guru karena kondisi kepepet dan tidak ada pilihan lain pekerjaan. Hingga dengan mudahnya kita mendapati banyak guru berasal dari non kependidikan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta. Mereka yang sanggup mengajar dan mau mengambil Akta IV maka akan dengan sendirinya diangkat jadi guru (GTT/GTY). Lebih lanjut saya jelaskan pola rekruitmen terbaru yang lebih bagus dengan mensyaratkan guru memiliki sertifikat mengajar. Sertifikat itu di dapat setelah mengikuti pola pendidikan profesi selama kurang lebih setahun bagi fresh graduate. Pola ini akan menjamin mutu guru terkait pedagogik dan keprofesionalannya.
Lebih lanjut, Mereka juga menanyakan tentang kesejahteraan guru di Indonesia. Berapa banyak mereka di gaji dan bagaimana kehidupannya ?. Jika dibandingkan dengan Korea, perbedaaannya bagai langit dan bumi. Rerata guru Korea bergaji sekitar 5 juta won sebulan. Konon take home pay setahunnya bisa mencapai 85 juta won!!!! Angka yang sangat fantastis tentunya jika dibandingkan dengan gaji guru kita. Well, gaji tidak bisa menjadi ukuran utama bukan?. Namun demikian, gaji guru (PNS) di Indonesia sudah masuk pada golongan menengah loh ya? Dan banyak dari guru-guru tersebut yang sudah makmur gemah ripah loh jinawi!
Diskusi kami berlanjut dengan isu-isu kekinian pendidikan. Dari masalah bullying, kenakalan remaja dan atmosfer belajar yang rigid dan kurang menyenangkan sampai motivasi belajar siswa. Pendidikan Korea dan Indonesia memiliki tantangan yang sama dalam pendidikannya. Untuk sekedar menyebut tantangan tersebut adalah rendahnya minat belajar. Minat belajar yang rendah berpengaruh sangat krusial bagi keberhasilan pendidikan seorang siswa. Siswa yang memiliki motivasi rendah cenderung menghindar dari aktifitas pembelajaran. Bentuk menghindar tersebut bisa bermacam-macam, ambil saja contohnya bolos sekolah atau lari dari sekolah. Di Korea, anak-anak yang demikian tidak serta merta dibiarkan saja. Mereka melakukan terapi dan mengadakan kegiatan rekreatif penuh makna untuk menarik semangat dan motiasi belajarnya di sekolah. salah satunya adalah "Baking Class". Saya mengikuti beberapa kegiatan baking kelas bersama anak-anak yang minat belajarnya sangat rendah. Kegiatannya sangat asyik dan di sela-sela kegiatan tersebut guru pendamping dan guru social welfare bisa membangun raport dan menyisipkan pesan tertentu.
Bagaimana dengan metode pembelajaran di sekolah Korea?. Saya ajukan pertanyaan terkait pendekatan (kalau bisa disebut demikian) saintifik (SA). Inilah salah satu metode/pendekatan yang lagi marak dijalankan di Indonesia. "Saintific approach arayo?" tanyaku pada mereka. Sejenak kemudian, mereka saling menatap dan kemudian menggelengkan kepala masing-masing sebagai pertanda ketidakpahaman akan istilah tersebut. Salah seorang peserta mengejarku dengan pertanyaan mendalam terkait metode tersebut. Alhasil, setelah kuberi gambaran singkat tentangnya, Merekapun manggut-manggut dan merasa takjub akan kehebatan pendidikan kita. "ternyata pendekatan atau metode yang digunakan di Indonesia sangat bagus ya? kata seorang peserta dijawab anggukan serentak peserta lainnya. Gue kata juga apa kan?
Giliran saya untuk bertanya gerangan metode apa yang dipakai atau diterapkan di persekolahan Korea. Dengan agak malu-malu, salah satu guru tersebut berkata " memorization and memorization' jawabnya sambil tersipu. Kemudian, dia memberikan tambahan penjelasan jika saat ini pendidikan dituntut lebih kreatif dalam merangsang belajar siswanya. Salah satunya dengan pendekatan kooperatif. Siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk memecahkan dan menemukan pengetahuan barunya. Masih menurutnya, dalam kelompok kecil tersebutlah siswa saling berbagi dan berkolaborasi (peerteaching). Di pendidikan Korea, learning Community yang dikembangkan oleh Manabu Sato juga sangat populer. Saya pernah mengikuti satu sesi pelatihan learning community di sekolah tempat saya mengajar. Dan itu sangat menarik dan wajib dieksplorasi lebih jauh sekembalinya ke tanah air.
Saya pernah melakukan observasi sederhana di kelas Bahasa Inggris. Observasi tersebut memberikan saya insight dan fakta yang sangat penting untuk memotret pembelajaran Bahasa Inggris. Potret ini tidak serta merta memberikan gambaran komprehensif terkait pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah secara umum. Namun demikian, membantu dalam melihat lebih dekat praksis pembelajarannya.
Salah satunya adalah Siswa mengambil test kosakata yang disandingkan dengan padanan katanya dalam bahasa Korea. Mereka menyebutnya KONGLISH (KoreaEnglish). Disisi lain, siswa juga ditumbuhkan kecakapan literasinya dengan bacaan bermutu dan berbagai sumber online dan printed. Bacaan tersebut ditopang oleh soal untuk melatih berfikir kritis dan kreatif yang cukup beragam. Kalau di Indonesia, istilahnya, pemberian soal yang HOTS (Higher Order Thinking Skills). Model-model ujian/test Bahasa Inggris di Korea mungkin sedikit berbeda dengan kita. Di Indonesia, soal banyak menguji ranah ingat dan pemahaman dangkal (C1-C2-C3). Biasanya jawaban tersurat dengan jelas dalam bacaan. Di Korea, sebagian besar soal berupa text. Textnya bermacam-macam isu dan content yang disajikan. Beberapa diantara memuat kehidupan sosial kekinian atau sains umum. Beberapa pertanyaan yang mengikuti text sangat mendalam dalam menguji pemahaman dan kreatifitas berfikir dalam memaknai sebuah konteks bacaan.
Saya juga pernah bertanya kepada salah satu guru Bahasa Inggris di sekolah tentang metode yang digunakan. "GTM" (Grammar Translation Method)", jawabnya singkat. Jawaban kolega guru Korea ini tidak bisa dijadikan ukuran umum terkait pembelajaran Bahasa Inggris. Saya juga pernah berdiskusi dengan salah satu guru SMA di Suwon terkait metode dan pengalaman terbaiknya. Guru tersebut telah sedikit lebih kedepan dalam pembelajaran kreatifnya dibanding kebanyakan guru Bahasa Inggris kita. Penggunaan rangsangan berfikir tingkat tinggi serta penumbuhan kreatifitas dan critical thinking telah ia gunakan dengan berhasil dalam kelasnya. Beberapa bahan ajar dan assessmentnya menunjukkan kondisi tersebut. Salah satunya, Dia menggunakan kerangka the 7 hats thinking-nya De Bono.
Orientasi pendidikan Korea dan Indonesia relatif sama: Lulus Ujian. Capaian terakhir siswa Korea adalah lulus ujian masuk perguruan tinggi (Sunneng). Keberhasilan dia dalam "SUnneng" menjadi ukuran keberhasilan belajarnya an sich. Sedangkan di Indonesia, meski UN bukan penentu kelulusan, tetap saja menjadi tujuan. Jadi kedua negara masih memegang erat Standardized Test!!!
Kalau metodenya hampir sama, mengapa capaian hasil dan mutu pendidikannya berbeda?Ambil contoh, misalnya,hasil dan rangking TIMSS, PISA. Korea masih menduduki peringkat atas, sedangkan Indonesia masih terlalu setia dengan shaf belakang. Pengamatan saya secara singkat menemukan fakta bahwa Pertama, sebagian siswa memiliki kemandirian belajar dan motivasi yang sangat tinggi. Mereka belajar dengan tekun bahkan hingga larut malam. beberapa siswa belajar di perpustakaan hingga larut malam. Sebagian besar lainnya belajar di lembaga bimbingan. Kondisi ini tidak serta merta menunjukkan bahwa tidak ada siswa di Korea yang malas!. Kalau di telisik lebih mendalam terdapat banyak juga siswa yang motivasi belajarnya rendah.
Kedua, Kinerja guru yang baik. Guru di Korea memiliki persiapan mengajar yang sangat baik. Mereka menyiapkan dengan sangat teliti bahan ajar yang akan disampaikan. Melakukan evaluasi secara berkala dan menemukan solusi atas kendala pengajaran yang dilakukannya. Saya merasakan suasana kerja yang tinggi di ruang guru saat bersama mereka. Saat bel berbunyi, mereka segera bergegas menuju kelas dan setelah selesai mereka segera kembali ke kantor. Dalam jeda istirahat 10 setiap pergantian jamnya, mereka melayani konsultasi siswa dan orang tuanya. Jika tidak ada konsultasi, maka mereka menghadap laptop dan mengerjakan persiapan-persiapan pembelajaran selanjutnya. Saya merasakan perbedaan yang sangat mencolok dengan keseharian guru kita.
Ketiga, Disiplin, inilah budaya penting yang menopang keberhasilan pendidikan di Korea. Kedisiplinan itu tertanam semenjak kecil dari pendidikan keluarga. Dan diperkaya dengan pendidikan di sekolah. Kedisiplinan inilah yang menjadi pembeda mencolok dengan kita. Keempat, peranan orang tua dalam memberikan sumbangsi bagi pendidikan anak dan sekolahnya. Orang tua siswa sangat peduli dengan perkembangan dan belajar anaknya di sekolah. Disisi lain, Komite sekolah tidak hanya menjadi stempel sekolah semata, ia menjelma menjadi penjaga dan penopang kualitas pembelajaran dan pernak-pernik kemajuan sekolah. Kelima, HAKWON, hakwon berperan sangat penting dalam pendidikan Korea. Di lembaga pendidikan luar sekolahlah anak mengembangkan kemampuan belajarnya. Konon, Hakwon memiliki strategi yang lebih kreatif dibanding sekolah itu sendiri. Salah satu investasi besar pendidikan warga Korea digunakan untuk mendapat layanan pendidikan tambahan di Hakwon (Lembaga Bimbingan Belajar).
Fenomena diatas dirasa masih belum cukup bagi para guru Korea. Mereka masih merasa pendidikannya perlu banyak pembenahan dan lompatan untuk menjadikannya lebih ideal dimasa mendatang. inilah yang kemudian menjadi konsideran penting para manager inovasi sekolah untuk dicari jalan keluarnya.
Oh ya, hampir di semua kelas, dapat dengan mudah ditemukan siswa yang tertidur pulas. Banyaknya siswa yang tidur saat pembelajaran di kelas, juga menjadi permasalahan pelik di persekolahan Korea. Beban belajar yang berat menjadikan mereka kelelahan dan mengantuk. Sekolah di Korea diharapkan mampu menjadi rumah kedua bagi para siswanya. Di sekolahlah siswa memiliki kesempatan yang sangat luas untuk bersosialisasi dan membangun hubungan sosialnya. Banyak waktu mereka tersitah oleh kegiatan yang sangat padat. Oleh karenanya, pendidikan dan pembelajaran di kelas harus menarik dan bebas dari tekanan apapun.Akhirnya, Beberapa manager tersebut meminta pendapatku terkait minimalisasi kondisi siswa tertidur di dalam kelas. Saya hanya berpesan bahwa pembelajaran yang kreatif dan "gila" akan membangunkan mereka dari tidurnya. Bukankah semacam itu semestinya pembelajaran itu.[Suwon 24/10./2018: 07:59]#Seize The day
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Wowww. Barakallah
Sama-sama bu
Sebuah ulasan yang membuka mata saya....Terima kasih...
Terima kasih sudah membaca, semoga terinspirasi