Ilalang Menghalangi Pandangan
33.Menolak Bertemu
Dalam kesendirian, aku merenung tentang suamiku. Biasanya kalau demam langsung minum obat, sorenya udah enakan. Kali ini beda, apa ada yang dipikirkan Mas Rasya? Mbak Tika, kayaknya bukan. Apa dia rindu Kayla? Sejenak, aku menatapnya yang tertidur. Sesekali, terdengar gumaman tidak jelas. Tidak berapa lama, dia terbangun dan meminta minum.
Seandainya aku di rumah, pikiranku juga tidak tenang. Apalagi, Mas Rasya kalau sakit agak manja. Apa-apa minta aku yang melayani. Kalau sudah begini, aku teringat Mbak Tika. Dia terus sibuk memberikan obat sambil marah-marah. Mas Rasya, katanya gila kerja dan tidak menghiraukan kesehatan. Suamiku hanya senyum-senyum saja. Kakaknya itu akan membelikan makanan, obat-obatan dan buah-buhan.
Apa Mbak Tika di telepon saja, takutnya tanpa seizinnya malah marah-marah. Suasananya jadi tidak enak. Mbak Tika juga akan marah padaku dan Mas Rasya juga. Bagaimana kalau Mbak Tika tahu dari orang lain ya, Apa tidak akan marah? Hatiku terus bertanya-tanya, menimbang tapi tidak berani memutuskan.
Keesokan pagi, demam Mas Rasya belum turun juga. Dokter Yanuar mengajakku bicara di ruangannya.
“Bu, saya sempat mendengar igauan Pak Rasya, walau samar. Sepertinya sakit kali ini ada hubungan dengan orang-orang yang disebutkannya.” Aku terkejut menatap dokter Yanuar.
“Siapa dok?” tanyaku dengan rasa ingin tahu. Dokter Yanuar menyebutkan nama Tika dan Kayla. Aku terdiam menatapnya. Ternyata benar, Mas Rasya merindukan mereka. Apa yang harus kulakukan?
“Pergilah temui mereka. Mungkin Pak Rasya rindu,” ujar dokter Yanuar lembut. Aku melangkah ke luar menuju parkiran. Mobil meluncur meninggalkan rumah sakit menuju kantor. Aku akan siap menerima marahnya, karena tidak memberi kabar tentang sakitnya Mas Rasya.
Di kantor, sekretaris Mbak Tika memintaku menunggu sebentar, karena masih ada tamu. Kami berbincang tentang perkembangan kantor, tidak berapa lama tamu Mbak Tika keluar.Aku dipersilakan masuk ke ruangan oleh sekretaris. Setelah mengetuk pintu, da nada suara menyilakan masuk, aku masuk dan menghampiri mejanya.
“Angin apa yang membawamu kemari?” tanyanya melihatku datar. Aku mencoba tersenyum sedikit. Dengan tangannya dia menyuruhku duduk.
“Mbak, Mas Rasya ada di rumah sakit. Dia demam dan mengigau memanggil Mbak dan Kayla,” jawabku pelan. Mbak Tika sedikit terlonjak, tapi kemudian menetralisir dengan wajah datarnya.
“Kenapa kau datang padaku? Bukankah ada dokter yang bisa menyembuhkannya?” Haatiku rasa ditusuk-tusuk mendengarkannya. Wajahku memerah, segera kugigit bibir kuat, tidak akan menangis di depannya. Segera aku bangkit, dan meninggalkan ruangan ini. Sia-sia rasanya datang menemuinya.
Di luar, tangisku tumpah. Segera aku menuju parkiran, dan melajukan mobilku dengan mata yang basah. Tidak kuhiraukan klakson mobil yang memekik karena ulahku yang mengebut. Suasana hatiku saat itu benar-benar kacau. Teganya Mbak Tika berkata begitu pada adik yang disayangnya.
Bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Apakah Mbak Tika benar-benar tega terhadap adiknya senditi?
Alhamdulillaah, keren ceritanya, sukses selalu bu Herlina Indrawaty
Tika kok tega. Ada apakah ? Penasaran.Sukses dan lanjut Bunda
Yakinlah mbak Tika pasti akan datang ke rumah sakit....Next
Keren .. ..sukses selalu Bunda lanjut ..
Waduhh...mb Tika kok bgtu ya? Smga sgra sadar. Bbrp kali ga kunjung rs nya adayg hilang ni bunda. Kereenn bgt...lanjut bunda
Sukses selalu dgn cerpennya...salam literasi