Saya terinspirasi menulis ini setelah membaca salah satu tulisan dalam buku tentang traveling, Jalan-jalan ala Muslimah, oleh Dwinda Nafisah. Dalam bukunya, dia menuliskan kalimat yang dikutip dari sebuah majalah travelling. Isinya sebagai berikut:

Terkadang perasaan excited mendatangi tempat baru bisa menghilangkan rasa jetlag dalam suatu perjalanan.

Ya,.... kutipan di atas 100% benar.

Mengutip Oxford Dictionary Online, pengertian jetlag adalah “extreme tiredness and other physical effects felt by person after a long flight accros different time zones.” Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya adalah perasaan capek yang luar biasa dialami seseorang setelah menempuh perjalanan panjang melewati zona waktu yang berbeda.

Misalkan saya menempuh perjalanan Jakarta-Perancis, kurang lebih 16 jam. Sedangkan waktu di Perancis, 5 jam lebih lambat daripada waktu di Jakarta. Saya berangkat sore hari, ternyata sampai di Perancis keesokan harinya waktu setempat. Menurut para ahli kesehatan, rasa capek luar biasa ini bukan saja disebabkan perjalanan panjang dan perbedaan waktu saja, namun yang paling utama karena berubahnya jam tidur dari tubuh kita.

Pengalaman saya pertama kali di Jerman sampai saat siang hari, namun jam tubuh belum beradaptasi. Akibatnya jam tubuh saya masih merasakan malam hari (waktu Indonesia), sehingga rasanya mengantuk dan pengen tidur. Sebaliknya saat dini hari di Jerman, saya susah tidur karena jam tubuh saya masih mengikuti waktu Indonesia yang sudah pagi hari.

Saya butuh dua hari untuk beradaptasi. Mungkin karena faktor usia saya yang sudah menginjak di atas tiga puluh tahun. Teman-teman satu rombongan yang umurnya masih belia (di bawah tiga puluh tahun) ternyata cepat beradaptasi. Mungkin inilah sebabnya persyaratan usia guru yang diperbolehkan ikut harus di bawah umur empat puluh tahun.

Duduk di kursi pesawat selama belasan jam memang bikin capek. Meskipun tersedia kursi yang empuk dan ditemani perangkat audio video yang super mewah, tetap saja bikin badan saya terasa pegal. Saya bahkan menonton film lebih dari lima kali.

Saya akhirnya sering berjalan-jalan ke bagian belakang pesawat. Mengobrol dengan pramugari dalam bahasa Inggris adalah hal yang biasa bagi saya saat naik pesawat terbang. Selama di Etihad Airways, pramugarinya ramah-ramah lho. Bahkan saya ditawari membawa sebotol minuman jus. Namun saya menolaknya secara halus. Belakangan saat transit di Bandara Dubai, saya menyesal menolak pemberian pramugari tersebut.

Ternyata obrolan saya dengan pramugari berjalan lancar. Pramgari cantik ini asalnya dari Lebanon. Pantas saja, Lebanon menduduki peringkat pertama di dunia sebagai negeri yang memiliki banyak wanita cantik. Saya pun bisa mengobrol meskipun bahasa Inggris saya tidak terlalu fasih, toh komunikasi lancar-lancar saja.

Ini membuktikan bahasa Inggris saya lumayan dipahami oleh pramugari pesawat. Buat saya, tidak ada artinya nilai TOEFL yang tinggi, jika tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Benar bukan? Justru TOEIC-lah yang berperan untuk komunikasi.

Sekian versi singkatnya. Untuk versi lengkapnya bisa Anda dapatkan dalam buku kedua saya, "Jejak Guru Menyusuri Nusantara dan Eropa."