Heru Widhi Handayani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Klaten Jadi Kembang Lambe

Hari itu saya masih sibuk mengurus perpindahan ibu yang dirawat di ruang ICU ke ruang perawatan di Rumah Sakit Islam, Klaten, Jawa Tengah. Terdengar selentingan kabar tentang tawuran yang dengan brutal telah merenggut korban. Kalau kejadiannya di Jakarta, bagi saya yang sehari-hari mengajar di sana, berita semacam ini tidak terlalu menghebohkan. Meskipun dalam hati saya miris juga.

Lha, ini kejadiannya di kota kecil di antara Yogyakarta-Solo? Kabarnya yang meninggal sampai belasan lagi. Apa nggak mencekam? Brutal?

Anehnya, situasi di rumah sakit biasa-biasa saja. Layaknya ada berita yang menggemparkan pastilah segera menyebar. Menjadi buah bibir. Apalagi ini di rumah sakit. Dari sekian banyak korban pastilah ada yang dirujuk kemari.

Sekali lagi, situasi rumah sakit normal-normal saja. Tidak ada pembicaraan soal tawuran di antara petugas medis atau para pengunjung rumah sakit. Saya sempat berpikir, apakah sedemikian terisolisasi berada di rumah sakit sehingga kudet (kurang update).

Tidak lama kemudian saya membacai grup wa di gawai saya. Grup yang di dalamnya orang-orang penggerak pendidikan. Kaget juga begitu mendapatkan berita plus gambar berdarah-darah tanpa diblur. Seolah sengaja hendak menggambarkan sebuah kebiadaban.

Begini tulisan awalnya: Inalillahi wa inna ilaihi rojiun ....terjadi tawuran lulusan SMU di klaten 18 meninggal yg luka2 blm tercatat.

Bayangkan, 18 meninggal pada hari Pendidikan Nasional?

Tulisan selanjutnya: Pada tanggal 2 Mei 2017 telah terjadi tindak kriminal di beberapa wilayah Kab. Klaten yang di duga dilakukan oleh sekelompok pelajar yang sedang konvoi merayakan kelulusa....

Dari dua alinea ini saja kabar ini tidak layak masuk berita. Tulisannya menggeneralisasi seolah terjadi di seluruh SMU di Klaten. Bagian paragraf kedua, kejadiannya di beberapa wilayah. Wilayah mana? Tidak terlalu banyak nama kecamatan atau kelurahan yang bisa disebutkan. Kecuali penyebar kabar ini memang tidak mengenal nama-nama daerah di kota kecil ini.

Kalimat berikutnya makin memperjelas bahwa kategori kabar ini sekadar kembang lambe (desas-desus). Kata diduga dilakukan oleh sekelompok.... Berita kok menduga-duga.

Lucunya, kami yang berada di Klaten kalah cepat mendapatkan informasi tersebut. Beberapa orang langsung merasa berkepentingan untuk segera menyebar berita copasan yang anonim pula. Termasuk kawan guru yang membagikannya di grup media sosial.

Bukan ia seorang melainkan beratus-ratus jari bahkan ribuan mengklik dan menyebarlah kabar bohong itu.

Saya bukannya tidak peduli dengan kasus ini. Bukan pula harus menunggu jatuh korban baru bereaksi. Akan tetapi, reaksi berlebihan sering menjadi kebablasan.

Ada satu prinsip yang biasa saya pegang dalam permedsosan: tidak menyebarkan berita atau apapun sebelum mengetahui itu fakta atau kembang lambe.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren

06 May
Balas

Thanks, Miss

20 Jul

Thanks, Miss

20 Jul

Betul sekali bu, sehingga tidak meluncurkan unsur sara yang hebat tanpa ada kepastian dari pemberitaan.

06 May
Balas

Intinya cek dan ricek dulu nggih, Bu

20 Jul



search

New Post