Herlina

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Mamah dan Bapak , maafkan aku ( menulis ke-83)

Mamah dan Bapak , maafkan aku ( menulis ke-83)

“ Ma, aku mau kamera lengkap dengan peralatannya, seperti punya si Ammar”,

matanya mendelik, mulutnya mencucu, kedua tangan direntangkannya, mengekspersikan bahwa dirinya serius.

“ aku juga butuh uang untuk memodif motor ini”

Netraku terasa panas, aku berusaha menahan sekuat tenaga, jika tidak ia akan segera jebol dari muaranya.

“ kamera itu mahal ak, bukan hanya mahal sebetulnya, maksud mama teh kalau kamu perlu sesuatu harus ada usaha, minimal aak tunjukkan dulu prilaku yang baik atau punya prestasi apa gitu yang bisa ngebanggain orangtua’.

“lihat itu si Ammar, dia ikut lomba ini itu, dapat hadiah duit bisa beli kamera, kurang-kurang sedikit mamahnya yang nambah, bukan seperti aak tahu nya minta melulu”.

“brukk”, pintu kamarpun dibantingnya.

Sebentar kemudian terdengar suara motor di startter, dan rang...rang...rang...gas motor sengaja dibesar-besarkannya.

ya Allah, anak itu...ini yang kesian kali tingkahnya menyesakkan dadaku.

-----------------

Hatiku bergetar saat memegang selembar surat dari sekolah, panggilan kepada orangtua, ini surat yang ke dua dalam satu bulan ini, kulempar begitu saja ke atas dipan, “aggh...apalagi ini?”.

“aku tidak akan memenuhi undangan ini”, bathinku,

tiba-tiba saja perutku terasa sakit, aku berusaha menggeletakkan tubuh ini, mataku menerawang memandang langit-langit, teringat bagaimana aku menangis di depan guru BK dan wali kelas, tidak hanya karena permasalahan yang telah dia perbuat tapi lebih kepada perihnya hatiku saat dia menjawab dan melawanku.

Beberapa waktu sebelumnya bapaknya juga dipanggil guru BK, dan dia pun berani menantang bapaknya.

Ya Allah, dosa apa kami orangtuanya, salahkah pola asuh kami dalam mendidiknya? Segera ku hubungi uwaknya yang selama ini dekat dengannya sejak dia masih kecil, uwak inilah yang akhirnya menjadi penghubung antara kami dengan pihak sekolah. Walau beberapa kali mediasi tidak jua kunjung menemukan titik penyelesaian, aghh...mengapa? padahal ini hanya masalah remaja kebanyakan, namun informasi yang dihembus-hembuskan memojokkan dia dalam posisi seakan berprerilaku negatif berlebihan, beberapa teman nya kuhubungi, dan hasilnya tidak ada masalah dengan teman-temannya, malah dia disebut-sebut sebagai teman yang sangat solider dan toleran terhadap teman-temannya.

Melintaslah dalam kenanganku, bagaimana masa kecilnya dulu di kampung suamiku saat masih bersama neneknya, sebuah kampung yang berdekatan dengan bibir pantai, kampung yang semestinya mengisyaratkan kedamaian bagi keluarga kecil kami.

Di sanalah dia dilahirkan, bayi mungil yang tampan, sungguh perpaduan sempurna antara kedua orangtua di mana aku ibunya berasal dari Sumatra dan bapaknya dari Jawa Barat.

Tumbuh bersama dengan anggota keluarga besar bapaknya terdiri atas nenek, uwak dan tante membuat dia tidak kekurangan kasih sayang, kasih sayang itu menurut persi mereka adalah memperbolehkan si anak berbuat sekehendaknya.

Aku seorang guru SD PNS di dusun plosok yang lumayan jauh dari kampung itu, setiap hari pagi-pagi sekali dengan mengendarai motor mendaki bukit dengan jalan berkelok-kelok, butuh waktu sekitar satu jam untuk mencapai sekolah, sedangkan suamiku bekerja pada salah satu hotel di sekitar pantai tersebut yaitu bagian perbaikan untuk kerusakan fasilitas dan sarana hotel. Karena tempat kerja ku jauh dan suamiku sendiri jadwal kerjanya tidak menentu, membuat perhatian kami terhadap dia terbatas, otomatis yang berperan banyak dalam pengasuhannya adalah nenek dan saudara-saudara suamiku.

Seiring dengan waktu, dia telah memasuki usia sekolah, teman-temannya pun bertambah, dia lebih sering bermain di pantai bersama teman-temannya dan aku pikir itu wajar-wajar saja.

Dia sudah punya adik laki-laki, dan kami berdua masih tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing, suatu hari pernah aku memergokinya sedang merokok bersama teman-temannya, saat itu dia duduk di kelas 4 SD. Ternyata itu bukan yang pertama dia merokok. Aku marah sekali, semua kepercik amarahku tak terkecuali neneknya.

Menginjak kelas 5 SD, aku bermaksud pindah jiwa ke tempat tanah kelahiranku, uwaknya yang di sini sudah pindah lebih dulu, tujuanku hanya satu yaitu menyelamatkan karakter anak ini sebelum terlanjur parah dan masuk ke dalam pergaulan yang sesat. Kebetulan bapaknya pindah pekerjaan ke bagian pelayaran dan semakin jarang berkumpul dengan keluarga.

segera ku urus semuanya, mengajukan surat pindah, mencari sekolah yang hendak dituju, menjual rumah dan mengkondisikan usaha pencucian motor dan mobil kepada saudara yang bisa dipercaya. Yahh....aku kembali memulai hidup dari nol.

Akhirnya Kami pindah ke rumah orangtuaku di sumatra, kebetulan beliau tinggal sendiri, jadilah kami berempat tinggal di sini, suami ku jarang pulang, dia ku sekolahkan di SD yang sama di tempatku yang baru, meskipun kami tidak punya apa-apa tapi aku merasa damai, setiap hari aku bisa melihat perkembangan dia dan adiknya, bisa bersama bapakku, setiap satu minggu sekali kami selalu berkumpul dengan saudara-saudara di rumah ini.

Alhamdulillah perkembangannya bagus, karakternya perlahan berubah bahkan adiknyapun mulai menunjukkan kemajuan dari yang tadinya suka bicara tidak sopan berangsur-angsur berubah, ku akui dia memang lemah dalam belajar, tapi buatku itu bukan masalah, setiap anak yang lahir ke dunia membawa keunikan masing-masing.

Tamat SD dia kumasukkan ke SMP IT demikian juga adiknya sengaja ku masukkan ke SD IT semata-mata karena aku ingin mereka menjadi anak yang soleh dan berkarakter.

Drett...drett...drett HP ku berbunyi, membuyarkan lamunanku.

Dari uwaknya, tadi sebelum rebahan aku sempat ngasih tahu kalau perut ku sakit

[kata nya mau ke dokter]

+ Iya uwak

[bersiaplah, ini uwak baru otw]

+ si adek siapa yang jemput

[suruh mbak Aura saja]

+ iya uwak

Dengan susah payah aku berangkat, kembali ku tekan huruf-huruf di ponsel menghubungi mbak Aura ponakanku untuk menjemput si adek.

Kami tinggal bertiga di rumah ini, aku dan ke dua anakku, bapakku telah meninggal tidak lama setelah kami pindah kesini, sedang suamiku setiap 2 bulan hanya 1 minggu di rumah. Otomatis semua urusan anak-anak aku yang handle, beruntung tempat aku mengajar tidak jauh dari rumah.

Dari hasil pemeriksaan disebutkan bahwa kehamilanku bermasalah, posisi ari-ari berada di bawah maka nya ada bercak darah, disarankan untuk banyak beristirahat dan tidak boleh stress. Yahh...aku memang sedang hamil jalan 6 bulan dan sejujurnya aku memang stress.

------------------

POV : Aak

Aku jadi sering keluar malam, pukul 11 malam aku baru pulang, bahkan kadang tidak pulang, aku tidak kemana-mana mamah, aku hanya nongkrong di rumah teman, kadang kami mengerjakan tugas, kadang main game, Kadang aku terlambat pulang sekolah karena aku main basket, aku bosan di rumah.

Tahukah mama, aku tidak mau sekolah SMA, apalagi jurusan IPA, aku tidak suka, aku selalu dimarahi guru karena aku malas memperhatikan penjelasan guru, aku malas mengerjakan tugas, aku tidak sopan, aku anak yang punya pikiran tidak senonoh, aku perokok, segala stempel jelek diberikan padaku, akibatnya aku sering melamun dan aku lebih suka menggambar.

Tahukah mama, aku mau sekolah di SMK jurusan multi media, tapi aku anak lemah, nilaiku dan hasil tes ku tidak memenuhi syarat, aku tidak mau jurusan yang lain, aku pun tidak mau jauh dari mamah ketika saat itu aku tiba-tiba membatalkan sebuah sekolah yang telah kita sepakati bersama. Aku tahu mamah kecewa. Karena itu akupun masuk ke SMA.

Tahukah guruku, semakin aku dihujat semakin membuatku menjadi anak pembangkang, yang engkau bilang itu semua nasehat dan petuah untuk ku, untuk masa depanku, aku merasa seperti duri yang ditimpakan ber ton-ton ke atas kepalaku. Aku tidak nyaman dan berpikir untuk keluar dari sekolah ini.

Tahukah bapak, engkau jarang berada di rumah, engkau jarang memperhatikanku, setiap pulang si adek lah yang menjadi prioritas perhatianmu, sedangkan diri ku acap kali menerima tamparan setiap mendengar laporan yang jelak tentang aku. Aku paham karena adek masih kecil, harusnya aku tidak boleh iri, toh semua kebutuhanku juga selalu dipenuhi mamah, tapi entah kenapa aku merindukan suasana dulu saat di kampung di mana bapak selalu ada di rumah.

Mamah, aku tahu aku egois, aku tahu mamah sekarang sakit yang seharusnya ketika bapak jauh akulah yang diandalkan untuk membantu mamah, tapi nyatanya jangankan membantu, namun sebaliknya aku selalu menyusahkan mamah, sering pula aku mengeluarkan kata-kata kasar yang menyakiti mamah, aku tahu...aku berdosa...namun rasa egoku telah mengalahkan segalanya.

Mamah dan bapak, keputusanku untuk keluar dari sekolah itu telah aku pikirkan, aku hanya mau sekolah di tempat yang sesuai dengan bakatku, tolong dukung aku, aku akan berjuang menjadi anak yang baik dan menjadi kebanggaan orangtua, maafkan aku mamah dan bapak, aku pergi...hantarkan aku dengan doa.

# semoga dapat mengambil ibrah dari cerita tersebut.

# stay at home

Pangkalpinang, Gg Batu Nek, 19 April 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantab sekali

19 Apr
Balas

Anak cerdas

19 Apr
Balas

Mantul bun,,setiap anak dengan potensinya sendiri kita orangtua dan guru mjd pengarah.

19 Apr
Balas

Iya benar sekali umm

19 Apr

sabar, sabar dan sabar

19 Apr
Balas

Iya betul sekali pak, terimakasih sudah mampir.

20 Apr



search

New Post