Herlina

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
LIntasan Waktu ( hari ke-86)

LIntasan Waktu ( hari ke-86)

Braakk.....srekk.....durr....Suara-suara itu semakin jelas terdengar, semakin lama semakin dekat, seperti suara meja dan kursi dibentur lalu dihempaskan ke tembok, hampir 1 jam suara-suara itu berdendang, semula terdengar jauh pelan, terus mendekat dan begitu keras, “Astaufirullah” sontak tangan kanan ku memencet tombol senter dan mengarahkannya ke jam dinding, pukul 10.00, aku teringat ini malam Jumat, jantung ku berdetak cepat, aku sudah tidak kuat lagi, aku harus pergi, dengan cepat tangan sebelah kiri meraih sebuah kayu bulat sebesar lengan yang selalu aku persiapkan setiap malam sebelum tidur, hanya itu alat pengaman ku, selain senter, kayu dan sebuah obat nyamuk lingkar sebagai titik cahaya. Aku bergegas pergi tanpa mengunci pintu berlari...dan lari....dan hupp...kaki kiriku masuk ke sela- sela kayu yang disusun berjajar di pintu gerbang masuk ke gedung ini, “aduh sakitnya...”, malam begitu gelap aku berlari ke arah jalan, tujuan ku satu, rumah pak camat yang berjarak sekitar 1 km, untuk mengurangi kecurigaan, aku berhenti dan berjalan santai saat berpapasan dengan motor yang lewat, hanya satu dua motor yang lewat, karena memang tempat ini jauh dari pemukiman penduduk, tentu aku tak bisa minta pertolongan dari orang yang tidak di kenal, apalagi pada malam hari seperti ini.

Halaman rumah bu camat yang cukup luas ditambah dengan pepohonan besar dan rimbun, terasa memperlambat jalan ku tuk sampai ke rumah, “Assalamualaikum... Tok ...tok...tok...bu...ibu tolong buka pintunya”, aku merunduk diantara pot – pot bunga bu camat untuk menyimpan kayu bulat yang aku bawa, aku tidak mau mereka heran dan takut. Lama pintu dibuka karena bu camat harus memastikan dulu dengan benar siapa yang mengetuk pintu, “ siapa itu?”, “ ini aku, bu Nur”, ibu camat ini memang sudah mengenal ku, karena aku ikut dalam kepengurusan PKK kecamatan. Begitu mendengar nama ku, pintu segera dibuka, “cepat, cepat lah masuk, bapak tidak di rumah”, Ternyata di rumah bu camat hanya bertiga dengan dua anaknya yang masih balita, sedangkan pak camat sedang ada tugas ke luar kota. “ada apa malam-malam?” bu camat tampak cemas, “ aku mau menumpang bermalam di sini, bolehkan bu karena perasaan ku sedang tidak enak”, aku tidak menceritakan apa yang telah terjadi, disamping malam telah larut, terasa tidak pantas jika aku harus bercerita pada saat yang seharusnya untuk bu camat beristirahat.

“Aku pamit bu, terimakasih atas semuanya”, matahari mulai keluar dari peraduannya, aku kembali ke bilik tempat tinggal sekaligus tempat mengais rejeki, aku tidak menceritakan kepada siapapun tentang kejadian tadi malam dan hari-hari sebelumnya, yah....suara-suara itu tidak hanya terdengar tadi malam , melainkan pada sore hari ketika aku sedang sendirian, akhir-akhir ini memang sering terdengar suara meja dan kursi bergesekan, jika terdengar di sore hari maka aku berusaha mencari dan mendatangi arah sumber suara itu, tapi begitu aku dekati sumber suara itu diam dan tak ada meja kursi yang berantakan, begitu aku menjauh kembali terdengar, aku jadi bingung, ku habiskan sore hari dengan duduk di bawah tiang bendera sambil berpikir suara apa itu dan siapa yang melakukannya.

Aku teringat bagaimana awal aku berada di tempat ini, aku seorang gadis berusia 22 tahun, saat menerima SK penempatan menjadi seorang guru di sebuah SMP Negeri di tengah hutan yang berjarak 3 Km dari kampung sebelumnya dan 2 Km ke kampung sesudahnya. Aku berasal dari sebuah kota yang berjarak kurang lebih kurang 600 km dari sekolah ini, karena jauh dari mana-mana dan atas anjuran dari teman-teman maka aku tinggal di sekolah ini, pada awalnya ada beberapa guru dan keluarganya tinggal di sekolah ini termasuk kepala sekolah, aku merasa nyaman karena ramai sehingga suasananya seperti sebuah kumpulan warga kecil-kecilan, walaupun belum ada listrik dan sumber air agak susah, tapi kami bisa mengatasi dan menikmatinya bersama-sama, tapi belakangan satu persatu mereka pindah ke kampung terdekat, ada yang pulang-pergi dengan kendaraan dari tempat tinggalnya, ada pula yang ngontrak di rumah penduduk. Sedangkan aku belum punya uang buat bayar kontrakan, karena gaji saja belum diterima selama 1 tahun. Jangankan untuk kontrakan, untuk makan saja susah, setiap hari yang dimakan hanya nasi dengan sayur daun singkong. Karena hanya itu yang mudah di dapat dan murah meriah.

“Kami bantu ya bu”, beberapa anak mulai mengerumuni ku, mereka melingkar seperti menyaksikan pertunjukkan topeng monyet, siang yang terik namun matahari sudah tak lagi berada di tengah, angin berhembus agak kencang, menyapu sinar sang surya menggantikannya dengan rasa sejuk, tiupannya menggoyang pepohonan dan membuat lenggokan lembut, meliak liukkan jilatan api, yah...aku sedang memasak di atas tunggku terbuat dari batu bata yang disusun, aku sedang menumis daun singkong, kerumunan anak-anak membantu agar jilatan api agar tidak terlalu lincah bergoyang. “terimakasih anak-anak, sampai besok”, aku melambaikan tangan ke arah mereka yang berlari menuju bis membawa ke tempat peristirahatan mereka. Begitulah kegiatanku setiap hari, jika sore hampir merangkak dengan jerigen 20 liter akupun mengambil air di aliran sungai di pinggir jalan, berjalan mengangkat jerigen bukanlah pekerjaan mudah, apalagi harus menelusuri jalan menanjak menuju sekolah, aku harus berhemat meggunakan air, karena yah... sumber air jauh, sumur di sekolah ini kering kerontang, anak-anak yang piket biasanya sebelum bell masuk akan mengisi bak air untuk keperluan sekolah.

Aku bertahan sendiri di sekolah ini, dengan bangunan yang terdiri atas 3 ruang kelas, ruang kepsek, ruang guru, ruang perpustakaan, ruang UKS dan dapur. semula aku tinggal di ruang UKS, sebuah ruangan kecil yang hanya berisi sebuah dipan, dan jika pintu di buka langsung mengarah ke hutan lebat, ketika kami masih berkumpul bersama itu bukan masalah buat ku, walaupun setiap pagi disambut dengan monyet besar hitam berloncatan dari satu pohon ke pohon yang lain dan bersuara jegu...jegu...jegu, aku anggap seperti salam menyambut datangnya pagi.

Setelah teman- teman pada pindah maka aku memilih ruangan yang agak besar yaitu perpustakaan, karena selain punya ruangan kecil sebagai kamar tidur, di sana juga ada toilet. Yaah...semacam kamar tanpa pintu. Tak apalah yang penting tempat ini lebih layak dibandingkan dengan ruang UKS yang pengab dan penuh kepinding. Bicara tentang kepinding aku jadi merinding, suatu malam aku tidur di atas dipan beralaskan kasur kapuk dan sprey nya dari tikar purun, sebagai penerangannya sebuah lampu teplok yang terbuat dari kaleng susu dengan sumbu nya dari kain, maklumlah waktu itu belum ada listrik. Baru saja tertidur, di lengan ada terasa yang menggigit, lalu pindah ke kaki, kemudian pindah lagi ke leher, lelah menepis dan menggaruk-garuk, aku berdiri mendekati lampu teplok yang ada di atas meja, kuperhatikan bagian tubuh yang gatal, ohh berdarah, penasaran aku dekatkan lampu itu ke tikar berharap mencari apakah gerangan penyebab gatal-gatal dan darah ini, “subhanallah” aku terloncat, kepinding sebesar ujung kelinggking bergerak- gerak, di bawah tikar yang kuangkat, tidak hanya satu-dua, ternyata banyak, tak mungkin aku tidur di kasur itu, sementara mataku tak dapat diajak kompromi, tak kuat menahan kantuk akhirnya aku tidur duduk di atas kursi dengan kepala menempel kemeja tepat di bawah cahaya lampu teplok. Besoknya aku bangun, namun seluruh tubuhku terasa pegal, kebiasaan ku setiap kali bangun tidur adalah menyisir rambut, ku raih cermin kecil dan “Astaufirullah” hidungku berkumis serta wajahku bertopeng hitam kena jelantah asap lampu teplok.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kala itu, belum ada insentif atau tambahan penghasilan apa pun, tapi naluri pendidik mampu menjalani kesulitan, melewati kesepian, menghalau ketakutan. Barakallah inspirasinya, Bu Her.

22 Apr
Balas

Iya bu Dian, cerita begini penting buat energi mengajar.

22 Apr

Nah cerita juga tetap nyenggol lauk daun (daun singkong ) he he lanjut Bu Her

22 Apr
Balas

Pilu rasa nya bu mau ngalnjutinnya terasa baper.

22 Apr



search

New Post