Hernawati Kusumaningrum

Hernawati adalah guru bahasa Inggris SMP Al Hikmah Surabaya. Ibu berputra 4 ini berhobi membaca, menulis, dan berkebun. Suka mengikuti lomba bagi guru. Sekarang...

Selengkapnya
Navigasi Web
Keluarga Samara Sebagai Pondasi Mendidik Anak
Ustadzah Ani Christina dan ustad Eko pemateri pengajian masjid Babussalam

Keluarga Samara Sebagai Pondasi Mendidik Anak

(Dari Kajian Parenting Masjid Babussalam, Ahad 5 November 2017)

Pengajian kali ini sangat istimewa karena mendatangkan duet pembicara. Ibu Ani Christina, seorang psikolog dan suaminya bapak Eko Ariyanto. Selain sebagai psikolog, bu Ani juga seorang penulis buku-buku psikologi. Saya mencatat ada 3 hal penting dari kajian berjudul Keluarga Samara Sebagai Pondasi Mendidik Anak.

Pertama, pasangan adalah insan terbaik buat kita. Suatu hari psikolog ini mengisi sebuah forum yang menurutnya sangat luar biasa. Forum ini diselenggarakan oleh Sekolah Luar Biasa (SLB) di daerah Sidoarjo. Ia menceritakan bagaimana anak-anak di SLB mampu memberikan penampilan terbaik. Anak-anak tuna rungu dan tuna grahita menampilkan musik angklung. Anak-anak tuna netra memainkan piano. Melihat ini semua, bisa disimpulkan anak-anak tersebut terlahir dari orang tua yang luar biasa, dari keluarga yang kokoh. Keluarga yang kokoh dibangun oleh ikatan yang kokoh. Dalam Islam kita mengenalnya sebagai mitsaqan galidho.

Ilustrasi lain. Ada sebuah keluarga yang awalnya hidup susah. Suami mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja untuk membangun bisnisnya sendiri. Istri turut menopang dengan berjualan ini itu. Suami istri bersatu padu. Mereka sangat kompak sehingga bisnis berjalan dengan baik. Anak-anak pun tumbuh dengan baik.

Ekonomi mereka pun menjadi makmur. Di sinilah ujian mulai menyapa kembali. Terkadang banyak orang berhasil melalui ujian kepedihan tetapi tidak banyak yang lulus ujian kekayaan. Karena kesibukan mengurus bisnis maka komunikasi terganggu. Istri mulai mengeluh dan curhat. Sayangnya, teman lawan jenis yang menjadi tumpuan curhatnya. Suami mulai mencurigari. Pernikahan semakin banyak konfllik. Anaklah yang dirugikan. Yang biasanya jadwal menjemput anak berjalan lancar, kini mulai terganggu. Begitu pun jadwal mengambil raport ananda. Anak-anak yang biasanya salat berjamaah berada di shaf terdepan, kini mulai masbuk. Bahkan mulai malas ke masjid. Suami menyalahkan istri. Sebaliknya, istri menyalahkan suami. Pertengkaran demi pertengkaran semakin sering mereka lakukan.

Kasus berbeda terjadi pada seorang ibu yang curhat tentang anaknya yang malas belajar. Ketika konselor menyarankan agar suami saja yang menasehati, segera ibu tersebut menolak dengan tegas. Menurutnya, suaminya tersebut tidak bisa mendidik anak lelakinya, tidak peduli dengan anak. Ibu ini sangat kecewa. Ia berharap suami bisa menjadi pengayom, pemimpin namun kenyataan yang dihadapinya berbeda. Di sisi lain, setelah di-cross check, sang suami menyatakan sangat kecewa. Ia merasa sudah tidak dipercaya lagi untuk mendidik anak. Semua dilakukan sang istri, ia hanya mencari uang.

Kekecewaan-kekecewaan seperti inilah yang menyebabkan ketidakkokohan dalam keluarga.Hingga akhirnya sampailah mereka pada satu kesimpulan: saya menyesal telah menikah dengannya. Apakah benar ia jodoh saya? Keraguan bahwa pasangan kita bukan insan terbaik akan menjadi pemicu ketidakkokohan keluarga. Bu Ani melanjutkan, pernikahan yang kokoh akan tercipta hanya jika kita mengakui bahwa pasangan kita adalah insan terbaik yang dikirimkan Allah kepada kita. Sekali lagi, insan terbaik.

Jangan sampai anak menjadi korban karena keegoisan orang tua. Sebuah ilustrasi di bawah ini akan memperkaya kita. Seorang ibu membawa anaknya yang berusia 22 tahun untuk konseling karena tidak semangat bekerja. Setelah resign dari perusahaan, satu-satunya kegiatan yang dilakukan di rumah hanya bermain game sepanjang hari.

Setelah melakukan observasi yang mendalam akhirnya konselor memutuskan untuk melakukan terapi religiusitas. Mengajaknya kembali kepada sang pencipta, Allah SWT dengan melakukan salat, doa, dan sebagainya. Sang ibu segera menjawab bahwa anaknya tidak salat. Ia tidak mau dan tidak bisa memaksa anaknya untuk salat.

Akhirnya sang konselor mengajak bicara dari hati ke hati. Ia menanyakan kapan pemuda tersebut terakhir kali berdoa. Pemuda itu menjawab bahwa terakhir berdoa ketika masih SMA. Ketika ditanya mengapa ia berhenti berdoa maka pemuda itu menjawab bahwa Allah tidak pernah mengabulkan doanya. Kira-kira apa doa pemuda itu?

Ternyata dalam doanya, pemuda itu meminta rumah yang nyaman dan ayah-ibu yang baik. Sederhana, bukan? Sayangnya, ia tidak mendapatkannya. Ibunya terlalu dominan dan super perfectionis sementara ayahnya super cuek. Mereka sering terlibat konflik berkepanjangan. Orang tua sering tampak tidak kompak. Pernikahan yang tidak kokoh membentuk keluarga yang rapuh. Anak merasa dunia tidak indah. Ia mulai tidak yakin tentang Allah karena tidak ada yang mengajarinya menuju jalan keyakinan.

Pertanyaannya, apakah kekompakan itu tercipta dengan keseragaman? Apakah tim sepak bola yang dari banyak pemain itu mempunyai keahlian yang sama? Kita semua tahu jawabannya. Rumah tangga dilakukan untuk menyatukan tidak saja dua pribadi tetapi keluarga besar. Tentu saja banyak perbedaan di antara keluarga besar tersebut. Bukankah perbedaan itu sebuah kepastian? Kuncinya adalah komunikasi. Pentingnya komunikasi menjadi hal kedua yang penting dalam kajian ini. Komunikasi yang baik akan memudahkan apa yang ingin kita sampaikan kepada lawan bicara. Komunikasi bisa kita lakukan secara verbal dan non verbal.

Komunikasi terbaik adalah komunikasi hati. Pernahkah kita sempatkan berkomunikasi hati untuk mendoakan pasangan di sela-sela waktu bekerja kita. Komunikasi hati dalam bentuk doa untuk pasangan dan anak-anak akan memudahkan jalan mereka dalam menjalani kegiatan dan tugas sehari-hari.

Ketiga, satukan visi. Suami istri harus mampu menyatukan visi agar rumah tangga yang mereka jalani bisa meraih tujuan yang dicita-citakan. Para orang tua jangan tergiur dengan beraneka ragam program sekolah ditawarkan tanpa adanya visi yang jelas. Ayah ibu harus mampu menjelaskan visi kepada anak untuk kemaslahatan anak di masa depan. Belum tentu visi misi yang baik dari orang tua selalu berakhir baik pada diri anak kecuali mereka dilibatkan dalam mencapai visi misi tersebut dalam arti sesungguhnya. Jadi, visi misi orang tua terhadap anak jangan berhenti pada orang tua saja. Anak wajib tahu karena mereka bagian dari keluarga.

Semoga kita semua bisa membentuk keluarga sakinah, mawaddah warrohmah. Aamiin.

Surabaya, 8 November 2017

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post