Heru Widhi Handayani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Sepotong Kisah di Gerbong Dua

Sepotong Kisah di Gerbong Dua

Ini perjalanan saya yang ketiga kali ke Klaten selama dua bulan terakhir. Tujuannya mencuri-curi waktu demi bisa merawat ibu yang sedang sakit di kampung halaman. Sebuah kewajiban yang saya nilai sakral sebagai bentuk bakti anak kepada orang tua.

Di gerbong dua saya duduk berhadap-hadapan dengan bapak-bapak. Taksiran saya berusia kepala enam. Obrolan dibuka dengan saling bertanya turun di stasiun mana. Begitu tahu turun di stasiun yang sama, bincang-bincang makin akrab.

Si bapak membuka diri dengan menceritakan tujuannya di Jakart. Ia sudah satu bulan tinggal di apartemen keluarga putranya yang baru menikah pada 2015. Ia mengasuh cucu lelakinya sampai mereka memperoleh pengasuh.

Saya tidak perlu menanyakan mengapa ia yang bertandang bukan istrinya. Intinya ia yang ambil peran sebagai bentuk tanggung jawab. Ia dengan panjang lebar berkisah bagaimana putranya bisa beristrikan seseorang dari kalangan berada. Ia berkali-kali mengatakan latar belakang keluarga mereka jomplang, baik dari segi pendidikan maupun status sosial.

Demi harga diri keluarga, ia nekat ngunduh mantu—pihak keluarga lelaki mengambil alih untuk menggelar resepsi pernikahan. Ia dan istrinya sama-sama baru memasuki masa pensiun PNS guru. Pinjaman diajukan. Pesta yang megah pun digelar. Semua itu demi menjaga nama baik keluarga.

Saat memasuki babak rumah tangga, kehidupan mereka langsung mapan. Sang menantu sudah dibekali orang tuanya apartemen lengkap dengan isinya. Mobil juga tersedia.

“Lha, kulo niku namung modali pit montor,” katanya, menerawang. Ia hanya memodali sepeda motor.

Sebulan tinggal dengan mereka, ia bisa menilai kesenjangan itu tetap ada. Kendali rumah tangga dipegang sang menantu. Kebiasaan serba ada menjadi penyebabnya.

Berkali-kali ia menasihati putranya untuk bisa momong sang istri sambil pelan-pelan mengarahkannya. Bagaimana perempuan itu pilihannya sendiri. Segala risiko ya ditanggung sendiri.

“Semua itu sekarang dijalani bersama demi anak,” imbuhnya.

Meskipun demikian, orang tua tetaplah orang tua. Ia tidak bisa berpangku tangan. Saat mereka kesulitan mencari pengasuh anak, ia tampil sebagai jawabannya. Semua ia lakukan demi manjaga nama baik keluarganya di mata besan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

kasih ibu sepanjang masa. Kasih orang tua tak terbatas kata-kata. Kisah yang mengharu biru.

11 Jun
Balas

Lha, itu saya belajr lagi daei si bapak yang asih tulus mendukung putranya.

11 Jun

Kata kuncinya adalah "menjaga nama baik keluarga di mata besan."

11 Jun
Balas

Anak saya masih kelas dua SD, Pak. Rasanya belum menjangkau untuk ke sana. :)

12 Jun



search

New Post