Heriyanto Nurcahyo

Heriyanto Nurcahyo Guru SMA Negeri 1 Glenmore. Menyukai tulis menulis sejak mahasiswa, pernah belajar di berbagai universitas diantaranya Unibraw,&n...

Selengkapnya
Navigasi Web
Resiliensi Numero Uno
Covid19

Resiliensi Numero Uno

Relisiensi Numero Uno

Pandemi Covid19 di dunia dimaknai secara beragam. Banyak orang ketakutan, banyak pula mengganggap hanya sekedar batuk pilek saja. Banyak orang menganggap pandemi sebagai upaya menciptakan keseimbangan baru melalui kekacauan. Banyak orang memercayai pandemic Covid19 sebagai biological weapon. Banyak orang menganggap pandemi ini sebagai peluang, banyak pula yang menganggapnya akhir segalanya. Banyak orang memikirkan nya sambil lalu, banyak pula yang terjebak pada kepanikan dan ketakutan berlebihan. Ada banyak banyak lainnya di benak setiap orang. Anda termasuk golongan banyak yang mana?

Seorang expat Australia menulis bagaimana rakyat Indonesia menyikapi pandemic Covid19 (https://thediplomat.com/2020/04/indonesia-and-covid-19-what-the-world-is-missing). Keberanian, kekompakan dan kesukarelawanan menyikapi pandemic ini memikat hatinya. Dalam tulisan tersebut dia menunjukkan kehebatan rakyat Indonesia dalam situasi sulit. Situasi sulit dan tertekan tidak banyak membuat bangsa Indonesia rapuh dan tak berdaya. Relisiensi yang ditunjukkan oleh rakyat Indonesia tidak banyak anda temukan di dunia ini.

Lihatlah berapa banyaknya warga negara asing yang tak berdaya di tengah pandemic. Mereka tak mampu berbuat banyak dan hanya menggantungkan sepenuhnya pada pemerintahannya. Ambil saja kasus di Ekuador, misalnya. Ketidakdisiplinan warga memang sisi kelemahan kita, namun daya juang hidup tidak bisa dipandang sebelah mata. Tidak banyak negara di dunia yang memiliki kemampuan resiliensi sebagaimana kita. Kemampuan bangsa kita untuk tetap teguh dalam situasi sulit teruji oleh waktu. Secara teoritis, kemampuan resiliensi ditopang oleh 7 (tujuh) kemampuan. Kemampuan itu adalah, (1) regulasi emosi, (2) Pengendali Impuls, (3) Optimisme, (4) Empati, (5) Analisis penyebab masalah, (6) Efikasi diri dan (7) Peningkatan aspek positif. Kemampuan resiliensi diatas banyak kita temukan pada bangsa ini.

Tokoh besar sekaliber Donal Trumps (Presiden USA), misalnya, menunjukkan impuls yang reaktif dan diluar nalar saat mengeluarkan ide untuk menyuntikkan disinfektan ke dalam tubuh manusia. Rupanya dia sudah putus asa atas wabah yang menyerang negaranya. Belum lagi kesenangannya mencari kambing hitam atas pandemic ini. Beberapa kali dia menyerang China dan akhirnya memutushubungan pendanaan dengan WHO (World Health Organization). Indonesia menunjukkan sisi yang lain. Empati yang terbangun ditengah pandemi menjadi hiburan kemanusiaan yang paling apik. Rakyat dengan sukarela melakukan lompatan nyata bagi kemanusiaan: pembagian masker gratis, penyemprotan disinfektan, berbagi sembako, menjadi sukarelawanan dan semacamnya. Solidaritas komunal tak terbendung lagi. Crowdfunding tumbuh subur untuk membantu kekurangan APD bagi tenaga medis.

Kondisi diatas mengingatkanku pada pertengan Maret bulan lalu. Beberapa pemuda desa risau atas mager nya pemerintahan desa. Disaat pandemi mewabah, pemerintahan desa adem ayem seolah tak terjadi sesuatu. Melihat kondisi tersebut, dibentuklah group WA, banyak warga nimbrung. Sumbangan datang silih berganti baik dalam bentuk barang, makanan maupun dukungan moril. Mereka kemudian menginisiasi penyemprotan disinfektan di rumah warga. Banner dan penanda informasi terkait pandemic tersebar di pelosok desa. Himbauan untuk swakarantina bagi pendatang atau mereka yang pulang kampung tersebar di tempat strategis desa. Empati mengalahkan ketakutan atas pandemi itu sendiri.

Daya hidup yang tinggi ini juga menjadikan rakyat kita kreatif. Disaat bahan saniter Langkah di pasaran, secara serempak mereka membikin sendiri berbantuan tutorial dan panduan yang banyak di temukan di medsos. Sekolah, misalnya, berinisiasi membuat sanitizer sendiri, melakukan sosialisasi penggunaan masker, cuci tangan serta berbagi paket sembako bagi mereka yang terdampak langsung pandemi.

Hebatnya lagi, Disaat ventilator sangat terbatas, ilmuwan tanah air bekerja siang malam mencipatkannya. Maka lahirlah ventilator dari masjid Salman ITB, ITS, Unair, UGM dan UI. Seorang pemuda rela kurang tidur bermalam malam hanya ingin berbuat sesuatu bagi bangsanya melalui platform. Maka lahirlah FightCovid19.id. Solidaritas dan empati tumbuh subur seiring dengan mengganasnya ancaman bangsa berbentuk virus ini. Inilah Indonesia, negeri elok amat kita cinta. Sebagai bangsa yang kuat, pandemi ini tidak membuat kita bete apalagi putus asa.Karena kita meyakini esok Mentari kan bersinar Kembali. Omong omong, Empati dan solidaritas macam apa yang telah anda berikan pada bangsa saat ini?#Seize the day

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post