Hermin, M.Pd.

Seorang guru Bahasa Indonesia yang lahir di "Bumi Tarling", Cirebon, Jawa Barat, 15 Mei 1973; yang mengharapkan agar putera-puteranya dan seluruh generasi musli...

Selengkapnya
Navigasi Web

Ndebleg

NDEBLEG

oleh Hermin*)

Bagian wajah yang kupandangi di layar ponsel moda selfi adalah bibirku yang kini berani berlipstik lumayan tebal. Tebal, sebab dulu tak pernah lipstik ini (benges kata wong Cerbon) kupakai. Dengan warna yang lumayan berani pula. Kalaupun kupakai, pasti kuhapus lagi dengan sapu tangan kertas alias tisu hingga benar-benar pudar warnanya.

“Ndebleg” (terlalu tebal). Itu komentar temanku saat aku kembali memulas bibir usai salat duhur di musala Hotel Cordela dengan lipstik yang kubekal dari rumah. Temanku itu memang tidak suka berlipstik mencolok.

Ingatanku terseret pada masa empat belas tahun yang lalu. Saat kuawali karier sebagai CPNS di Smansa, SMAN 1 Cirebon. Kulitku yang eksotis ini terlihat semakin eksotis dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun. Itu karena aku rajin mengayuh pedal phoenix merah ukuran 24 bekas sepupuku. Perjalananku pp mengajar sejauh 11,4 km setiap hari kutempuh dengan bersepeda.

Phoenix merah bekas ukuran 24 akhirnya kutukar dengan phoenix baru warna hijau, masih ukuran 24. Kubeli dari toko sepeda di Jalan Kesambi dan kukayuh langsung menuju ke rumah. Dari si Hijau, aku beralih ke polygon sierra city biru ukuran 28. Semua sepeda itu kini telah berpindah tangan. Akhirnya, kulabuhkan hati pada polygon sierra dx warna hitam. Sepada terakhirku hingga kini.

Rekan-rekan guru di Smansa, sebagiannya adalah guru-guruku sendiri karena aku jebolan Smansa (sebetulnya aku pernah juga nyantri di Smanti, SMAN 3 Cirebon selama satu semester pada awal masuk SMA). Beberapa di antara mereka sangat bersimpati padaku. Aku disarankan agar tidak lagi nggowes ke sekolah. “Karunya ka awak, atuh’, papanasan na sapeda unggal poe, lamun hujan kahujanan, belajar motor, atuh, ... teras dilipstik, ngarah geulis” lanjut guruku yang baik hati.

Bukan sekali dua lontaran semacam itu ditujukan kepadaku. Padahal jujur, aku merasa bahagia bersepeda. Aku merasa bahwa dengan bersepeda, diriku sudah ikut mengampanyekan hidup sehat dan bebas polusi. Hahaai.... Murah meriah, pula. Kuladeni semua komentar itu dengan senyuman. Lebih tepatnya, cengiran.

Aku tetap bersepeda ke sekolah, dandananku pun tetap natural tanpa lipstik. Hanya bedak tipis yang segera tersapu oleh debu dan keringat perjalananku ke sekolah. Aku pun tak pernah merasa perlu memperbarui riasanku selama mengajar di sekolah. Seusai salat sekali pun.

Perjalanan waktu mengantarku pada suasana mengajar yang baru. Sejak tahun 2012, aku hijrah ke Smoeth, SMAN 7 Cirebon. Sierra dx kesayangan kuajak serta ke sana. Sementara, aku tetap bersepeda ke sekolah baruku. Sementara. Karena aku mulai merasa lelah. Perjalanan rumahku–Smansa walaupun sedikit lebih jauh dibandingkan rumahku–Smoeth terasa lebih ringan karena semua jalanan mendatar. ... sedangkan Smoeth, mulai dari belokan Smanepa, SMAN 4 menuju Smoeth, jalanan menanjak. Napasku ngos-ngosan. Keringat berleleran di sekujur tubuh. Walhasil, bersepeda ke sekolah, hanya bertahan satu minggu. Selanjutnya, aku belajar menaiki motor. Motor matic sebab aku trauma dengan motor gigi. Aku pernah menabrak rumah tetanggaku dengan motor gigi saat SMP kelas dua dulu.

Kini, aku tidak lagi bersepeda ke sekolah. Aku mengendarai motor. Senang sebab tak lagi merasakan lelah. Sedih sebab harus menanggalkan idealismeku tentang bike to school. Tak lama, sejak itu pun aku mulai berani berlipstik, walaupun masih dengan warna-warna kalem dan natural. Selanjutnya aku mulai berani menggunakan lipstik dengan warna yang lebih cerah, lebih merah. Wah, ternyata aku bermetamorfosis.

Kembali kupandangi foto selfi-ku. Bibir warna merah itu. Uh, kuingat kembali komentar temanku tentang lipstikku yang katanya “ndebleg”. Kuingat juga komentar beberapa teman lain yang mengatakan bahwa dengan lipstik yang berani dan merah itu aku tampil lebih cantik. Hmm.... Sungguh, cantik itu sebuah nilai yang nisbi.

Tentang kecantikan, ibuku tersayang pernah mengatakan bahwa yang paling penting dari semua kecantikan adalah kecantikan hati. Kecantikan yang bersumber dari jiwa yang bersih. Jiwa yang senantiasa mengarah kepada kebaikan.

Cirebon, 9 Oktober 2017

*) Penulis adalah peserta pelatihan menulis sagu sabu, Cirebon.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantap

09 Oct
Balas

Aamiin. Alhamdulillaah. Hatur nuhun, Bu Hj. Sri.

09 Oct

mantap

09 Oct
Balas

Mantap jaya..Dahsyat tulisannya penuh enerjik

09 Oct
Balas

Hatur nuhun, Kang Aca. Masih nuju belajar, Kang.

09 Oct

Ingatan seorang Ibu tentang puterinya pasti selalu berbalut doa. Semoga Ananda menjadi puteri sholehah kebanggaan kedua orang tua.

09 Oct
Balas

Ingatan seorang Ibu tentang puterinya pasti selalu berbalut doa. Semoga Ananda menjadi puteri sholehah kebanggaan kedua orang tua.

09 Oct
Balas

Teringat juga pada putriku Nur Fauziyyah jika melihat foto ibu

09 Oct
Balas

Top Markotop Bu Hermin. Saya baru tahu kalau ibu bike to school saat jadi guru beberapa tahun lalu. Wah bisa jadi ide cerpen nih. Luar biasa semangatnya. Memang ibu tinggal di mana?

09 Oct
Balas

Alhamdulillaah. Hatur nuhun, Pak Cecep. Di Perumahan Gerbang permai Pamengkang, Pak Cecep. Masuknya Kec. Mundu. Tatanggi sareng Perumahan Bumi Cirebon Adipura (BCA).

09 Oct

Wow... Enak baca nya bu....

10 Oct
Balas

Alhamdulillaah, Bu Ilisya. Terima kasih, Buu.

03 Jan



search

New Post