Herlina

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
LIntasan waktu (2)  ( hari ke-87 )

LIntasan waktu (2) ( hari ke-87 )

Hari ini aku memanggil beberapa anak, 1 perempuan dan 2 laki-laki, mereka bertiga masih ada hubungan keluarga, rumahnya cukup jauh dari sekolah, untuk ke sekolah saja mereka harus menumpang bis dan berangkat setelah subuh, biasanya bis itu akan menurunkan mereka di pinggir jalan yang ada aliran sungainya, di sanalah mereka mandi, mengganti sarungnya dengan seragam sekolah, lalu bersiap untuk mengikuti pelajaran.

“ besok kalian tidur di sekolah menemani ibu ya, tolong kasih tahu orangtua kalian” mereka mengangguk namun penuh tanda tanya,

“jangan lupa bawa perlengkapan kalian” aku mengakhiri pertemuan itu,

aku memang dekat dengan mereka bertiga, karena setiap harinya ketika bubar sekolah, merekalah yang paling terakhir pulang, karena harus menunggu bis lewat dari arah kota menuju desa mereka, kami biasa mengobrol sambil menunggu bis tiba, kadang bis terlambat sampai pukul 15.00 baru mereka pulang, dan perjalanan menuju ke desa mereka sekitar satu setengah jam kadang sampai dua jam kalau hujan karena jalannya jelek. Sementara besok setelah subuh mereka kembali ke sekolah, mereka bukan seperti anak sekolah yang biasanya berpakaian rapi, mereka anak kampung penuh dengan kesederhanaan namun punya semangat tinggi untuk menuntut ilmu dan santun, dari bincang – bincang dengan mereka, diketahuilah bahwa mereka bukan penduduk asli kampung itu, orangtua mereka pendatang dan berkebun di sana, tapi orangtua mereka belum tergolong petani yang sukses, padahal pada waktu itu hampir semua petani lada kaya dan sukses, karena harga lada melambung tinggi.

.............o0o.................

Malam belum larut, mereka bertiga menyalakan lilin, aku menemani mereka mengerjakan PR di ruang perpustakaan ini, mereka juga membunyikan radio supaya tidak sepi katanya, malam itu kami nampak gembira, sesekali kami saling bertatapan di antara seliwernya cahaya lilin, kali ini aku tak takut hidung akan berkumis lagi, sebentar-sebentar mereka menirukan lirik lagu dari radio yang mereka hafal, badan mereka juga ikut bergoyang-goyang mengikuti irama lagu. Biasanya aku tak berani menyalakan sebatang lilin pun, kecuali obat nyamuk lingkar sebagai sumber cahaya, tapi malam itu aku tidak khawatir akan adanya rampok, orang jahat, atau apalah karena ada mereka yang menemani.

Menjelang pukul 22.00 aku menyuruh mereka tidur, kami segera berberes, 2 anak laki-laki Candra dan Budi tidur di ruang UKS, ruang yang pernah kutempati dulu, sedangkan Evi tidur bersamaku di ruang kecil bagian dari perpustakaan itu, rasa kantuk menyergap, kami tidur tanpa cahaya, dengan alasan untuk keamanan, agar tak terlihat orang dari luar, entah karena lelah atau karena merasa tenang, akupun tertidur dengan lelapnya, tiba-tiba “Brakkk”, “astaufirullahhulazzim” kami berdua serentak bangun dan terduduk, segera kuraih senter yang selalu siap sedia di sebelah kananku, ku arahkan ke jam dinding tepat di tembok di atas tempat tidur kami, pukul 12.00, “kamu mendengar suara itu Evie?” kugenggam erat tangannya, dalam gelap aku merasakan ketakutannya,

“iya bu, Evi mendengarnya dan sangat dekat”.

Kuraih tangan nya, “pegang kayu ini, mari kita keluar menemui Candra dan Budi”, begitu pintu perpustakaan terbuka , itu bearti langsung bertatapan dengan hutan lebat, hitam dan pekat, aku arahkan senter menuju ruang UKS, kami bergandengan lalu berteriak memanggil Candra sambil menggedor pintu UKS, Candra dan Budi membuka pintu, “Apakah kamu mendengar sesuatu?” tak jelas bagaimana reaksi wajah Candra dalam kegelapan itu, “ iya bu, tapi suara itu terdengar jauh sekali”, aku menarik tangan mereka berdua “mari kembali ke ruang perpustakaan dan tidur di sana saja, kami kembali tidur,

kami berdua kembali ke ruangan semula sedangkan Candra dan Budi tidur di atas meja tadi saat mereka belajar, aku mencoba memejamkan mata, baru sebentar, tiba-tiba terdengar suara kas sampah seperti diaduk-aduk, aku ingat tadi sore kas sampah itu dimasukkan Evi ke dalam, karena rasa kantuk yang berat, tak aku hiraukan suara itu, anak-anak juga mungkin sudah terlelap, tak lama kemudian terdengar suara timba air jatuh dari atas bak mandi, aku ingat sebelum tidur aku menggosok gigi dan meletakkan timba air di atas bak mandi, tak lama kemudian ada suara air yang ditumpahkan dari ember, aku ingat itu air yang kami bawa dari sungai kecil di pinggir jalan, “ohh air ku habis” pikir ku, tak tahan dengan suara yang datang silih berganti, aku bangunkan Evi, aku tarik tangannya untk memeriksa kas sampah dan kamar mandi.

Begitu kami cek, tempat sampah itu utuh, centong air tetap ditempatnya, dan tidak ada air yang tumpah. Lalu suara itu? Tanda tanya besar memenuhi kepalaku ,mungkinkah ? ahh...aku tak mau menduga-duga, Kami bertigapun akhirnya memutuskan untuk menghidupkan semua lilin, dan tidur berjaga-jaga sampai subuh menjelang.

.............o0o.................

Daduku sesak , akhir-akhir ini dadaku sering terasa berat, mungkin karena obat nyamuk lingkar yang setiap malam kugunakan jadi berfungsi ganda sebagai penerang sekaligus untuk mengusir nyamuk, aku merasa tubuhku mengurus, tentu di usia semuda ini, aku telah mengalami berbagai macam kepahitan, pahit yang aku rasakan sebagai obat dan harus kutelan dengan ikhlas.

“ ini hari Rabu, kamu sudah pulang, ada apa, Nur?” bapak bertanya karena mendengar langkah kakiku, tanpa menoleh dari vesva butut yang sedang diperbaikinya, bapak hafal benar dengan irama langkahku, “ ada sesuatu yang harus aku beli di pasar untuk keperluan sekolah”, aku bergegas langsung masuk ke dalam rumah, dan langsung merebahkan tubuh di atas tempat tidur.

“ Nur bangunlah, sebentar lagi magrib,” bapak membangunkan ku, hanya ada bapak dan seorang adik laki-laki di rumah ini, adik-adik ku yang lain bersekolah di luar kota, “aku letih”, batinku berbisik, tapi aku tak boleh mengeluh karena bapak jauh lebih letih daripada aku. Sejak ibu meninggal saat aku duduk di kelas 3 SMA, otomatis hanya bapak yang mengemudikan keluarga ini, ketika aku sudah bekerja dan PNS maka mengayuh kapal dengan nakhoda berjumlah 8 orang ini menjadi tanggungjawab ku juga. Makanya bapak sangat mengerti dan paham setiap kali aku mengalami persoalan, sementara aku tak mau membebani bapak.

Sejak kejadian itu, aku putuskan untuk tidak lagi tinggal di sekolah, beberapa teman laki-laki yang mencoba mengetes kebenaran cerita kami, pun mengalami hal yang sama, bahkan ada yang langsung meninggalkan sekolah itu pada malam hari dengan sepeda motornya, tadinya dia hanya menumpang istirahat satu malam saja karena kelelahan dari kota. Sekarang aku tinggal di kampung sekitar 3 Km sebelum sekolah dari arah kota, ini atas atas inisiatif seorang siswa yang mempunyai sebuah rumah kosong, aku mengontrak di sana, sebuah rumah yang lumayan besar jika harus kutempati sendiri, aku sudah bisa membayarnya, karena aku sudah menerima gaji, setiap bulan aku harus mengambil gaji ke sebuah sekolah di mana sekolah kami masih menginduk kesana, lumayan jauh karena harus naik bis dalam waktu kurang lebih 1 sampai dengan 1,5 jam.

Setiap hari Sabtu aku pulang ke kota, kota tempat aku dilahirkan , malam minggunya aku pergunakan untuk belajar komputer, setiap bulan aku mengikuti kegiatan musyawarah guru mapel Matematika di kota, bertemu dengan guru-guru SMA dan SMP dari berbagai tempat . jiwaku tidak lagi terkungkung di hutan, hari-hari demi hari berlalu, aku masih tetap seorang gadis dengan penampilan tanpa berhijab, jika hari senin pagi aku kembali ke kampung, dari rumah setelah subuh dan sampai di sekolah tepat pukul 07.00, seperti biasa aku harus menghandle semua kelas yang gurunya terlambat datang, yahh..., kadang mereka terlambat karena tergantung dengan bis, kadang bis penuh penumpang, kadang mogok, atau malah bis tidak jalan sama sekali. tahun berganti, jumlah rombongan belajar juga bertambah, maka gurupun bertambah, beban tugasku pun terbantu. Beberapa guru honorpun direkrut, ada 2 orang guru masih gadis berjilbab alumni dari perguruan tinggi ternama di Bandung, dari mereka aku banyak belajar tentang hijab, apalagi aku sering berangkat subuh dari Pangkalpinang dengan menggunakan pakaian tanpa hijab tentulah terasa riskan duduk diantara para penumpang laki-laki , tak lama kemudian aku putuskan untuk berhijab dengan bermodalkan tiga stel pakaian muslimah.

Kesusahan tidak untuk dikeluhkan melainkan dinikmati sebagai fase kehidupan, fase itu akan berganti menjadi kesenangan setelah Yang maha pencipta merasa itu sudah saatnya untuk kita terima.

-----------------

# still stay at home

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Hi hi serem.Bu Her

26 Apr
Balas

sip

23 Apr
Balas

Ya pak, selamat menunaikan ibadah puasa.

25 Apr



search

New Post