Resolusi Tahun 2018: Merawat Ide

oleh, Hermin

Guru Bahasa Indonesia SMAN 7 Cirebon

Namaku Ide. Banyak yang menyebutku dengan bunyi /e/ pepet. Padahal, mereka seharusnya menyebutku dengan /e/ taling. Ini penting. Akan tetapi, bukan itu yang hendak kusampaikan saat ini. Ada hal lain yang jauh lebih penting dari sekadar kekeliruan kalian dalam melafalkan namaku. Kuharap kalian mau mendengarku di penghujung tahun Masehi ini.

Aku kerap menyambangimu dan aku tak perlu meminta izinmu bilamana aku datang. Sama halnya dengan kalian tak dapat memaksaku hadir, walau saat kalian membutuhkanku. Aku hadir sesukaku.

Aku dapat begitu saja hinggap di pikiranmu saat kau sedang berkendara, berjalan, berinteraksi dengan orang lain, menyapu halaman, mencuci, saat kau berada di kamar mandi. Bahkan, saat kau bercinta sekalipun.

Sungguh, aku adalah makhluk yang tak kasat mata dan “kurang ajar”. Kekurangajaranku ini dapat memaksa kalian berjam-jam, berhari-hari, atau berbilang bulan dan tahun untuk mencumbui mesin tik tanpa lelah demi bermain-main denganku. Saat itulah aku merasa senang.

Sebaliknya, aku akan pulang dengan rasa gundah bila kalian membiarkanku begitu saja. Peluklah aku. Sadarilah kehadiranku. Karena aku tak pernah berlama-lama mengendap di pikiranmu. Aku akan kembali mengapung dan melayang mencari mereka yang memberi arti atas kehadiranku.

Saya lipat kertas kecil itu. Kertas kecil berisi curhatan seorang teman lama. Teman yang saya mulai menyadari bahwa merawat hubungan dengannya adalah hal yang sangat penting. Hal ini lebih terasa sejak saya mengikuti kegiatan Sagusabu MediaGuru di Hotel Cordela Cirebon beberapa waktu yang lalu.

Curhatan itu boleh jadi tidak hanya ditujukan untuk diri saya seorang. Akan tetapi, saya merasa tertohok dengan curhatan itu. Kalau saya boleh terus terang, selama ini saya lebih sering mengabaikan kehadirannya. Seringkali saat ia datang menghampiri saya. Bahkan, wira-wiri di hadapan saya. Saya hanya sekadar menyadarinya. Padahal, ia adalah tamu agung yang seharusnya kita jamu dengan sepantasnya.

Alasan saya menidakacuhkannya sungguh klasik. Sedang banyak pekerjaanlah. Sedang tidak sempatlah. Sedang lelahlah. Sedang tidak inginlah... dan sedang yang paling klasik dan berbahaya adalah sedang malas.

Saya teringat salah satu hafalan madrasah anak saya tentang malas. Ia membacanya dengan keras dan berulang-ulang. Sampai-sampai saya pun ikut hafal. Alkasalu daaun. Malas itu penyakit.

Rasulullah shallallahu ‘alaihu wa sallam sendiri pun mengajari kita umatnya agar berlindung kepada Allah dari hal itu. Di tahun 2018 yang kurang dari 24 jam lagi akan menjelang, saya berjanji akan menjauhi penyakit ini. Malas dalam hal apa saja. Malas dalam menegakkan salat di awal waktu, malas mengaji, malas belajar, malas bekerja, termasuk malas menuangkan ide dalam bentuk tulisan.

Merawat ide dengan menuliskannya adalah sesuatu yang indah dan mengasyikkan. Terlebih lagi, ia akan menjadi sesuatu yang bernilai ibadah bila kita meniatkannya karena Allah.

“De, saya akan meluangkan waktu lebih banyak untukmu.” Semoga Allah memberkahi niat saya ini.

***