Heru Widhi Handayani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Musim Haji
Diambil dari www.islamiclandmarks.com

Musim Haji

Musim haji biasa ditandai dengan keberangkatan kelompok terbang (kloter) haji yang pertama. Saat-saat seperti ini ingatan kembali pada sosok Bapak saya. Ia termasuk yang bersungguh-sungguh menyisihkan sebagian uang pensiunnya untuk membiayai hajinya kelak. Sedikit demi sedikit. Sebagian besarnya masih difokuskan untuk bayaran kuliah anak-anaknya.

Kehidupan waktu itu masih sangat sulit. Tapi, prinsip yang ditanamkan Bapak untuk sekolah sangat kuat. Kesulitan itu bukan penghalang untuk mewujudkan keinginan. Begitu pula dengan niat Bapak untuk berhaji. Setiap pulang kampung dari berkuliah di Jakarta, saya sering mendapati Bapak sedang mengamati kalender. Ia menunjuk-nujuk angka sambil membolak-balik lembarannya. “Tinggal hitungan bulan,” begitu ia berkata pada dirinya sendiri.

Saya hanya menghela napas. Membatin, andai saya sudah bekerja saya akan ikut mengusahakan dananya. Tapi apa boleh di kata, biaya kuliah saya saja masih menjadi tanggungannya.

Kebiasaan Bapak menghitungi hari di depan kalender selalu saya lihat saat saya ada di kampung. Ia begitu yakin bisa menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima itu. Pelan tapi pasti, begitu mungkin yang di pikiran Bapak.

Selang beberapa tahun kemudian, saya tetap di Jakarta meski kuliah sudah tamat. Saya memilih mengajar di sana. Selesai saya kuliah, selesai sudah tanggungan Bapak untuk membiayai anaknya sekolah. Saya anak bungsu dari ketujuh bersaudara. Itu artinya Bapak bisa menambahkan setoran hajinya ke bank.

Setiap libur sekolah saya selalu pulang kampung. Apalagi saat lebaran haji tiba. Saatnya memotong kambing untuk kurban. Yang memotong hewan kurban biasanya Bapak, dibantu beberapa tetangga memegangi kaki kambing. Saat itu agak sulit mencari orang terdekat yang bisa memotong hewan kurban sesuai syariat. Diiringi dengan basmallah, ayah dengan mantap memotong hewan kurban. Semantap keyakinannya untuk melaksanakan haji dalam waktu dekat.

“Sebentar lagi,” kata-kata itu kembali saya dengar, saat Bapak menunjuk angka-angka di kalender. Entah berapa kali sudah kalender itu jadi saksi, Bapak ingin berhaji.

2007. Saya seperti bermimpi. Tetiba saya mendapatkan kabar Bapak kecelakaan. Kritis. Dalam salat Duhur, saya bicara dengan Allah, meminta keajaiban-Nya untuk memberikan kesempatan kami menghajikan ayahanda. Meski, jauh di lubuk hati... menyerahkan pada takdir Illahi.

Selang beberapa saat, telepon kembali berdering dari kakak lelaki saya yang tinggal di Bekasi. Ia memberi kabar duka. Pahlawan keluarga kami dipanggil Yang Mahakuasa. Innalilahi wa inna ilaihi rajiun....

Saat itu juga kami, bersama-sama pulang ke kampung. Alam seakan mengerti perasaan kami. Hujan deras bagai ditumpahkan di langit Jakarta. Tanda-tanda banjir akan segera tiba seolah menyegerakan kami meninggalkan ibu kota untuk menjumpai jasad ayahanda.

Banjir di Jakarta dan sekitarnya, menghambat perjalanan kami. Saat itu kereta kami meninggalkan Stasiun Jatinegara pukul 21.00-an sampai di Stasiun Bekasi 24.00-an. Tiga jaman Jakarta-Bekasi! Kami masih tercekat di kereta api. Keinginan kuat untuk menyaksikan Bapak terakhir kali, nyaris tidak terpenuhi. Kami terus berdoa. Sampai akhirnya kami kelelahan dan tertidur.

Saya tiba di kampung disambut pelukan kakak perempuan. Ia membisikkan, jasad Bapak bersih seperti sedang tidur saja. Di ruang tengah, terbujur kaku jenazah. Beberapa orang sedang menyiapkan terbelo, peti jenazah dari kayu untuk membawa jenazah ke pekuburan. Budaya di kampung saya tidak mengenal bandusa atau keranda mayat.

Saya melihat Ibu terduduk lesu di dekat jenazah. Seolah tidak hendak menambahi duka di hatinya, saya menguatkan diri untuk tidak menangis. Saya ciumi tangannya dan memeluk tubuh perempuan yang kehilangan setengah api hidupnya itu. Untuk kemudian bergegas mengambil wudu dan menyalati jenazah Bapak.

Hujan rintik-rintik mengiringi kepergian Bapak. Penguburan pun berjalan cepat, rintikan bertambah lebat. Bapak seolah tidak menginginkan kami beruka terlalu lama. Air mata telah bercampur dengan tetesan air hujan. Jatuh, luruh ke tanah.

Sepeninggal Bapak, kakak tidak henti-hentinya menceritakan hari terakhir Bapak dipanggil menghadap-Nya. Ia sedang dalam perjalanan memenuhi panggilan-Nya untuk menunaikan salat Jumat. Entah mengapa atau inilah takdir itu. Tidak biasanya Bapak salat Jumat ke masjid yang jauh dari rumah. Ia ingin salat Jumat ke masjid di Pesantren Mbah Muslim Imampuro, Klaten utara, sedangkan rumah kami di dusun kecil di wilayah Klaten selatan.

Sejak keinginan berhaji Bapak begitu kuat, ia menanggalkan peci hitamnya dan beralih mengenakan kopiah haji berwarna putih. Baju koko yang dipilihnya juga warna-warna putih. Suatu saat ia bercerita, dalam pengajian, Bapak duduk dia antara tetua yang diundang. Penceramah memanggil Bapak dengan sebutan Pak Haji.

“Bapak dikira sudah haji,” katanya berbinar bahagia, meskipun dalam hati saya jadi terharu membayangkan di antara tetua itu hanya Bapak yang belum berhaji.

Persis saat itu Bapak berangkat salat Jumat. Ia menaiki motor honda bebek biru keluaran 70-an, yang kecepatan maksimalnya hanya sampai 60 meter per jam. Tumben ia mengenakan sarung warna putih. Itu satu-satunya sarung Bapak yang berwarna putih. Tidak lupa ia berkopiah haji.

Bapak kecelakaan di jalan raya yang tidak jauh dari pesantren. Beberapa santrinya bahkan yang mengabari soal kecelakaan ini ke rumah. Kakak saya sedang di rumah sakit, menunggui anaknya yang diopname. Satu lagi kakak perempuan datang menjenguk. Allah sudah mengaturnya sedemikian. Ketika mendapati kabar Bapak masuk UGD, kedua kakak perempuan saya inilah pertama kali menemani Bapak. Mereka berdiri di sisi kanan-kiri Bapak.

Bapak meninggalkan kami dengan cepat. Ini juga yang dulu sempat saya tanyakan kepada Tuhan, mengapa? Kami, ibu-beranak, seolah belum percaya. Terutama Ibu, ia masih sangat menyesal. Di hari-hari terakhir Bapak ingin mengajaknya bercanda, justru Ibu marah-marah.

Ceritanya, Ibu menyimpan pisang untuk makan obat. Bapak memakannya. Ibu sangat kesal, sampai marah-marah.

“Kenapa cuma satu pisang saja sampai bikin saya marah-marah,” kata ibu getun, kecewa sekali.

“Bapak mungkin mau memberikan nasihat ke Ibu, agar Ibu bisa menahan diri untuk tidak mudah marah-marah, Bu,” kata saya, menguatkan hatinya.

Hari-hari sepeninggal Bapak menyisakan rasa kehilangan yang berat bagi kami, terutama Ibu. Dengan cepat saya bisa menangkap perubahan itu. Api hidupnya sedikit meredup. Raut mukanya nampak lebih tua meski baru beberapa hari saja ditinggal Bapak. Mungkin begitu juga kelak, sesiapa ditinggalkan jodohnya di dunia. Yang jelas ibu kehilangan kawan curhat. Tidak ada tempat lagi ia melampiaskan emosi secara alamiah, marah-marah, kesal, sedih, juga bahagia.

Sampai satu saat, Ibu bisa merelakannya. Saat ia hendak menunaikan salat malam. Di hamparan sajadah bergambar Kabah, ketika hendak bersujud Ibu melihat gambaran wajah Bapak tersenyum. Beberapa saat. Ibu agak tercenung. Setelah bertakbir, Ibu bersujud sembari mengusap gambaran itu. Sekejap ia menghilang, bersamaan dengan datangnya kedamaian di hati Ibu. Ibu pun ikhlas.

Peristiwa kebatinan Ibu itu terjadi setelah Ibu ditemani kakak membawa tabungan haji Bapak ke tempat pengajian yang biasa Bapak sambangi. Ibu menitipkan haji Bapak ke ketua pengajian di sana. Itulah usaha Ibu mencukupkan niat Bapak di dunia.

Sekarang, setiap musim haji tiba, ingatan saya kembali kepada Bapak. Sosok ayah yang gigih menyekolahkan anak-anaknya, tetapi gigih juga bertekad tidak melupakan panggilan menjadi tamu Allah di Mekah. Labbaik allahumma labbaik... labbaik laa syarila laka labbaik... innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarikalak....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga almarhum ayah mendapatkan tempat yang terbaik ya bu di sisi Allah SWT.

31 Jul
Balas

Sangat mengharukan, semoga Almarhum mendapat pahala berhaji ..

10 Aug
Balas

Kenangan yang terbayang slalu. Ayah smoga dimasukkan dalam golongan yang beruntung. Kehidupan penuh nikmat di sisiNya. Aamiin.

30 Jul
Balas

Aamiin ya rabbal 'alamiiin....

30 Jul



search

New Post