HBR HIMAWAN BASTARI

Seorang guru Sekolah Menengah Pertama di pedalaman Sumatera Selatan Alumni Universitas Lampung pada program pendidikan Geografi Tahun 2004 Penggia...

Selengkapnya
Navigasi Web
KETIKA PENDIDIKAN JADI KOMODITAS

KETIKA PENDIDIKAN JADI KOMODITAS

Hardiknas kali ini mengambil tema yang spektakuler "PENDIDIKAN YANG MERATA DAN BERKUALITAS" Mengapa pendidikan kita belum merata, belum berkualitas, dan juga kualitas belum merata?

saya mencoba membuat coretan alakadarnya sebagai ungkapan bahwa pendidikan hari ini bukan dijadikan sebagai senjata peradaban tetapi hanya menjadi komoditas peradaban.

Cobalah kita tengok beberapa hal dibawah ini

1. Dana BOS itu hitungannya per-kepala. Disinilah berlaku liberalisasi ekonomi sekolah, murid seakan menjadi komoditi sekolah, makin banyak murid, makin banyak dana, makin sedikit murid makin kere lah sekolah itu. Sedangkan untuk operasional pelayanan sekolah, punya murid 30 gurunya 10, punya murid 2 pun juga harus 10 guru..kebutuhan kapur/spidol sama juga kan?

2. Labelisasi sekolah Rujukan,model,unggulan dll ini juga semakin melanggengkan keadaan diatas. Sekolah sekolah ini biasanya berada di pusat keramaain akan menimbulkan migrasi/urbanisasi minat hingga menyedot jumlah murid yg besar dari rayon/kecamatan lain sehingga mereka punya komoditi ekonomi yg gemuk dan besar, sedangkan sekolah tak berlabel -biasanya di pinggiran- semakin tidak diminati dan terseok seok dalam pembiayaan operasional, masih bisa mikir mendongkrak kualitas?

Saat nya Standar biaya sekolah harus ditentukan dengan hitung-hitungan yg benar dan memakai dasar analitik yg akuntabel, dana bos tidak bisa lagi didasarkan atas jumlah kepala/murid, harus ada batas minimal pembiayaan.

Usaha untuk menghapus sekolah favorit-tidak favorit, sekolah besar-kecil harus segera dilakukan menjadi Semua sekolah Favorit.

Caranya?dalam jangka menengah/jangka panjang pemerintah (pusat maupun daerah) harus membuat semua fasilitas di semua sekolah sama, sama gedungnya, sama laboratoriumnya, sama komputernya, sama perpusatakaannya. Setelah dirasa tidak ada disparitas antar sekolah, saatnya perintah "MEMAKSA" melalui perda/perbup dsb kepada masyarakat untuk sekolah di dekat rumahnya dengan sistem rayonisasi, siswa sebuah kecamatan tidak boleh silang daftar ke sekolah rayon lain dengan jaminan bahwa sekolah terdekat itu sudah sama kualitasnya sesuai harapan/mindset untuk sekolah favorit. Selain di setiap kecamatan kita mendapatkan bibit unggul dr berbagai bakat, kita sekalian juga bisa mencegah penggunaan kendaraan bermotor yg berlebihan dikalangan anak sekolah. jika masyarakat masih berfikir dan menganggap bahwa Guru di sekolah favorit lebih baik dan berkompeten, ya sekali kali di silangkan aja guru itu ke rayon lain.

Bagaimanapun Guru adalah kunci pembelajaran berkualitas, kita butuh banyak lagi tenaga Guru yang lebih fresh, lebih greget, lebih "pecicilan" lebih kreatif dalam mengemas kegiatan, tentunya dengan penghargaan penjaminan kesejahteraan yg layak.

Untuk kualitas sekolah swasta kecil dipinggiran daerah bagaimana? ya ayolah yayasan, kalo niat mendirikan sekolah juga harus ada kepedulian yg kontinyu...jangan ditinggal begitu ajah...masak nggak malu punya universitas kelas dunia, tapi punya SD-SMP yang gaji gurunya hemmmm.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Malu ya Pak Himawan bahwa "Masa nggak malu punya universitas kelas dunia, tapi punya SD-SMP yang gaji gurunya hemmmm." Jadi mikir.

03 May
Balas



search

New Post