Kudeta di Timur
Kudeta di Timur Malam itu, setelah melihat streaming di al jazeera, saya menghubungi seorang sahabat di Naypyidaw Myanmar. Melalui pesan singkat di messengger saya bertanya tentang situasi dan kondisi terkini di negaranya. Myanmar bergolak setelah rezim Militer mengambil alih kekuasaan dari tangan sipil. Pukul 4 dini hari, pasukan militer Myanmar mengangkut satu persatu pemimpin negaranya. Inilah yang kemudian disebuat sebagi " 2021 Myanmar coup d'état". Menanggapi kondisi negaranya, dia menjawab dengan cukup datar dan singkat. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. "Everything is okay Heri!", jawabnya singkat. Dia tidak mau menggambarkan kondisi terkini dan hanya menjawab diplomatis. Saya mengenalnya, 10 tahun yang lalu saat kami bersama belajar di Jepang. Myanmar d/h Burma, adalah negera tertutup yang sangat membatasi privasi warga negaranya. 10 tahun yang lalu, saya pernah menulis cerita tentang sahabat tadi. Belasan kali dia berpesan untuk tidak mempublikasikan beberapa hal yang kami diskusikan. baik di media sosial maupun di web blog. Sebagai seorang abdi negara, dia tentunya dia tekanan yang sangat kuat dari pemerintah. Menjadi warga negara yang patuh, tidak mengumbar kebobrokan bangsanya di khalayak. Bahkan, selama belajar di Jepang, dia tidak diperkenankan keluar masuk atau mengunjungi negara lain selain Jepang itu sendiri. Jika ketahuan melakukan pelanggaran semacam itu, hukuman berat akan menantinya sekembalinya di tanah airnya. Kondisi yang di alami sungguh sangat berbeda dengan yang kita alami. Sebagai warga negara Indonesia, kita bebas "plesir" ke berbagai negara dengan aman, nyaman dan sesuka hati. Yang terpenting, perjalanan itu dibiayai secara mandiri dan bukan atas biaya pemerintah kecuali bagi mereka yang melalukan perjalanan dinas. Dulu, dia pernah menawariku untuk datang ke negaranya. Dengan penduduk terbesar beragama Budha, tentulah banyak Pagoda yang sakral. Salah satunya adalah Shwedagon Zedi Daw. Berceritalah dia tentang bagaimana orang Myanmar sangat menjunjung tinggi agamanya tersebut. Di kamar apartemennya, terdapat altar kecil. Altar tersebut menjadi salah satu media bagaimana di amelakukan ritual pemujaan pada tuhannya. Saya seringkali membersamainya membeli buah-buahan di pasar tradisional dan sesampainya di apartemen dia jadikan sebagai seserahan. Dari kamarku di lantai atasnya, setiap pagi saya mendengar puji-pujian dia dengarkan dari handphonenya. Seringkali dia bercerita tentang seorang bikhu yang ceramahnya di dengar tiap hari. Dia merasa bahagia dan tercerahkan dengan mendengarkan siraman rohani dari pemimpin spiritualnya tersebut. Sebagai bangsa timur, banyak kemiripan diantara budaya kami berdua, itu sebabnya saya tidak butuh waktu lama untuk "klik" dengannya. Sebagai seorang pendidik di jenjang sekolah menengah, dia sering berbagi pengalaman bagaimana pembelajaran di kedua negara. Memang, pendidikan di Myanmar tidak sebagus Indonesia, namun dia bercerita tentang dedikasi dan semangat gurunya untuk membangkitkan bangsanya yang tinggi. Dia pun bercerita tentang kelas-kelas di Myanmar yang diisi oleh banyak siswa (bahkan ada yang 70 siswa/kelas). Keterbatasan infrastruktur dan tenaga pendidik menjadikan pendidikan kurang mampu melayani siswsa dengan maksimal. Dibawah cengkraman rexim militer yang sentralistik dan korup, Myanmar menjadi negara yang miskin meski sumber daya alamnya melimpah. Kini, setelah 10 tahun berpisah, dan setelah menyelesaikan program doktoralnya, dia menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi keguruan (IKIP). Banyak hal yang ia sampaikan dalam diskusi kami di media sosial. Bagaimana pembelajaran di masa pandemi hingga strategi yang dipilih ditengah keterbatasan infrastruktur yang sangat komplek. Hari ini, rezim membatasi komunikasi di media sosial. Namun saya yakin, semangat dan keyakinannya akan terus tumbuh seiring tekanan yang hebat dari negara pada rakyatnya. Salam hangat dari Indonesia duhai sahabat. Pendidikan adalah jawaban atas keterpurukan sutau bangsa dan peradaban yang dimilikinya. Semoga engkau tetap bisa menjadi lentera di tegah gelapnya pemimpin akan kekuasaan dan keduniawian. “My top priority is for people to understand that they have the power to change things themselves.” ― Aung San Suu Kyi
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Makasih ibu
Mantap Bang...itulah perbedaan dari semua negara. NKRI adalah harga mati yang harus kita syukuri nih
Mantap ulasannya, Pak. Salam sukses dan salam literasi.
makasih bu
Keren pak ulasannya. Sukses selalu