Hermin Agustini

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Cincin Emas

Cincin Emas

(part 4)

Oleh: Hermin Agustini

Meski di dalam hati Arien serasa bergemuruh namun ia berusaha tampak tenang dan tetap melayani para customer dengan ramah, senyum manisnya selalu terkembang dengan bahasa yang santun. Tak ada yang tahu kalau batinnya sedang terluka. Sesekali Arin melirik ponselnya yang sedang dalam mood senyap, ia sedang menunggu keberanian perempuan yang telah merebut hati suaminya.

Hari semakin siang namun tak kunjung ada kabar. Andai tidak sedang sibuk melayani para customer mungkin saja ia telah menelpon Tio untuk bertanya ulang. Namun ia harus tetap fokus, urusan rumah tangganya akan ia selesaikan pada saat dirinya tenang dan senggang.

“Sabar, Arin, nanti di perjalanan pulang bisa kau selesaikan semuanya,” gumam Arin menenangkan dirinya agar tetap tenang mngendalikan gemuruh hatinya. Tak lama kemudian terlihat ponselnya berkedip, ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Arin mengabaikannya, namun setelah beberapa saat ia akhirnya menyempatkan diri untuk mengankat telepon itu.

“Assalamu’alaikum, mbak Arin,” terdengar suara perempuan dengan suara parau. Arin langsung mengenali suara itu.

“Walaikum salam, nanti tak telpon balik,” jawab Arin tenang dan singkat. Di benaknya telah penuh dengan rencana- rencana hingga saat pulangpun tiba. Tanpa menunggu lama Arin bergegas menuju mobilnya dan segera meluncur pulang, namun kali ini ia memilih berhenti dahulu di tempat yang nyaman untuk menuntaskan permasalahannya.

Arin menelpon balik Naila, bukan untuk melamar seperti yang ia katakan pada Tio, tapi Arin ingin mengambil bukti lebih banyak untuk melancarkan tekadnya bahwa permasalahan yang ia hadapi kali ini harus benar-benar tuntas. Ia ingin selesaikan semuanya benar-benar selesai termasuk membersamai Tio.

“Hallo, mbak,” sapa Arin kepada penerima telpon.

“Iya, mbak, ma’af aku mengganti nomor ponsel sebab yang lama dibawa suami kerja mbak, jadi aku pakai yang ini. Aku minta ma’af Mbak, sebenarnya aku sangat malu untuk berbicara dengan Mbak. Ma’afkan aku” jawab Naila tanpa jeda. Sementara Arin berusaha tenang mendengarkan sambil merekam percakapan itu.

“Iya, aku ma’afkan. Bukankah setahun yang lalu telah aku ma’afkan. Nyatanya? Kalian masih berlanjut, bahkan sudah tiga tahun sampai sekarang, kan?” Arin mendebat Naila untuk mengorek bukti lebih jauh. Dengan tenang dan tanpa air mata, Arin menyimak semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendetail yang telah ia siapkan untuk memperkuat bukti-bukti hubungan mereka. Bahkan Arin sendiri tidak tahu dari mana ia memiliki kekuatan setenang itu. Apakah hati Arin telah benar-benar membeku sehingga tekadnya untuk bercerai dari Tio benar-benar utuh tanpa ragu?

Bersambung

31 Januari 2023

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Tunggu endingnys bebebs....apakah mereka berdua berhasil menaklukkan badai itu.

08 Feb
Balas

Jangan bercerai...Allah tidak suka itu...

31 Jan
Balas



search

New Post