Musafir di Bulan Ramadhan

(Bag. 1)

By. Hermiza Akmal

MAN 3 Kota Padang Panjang

Agama Islam adalah agama yang tidak membebani umatnya. Maka dalam melaksanakan suatu ibadah, bila seseorang tidak mampu melakukannya, maka ada alternatif-alternatif lain sebagai penggantinya. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah / 2 ayat 185 artinya, “...Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...”

Dalam hal ini termasuk menunaikan ibadah puasa bagi musafir dengan ukuran musafir sesuai dengan yang telah ditentukan oleh agama, maka musafir yang bersangkutan boleh tidak berpuasa. Namun kebolehan ini tidaklah wajib tidak berpuasa, artinya bagi orang yang mampu tetap berpuasa, itu adalah lebih baik. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah / 2 ayat 184 artinya, “...dan puasamu itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Yang akan menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini, apakah orang yang berada dalam keadaan musafir, boleh melakukan hubungan suami istri di siang bulan ramadhan ? Dasar pikiran untuk mengemukakan bahasan ini, orang yang berhubungan di siang ramadhan, berbeda dengan orang yang makan di siang ramadhan.

Orang yang makan di siang ramadhan, cukup hanya dengan bertaubat dan mengganti puasanya di hari yang lain. Sementara yang berhubungan di siang ramadhan, tidaklah hanya cukup dengan bertaubat saja tapi dia wajib membayar kafarat, memilih salah satu di antara 3 pilihan, yaitu memerdekakan seorang budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin.

Kafarat-kafarat ini cukup berat, bisa saja seseorang tidak mampu untuk melakukannya. Oleh karena itu tidaklah salah, apakah seorang yang dalam keadaan musafir lalu berhubungan badan, apakah masih dikenakan kafarat ini ?

Padang Panjang, Jum’at, 15 Mei 2020 Tantangan Gurusiana (hari ke-46)