hizkiana mintarningsih

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

BAB 2. Keramaian Malam Hajadan

Seperti warga kampung lainya, jam 18.30 aku telah berdiri di dekat pagar Pak Basri. Takut tidak mendapat tempat nyaman saat pertunjukan berlangsung. Bahkan tidak malu-malu aku duduk di tembok pagar dengan beberapa teman. Sambil sesekali memberi komentar cara berpakaian para tamu yang mulai berdatangan. Aku perkirakan ada lima ratus undangan yang hadir. Karena menurut Yadi, Pak Basri menyewa kursi sebanyak lima ratus buah untuk acara malam ini.

“Wah, Banyak sekali! Apalagi ditambah dengan jumlah penonton di luar pagar pembatas. Bahkan Pak Camatpun datang! “ Komentar para ibu yang menjajariku; terkagum-kagum)

Seperti biasa acara hajadan dimulai dengan prosesi adat kampungku. Karena sudah sering menyaksikan tahapannya, aku menjadi sangat hafal urutannya. Jadi tidak terlalu menarik untuk diikuti dengan serius. Yang paling kami tunggu adalah atraksi para biduan atau sinden yang disewa untuk meramaikan hajadan

Jam Sembilan malam, orkes mulai ditabuh. Penonton mulai beringsut memperbaiki posisi duduknya. Aku tetap di tempatku semula. Ketika si Lanang datang meminta aku memberikan sebagaian tempat dudukku, aku segera memasang wajah masam.

“ Ras ! Marah ya ? Maju sana dekat pak camat !” Kalimat Lanang menjadikanku tambah tersinggung ! ( Akhirnya aku bangun dari tempat duduk dan meninggalkan Lanang menguasai tempat dudukku )

Lanang itu pemuda baik. Tetapi entah mengapa aku kurang menyukainya. Apalagi Kang Tresno kerap kali menjodohkan aku dengan Lanang. “ Benci aku !!” Begitu aku berserapah setiap kali Kang Tresno menggangguku.

“ Awas lho, nanti malah jatuh hati benaran. Biasanya orang jatuh cinta diawali rasa tidak suka dulu lho Ras.! Lha wong dahulu para Simbok cerita, kalau mereka tidak pernah pacaran waktu dinikahkan oleh orang tua. Langsung cintrong eh !”

Biasanya kalau sudah sampai bicara begitu, aku lari ke kamar dan membanting pintu keras sekali . Mengurung di dalam kamar hingga malam.

“ Ah ! Gara-gara si Lanang !”Makanya Lanang menjadi musuh yang ingin kumusnahkan. “ Eh! Enak saja minta tempat duduk di sebelahku”(Gerutuku)

Ada tiga orang yang disunat. Agus anak Pak Basri yang ke lima, Danu dan Yadi keponakan dari pihak istri pak Basri. Ke tiganya masih di bangku sekolah dasar.

“Ganteng-ganteng ya Ras ? “ Si Umi mengomentari ketiganya.

Pukul 09.30, sinden Juminten mulai woro-woro. Suaranya yang khas sangat digandrungi orang. Bahkan saya dengar ada yang sampai duduk berjam-jam hanya agar dapat mendengar sinden Juminten nyinden.

Semakin lama suasana semakin syahdu. Malam pekat, cengkerik menyuarakan tembang rayuan apik. Dan aku tidak juga ingin meninggalkan acara hajadan. Apalagi ada Kuncoro. Aku tertarik dengan tingkah polah Kuncoro dan Nuri. Aku melihat dari jauh , Kuncoro sering melakukan gerakkan mencondongkan kepala ke arah Nuri. Seakan ada yang ingin Kuncoro sampaikan. Tetapi Nuri tetap pada posisinya. Tidak tertarik dengan apa yang Kuncoro katakan. Itu jelas terlihat dari mimik Nuri di renamg rembulan. Acuh , kaku di tempat tanpa pernah beringsut sejengkalpun dari tempatnya berdiri.

Melihat adegan seperti itu, aku menjadi heran dan geram dengan Kuncoro.” Kemarin bilang tidak ada apa-apa, tetapi mengapa sekarang kayak orang kesurupan. “ Setan alas !!!! “

Alunan klonengan masih berirama. Mbah Kromo yang dua bulan lalu ditinggal mati istrinya berayun-ayun memakai slendang sinden Tami. Aku merasa dunia sudah terbalik. Banyak jejaka yang masih bisa santun, tetapi para kakek kehilangan pamornya. Mereka senyum sendiri, padahal banyak cucu yang masih harus digendong.

Kira-kira setengah jam kemudian , aku melihat Nuri meninggalkan tempat perhelatan. Kuncoro mengikutinya, sambil menyisir jalan di antara penonton yang duduk di pelataran pak Basri yang beralas rumput Jepang yang empuk, tebal.

“ Permisi Pak/ Bu/ Adik, Mbakyu; sambil menebar senyum ke kanan dan ke kiri. “ Dia ganteng!” Celetukku dalam hati . Aku tersipu sendiri di antara sorot lampu neon yang berpendar ramah.

Nuri itu aneh. Rahasia apa yang dia pendam dalam hatinya ? Kami penduduk desa tidak pernah tahu tentang latar belakangnya. Selain dia cukup cantik, pendiam, pinter, dan menolak Kuncoro; tidak ada lagi yang kami tahu tentang Nuri.

Di pertigaan jalan, Nuri berhenti sejenak. Kepalanya tolah-toleh. Sepertinya ada yang dicari . Tetapi lima menit kemudian, Nuri sudah duduk di atas ojek , dan melaju di telan gelap malam.

Pukul 12.00 malam keramaian mulai berkurang. Nuri juga sudah pergi. Sudah tidak ada yang menarik yang membuat aku betah di halaman pak Basri. Dengan sejuta pertanyaan tentang Kuncoro dan Nuri aku beringsud pulang. Kang Karmin dan Yu Siti berjalan menjajari langkahku. Yu Siti sedikit heran kepadaku, sebab tidak biasanya aku diam dan tak acuh kepada mereka. Lazimnya jika bertemu mereka, selalu ada yang kami bahas dan menarik untuk diperbincangkan. Apalagi setelah menikmati hajadan seperti tadi. Pasti banyak topic menarik untuk dibicarakan; sindennyalah, baju para tamu, makanannya, sikap tuan rumah atau tentang tetek bengek yang setelah itu baru kami sadari tidak menarik untuk diingat.

“ Lho Ras ada apa ? Tumben kamu jadi alim begini. Kamu sakit ya ?” ( Yu Siti mulai menebak-nebak perkaraku )

Mbakyu Siti itu orang yang sangat sabar. Ia paling menyenangkan bila diajak ngobrol soal uneg-uneg. Hanya kadang aku berfikir, terlalu bercerita kepada orang lain, juga tidak bagus. Mereka kan juga memiliki masalah. Sebaiknya sesekali aku harus mendengar hati mereka. Aku takut apabila aku terlalu sering menceritakan isi hatiku, Mbakyu Siti akan jenuh dan tidak salah kalau Mbakyu Siti akan bercerita kepada orang lain. Maka nya aku sekarang agak membatasi diri.

Seperti malam ini. Tidak ada satu orangpun yang tahu bahwa antara Kuncoro dan aku memiliki hubungan khusus. Kami sudah sepakat untuk tidak menceritakan masalah kami kepada siapapun, sampai kami berdua merasa siap. Itulah yang menyebabkan aku sering dibakar cemburu; setiap kali melihat Kuncoro bertingkah aneh di hadapan Nuri. Aku penasaran. Tetapi seperti biasa Kuncoro yang pandai mengambil hatiku selalu mampu meyakinkan aku, bahwa tidak ada hubungan special antara Nuri dengan dirinya. Tetapi mengapa sikapnya selalu aneh setiap bertemu Nuri. “ Gandrung ! “( Jatuh cinta amat dalam ). Aku jadi muak dan merasa dipermainkan. Tetapi aku tidak mampu membencinya. Karena Kuncoro sudah menjadi bagian hidupku selama bertahun- tahun.

Karena Yu Siti tidak berhasil mengorek bisuku, Kang Karmin mulai ikut campur . Bahkan lebih berterus terang.

“ Soal Kuncoro ya Ras ?” Tiba—tiba dadaku sesak dan jiwaku rubuh . Karena yang dikatakan Kang Karmin itu benar. Aku gelisah karena Kuncoro. Tapi aku bisa apa ? Selain diam ? Kuncoro telah mengancing hidupku. Tanpa pernah aku berani keluar dari hidupnya. Aku pengecut sekali.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post