Hernawati Kusumaningrum

Hernawati adalah guru bahasa Inggris SMP Al Hikmah Surabaya. Ibu berputra 4 ini berhobi membaca, menulis, dan berkebun. Suka mengikuti lomba bagi guru. Sekarang...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menjadi Guru yang Tak Pernah Lelah Belajar *)
belajar teknologi agar nggak kudet

Menjadi Guru yang Tak Pernah Lelah Belajar *)

Dalam Kata Pengantar pada Laporan Kinerja Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2015 (2016) Anies Baswedan menulis bahwa peningkatan kualitas guru dan tenaga kependidikan merupakan salah satu dari sekian permasalahan yang perlu diselesaikan di tahun-tahun mendatang. Dengan demikian dibutuhkan program pembelajaran bagi guru untuk mengembangkan kompetensi dan kualitasnya sebagai pentransfer ilmu. Menjadi guru bukan berarti berhenti belajar karena sudah puas dengan ilmu dan pengalaman yang dimiliki. Bukankah ilmu dan semua hal di dunia ini akan mengalami perubahan? Perubahan seharusnya memicu guru untuk belajar kembali. Atas dasar itulah program Guru Pembelajar diluncurkan.

Untuk merealisasikan program tersebut maka Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) merancang tiga jenis modul dalam platform besarnya. Pertama, diklat tatap muka, untuk guru yang harus mengikuti 8–10 modul. Kedua, daring (belajar dalam jaringan) untuk guru yang harus mengikuti 6-7 modul. Ketiga, diklat blended (daring dan tatap muka) untuk guru yang harus mengikuti 3-5 modul.

Guru Pembelajar saat ini sudah dilaksanakan di sebagian daerah di Indonesia. Bulan-bulan ini para guru Indonesia menggeliat, beramai-ramai (terpaksa) belajar. Pun, di media sosial. Ikatan Guru Indonesia (IGI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan beberapa grup profesi guru lainnya merespon fenomena ini. Mereka membuka diskusi, membedah, serta membahas pernak-pernik Guru Pembelajar. Mulai dari hal-hal formal-akademis sampai hal-hal sederhana seperti memotret diri dan kondisi tempat mengajar yang sangat bervariasi mengingat begitu luasnya wilayah Indonesia. Nuansanya pun pro dan kontra.

Sementara itu Mendikbud Muhajir menggulirkan program Full Day School (FDS) yang juga menuai pro dan kontra. Bagi yang pro, FDS sangat mendukung penguatan karakter siswa karena siswa lebih lama di sekolah. Setelah jam sekolah usai mereka bisa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang bisa menumbuhkan bakat dan minat yang tentunya sangat penting bagi masa depan siswa kelak. Bagi yang kontra, FDS sangat menyusahkan karena sebagian siswa harus bekerja membantu orang tuanya untuk menyambung hidup. FDS tidak cocok bagi mereka, siswa akan lelah setelah dipaksa berpikir seharian. Bagaimana dengan guru?

Nah, kebijakan yang berkelindan antara Guru Pembelajar dan Full Day School (FDS) ini sangat menarik untuk dicermati. Bisakah guru dituntut belajar dalam sistem FDS?

Guru Harus Belajar

Guru harus belajar. Apapun jenis sistem pendidikan yang dianut suatu negara. Mau yang cuma setengah hari seperti saat ini maupun FDS tidak boleh menjadi alasan guru untuk berhenti belajar. Long life education, bahasa kerennya. Pendidikan sepanjang hayat. Artinya, menuntut ilmu tidak boleh berhenti ketika kita sudah merasa menguasai sang ilmu. Ilmu itu berkembang seiring dengan perkembangan jaman. Bisa jadi ilmu yang kita pelajari ketika kita sekolah sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang.

Implikasinya adalah guru harus bisa memberikan ilmu yang bisa digunakan siswa di jamannya kelak. Ilmu yang menjadikan mereka survive pada jamannya. Dan ini tidak mudah. Bagaimana guru bisa memberi kalau tidak mempunyai sesuatu yang diberikan? Maka, guru harus mempunyai. Untuk mempunyai, guru harus belajar.

Era informasi dan teknologi saat ini memberikan sejuta kemudahan pada guru untuk belajar. Kuncinya hanya satu. Terbuka terhadap perubahan. Sikap terbuka sangat dibutuhkan agar kita lebih fleksibel menjalani kehidupan pada umumnya, khususnya profesi sebagai guru. Kita harus paham dan legawa bahwa guru bukan satu-satunya sumber belajar. Di luar tersedia sumber belajar lain yang bisa diakses siswa. Bahkan pengaruhnya bisa lebih dahsyat dari guru sendiri. Televisi dan internet sudah menjadi bukti.

Dalam masalah teknologi, tidak jarang siswa lebih lihai dari kita. Hal ini terjadi karena mereka meminjam istilah Marc Pernsky (2001) --digital natives alias penduduk asli dunia digital sementara kita adalah digital immigrants. Menurut teori generasi, mereka ini termasuk generasi Z, atau iGeneration yang lahir di tahun 2000an. Mereka begitu fasih menggunakan teknologi, sangat intens berkomunikasi di dunia maya, dan multi tasking. Artinya, mereka bisa mengerjakan tugas sekolah sembari mendengarkan musik, berbicara, menjawab pesan, bahkan menonton serial drama di laptopnya dalam waktu bersamaan. Nah, guru harus pandai-pandai memahami hal ini agar tidak sembarangan menghakimi.

Selanjutnya, guru harus mau belajar karena bagaimanapun juga teknologi ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi sangat positif karena menawarkan kemudahan, kecepatan, inspirasi, kreatifitas, dan sebagainya tetapi di sisi lain bisa berdampak negatif jika berada di tangan yang salah. Nah, di sinilah tugas kita para guru. Kita punya tanggung jawab moral mengarahkan siswa tetap berada di jalur yang benar dengan teknologi yang mereka genggam. Bagaimana mungkin guru bisa mengarahkan kalau tidak menyelami dunia mereka? Maka wahai para guru, jangan malu untuk belajar.

Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)

Dalam buku yang berjudul Teacher Reform in Indonesia: the Role of Politics and Evidence in Policy Making, Chang dkk (2014) mengklaim bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kader guru terbesar dan mata pelajaran yang paling beragam. Tentu saja potensi ini memainkan peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan jika digarap dengan sempurna.

Jangan sampai guru-guru ketinggalan kereta dengan mereka yang tinggal di manca negara. Guru-guru di sana diwajibkan mengikuti platform pengembangan kompetensi yang biasa dikenal dengan nama Continuing Professional Development (CPD). Harding (2009) dalam British Council (2012) menyarankan empat karakteristik dalam CPD. Pertama, harus menumbuhkan tantangan baru dan meningkatkan kinerja. Kedua, tanggung jawab guru pribadi untuk menentukan kebutuhan pengembangan dirinya dan bagaimana memenuhinya. Ketiga, bersifat evaluatif sehingga guru memahami manfaat kegiatan pengembangan diri tersebut. Keempat, CPD merupakan komponen terpenting dan utama dalam kehidupan profesional guru bukan kegiatan ekstra.

Banyak cara bisa dilakukan untuk melaksanakan CPD seperti mengikuti konferensi, workshop, pelatihan-pelatihan, membangun jejaring dengan guru-guru lain, mencoba materi-materi baru, bergabung dengan organisasi guru, mentoring, observasi , dan sebagainya.

Nah, di negara kita CPD dikenal dengan istilah Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) yang telah menjadi isu penting dalam Undang-Undang Guru dan Dosen tahun 2005. PKB dilakukan untuk mengembangkan empat kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik, profesional, personal, dan sosial.

Saat ini PKB sudah tidak bisa dilakukan secara konvensional lagi karena jumlah guru di Indonesia yang sangat besar, sekitar 4 juta. Jumlah tersebut tidak seimbang dengan jumlah trainer dan institusi pelatihan yang ada. Disamping itu, kesibukan guru yang padat juga tidak memungkinkan jika harus mengikuti pelatihan konfensional. Tidak heran jika kemudian pemerintah melirik keberadaan teknologi informasi yang memudahkan. Lahirlah Guru Pembelajar sebagaimana pembuka tulisan di atas.

Harapannya, organisasi seperti IGI, PGRI, dan sejenisnya juga institusi swasta memiliki tanggung jawab moral dan berperan aktif dalam meng-upgrade kualitas pendidikan melalui upgrading guru. Akhirnya, kembali ke pribadi para guru untuk selalu menjadi guru yang tak pernah lelah belajar baik di sekolah konvensional maupun sekolah bersistem FDS. Salam belajar.

References

British Council. (2012). Going forward: Continuing Professional Development for English Language Teachers in the UK.

Chang, Mae Chu, Shaeffer, Sheldon, Al-Samarrai, Samer, Ragatz, Andrew B., Ree, Joppe de, & Stevenson, Ritchie. (2014). Teacher Reform in Indonesia. Washington DC: The World Bank.

Harding, Keith. (2009). Modern English Teacher 18(3).

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Laporan Kinerja Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2015. Jakarta.

Prensky, Marc. (2001). Digital natives, digital immigrants. On the Horizon, 9(5).

*) tulisan ini pernah dimuat di Majalah MEDIAN LPMP Jawa Timur Edisi 3/2016

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

trima kasih masukannya

06 Apr
Balas

Dahsyat, Ustadzah!!

04 Apr
Balas

trima kasih ustad. tulisan panjenengan juga selalu dahsyat

04 Apr

Muantap!

04 Apr
Balas

belajar terus, terus belajar ya mbak

04 Apr

satu kekurangan tulisan ini. fotonya kok ga ada caption dan kreditnya.

06 Apr
Balas



search

New Post