Hidup adalah Perjuangan (5)
Tantangan Menulis Hari 55 (#Tagur).
Diantara berat dan susahnya perjalanan darat yang kami tempuh, dikarenakan mabuk perjalanan yang aku dan Arini alami. Dengan kesadaran dan perasaan yang tidak stabil. Aku dihantui beberapa pertanyaan.
“ Bagaimanakah nasib kami nanti di kampung?”
“Keluargaku semua di tanah perantauan, dengan siapa kami di kampung?”.
Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ketika aku mencoba membayangkan kehidupan kami 3 beranak kedepannya. Tak tampak apapun. Semua gelap gulita, aku dan anak-anakku memasuki sebuah lorong panjang yang kelam.
“Astaghfirullahal’adziim….Astaghfirullahal’adziim”, aku tersentak dari lamunan panjang. Aku langsung sadar bahwa Aku tidak pernah sendiri. Selalu ada Allah swt yang mengiringi setiap detik kehidupanku, setiap langkah perjalananku. Bukankah aku sudah biasa berjuang dan berdo’a dalam menempuh kehidupanku. Kesusahan demi kesusahan yang kulalui telah mengajarkanku bahwa hidup adalah perjuangan. Hidup ya harus diperjuangkan, ikhtiar. Akhirnya Allah yang mempunyai kuasa atas setiap apapun.
Aku agak tenang, kulihat Arini disampingku tertidur sambil memangku Hayati yang juga tertidur. Imam masih dipangku “sipemuda baik hati” di seberang bangku duduk kami. Aku tidak tahu namanya, belum sempat berkenalan dengan pemuda itu. Ini salah satu bukti bahwa Allah selalu ada untukku. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana nasib anak-anakku, jika tidak ada pemuda itu ketika aku dan Arini mabuk.
*****
Setelah menempuh perjalanan berhari-hari dan pindah dari satu angkutan ke angkutan lainnya. Akhirnya aku, Arini dan anak-anakku sampai di kampung halamanku. Kudapati rumah gadang kami masih seperti biasa. Ada nenekku yang masih setia menunggui rumah gadang ini. Karena kami semua sudah pergi ke tanah perantauan, nenek rutin dikunjungi adik Umi yaitu bik Nur. Bik Nur tinggal dengan suami dan seorang anak laki-laki di rumahnya sendiri tidak jauh dari rumah gadang kami ini.
Di kampung kami disambut hangat oleh nenek dan bik Nur. Mereka tidak banyak bertanya, mungkin mereka kasihan denganku.
“Risma, bibik dari pasar ada beli pakaian untuk kamu dan anak-anak”, bibik berkata sambil memberikan bungkusan.
Bik Nur membelikan kami pakaian dan beberapa perlengkapan lainnya. Aku sangat bersyukur, masih ada pertolongan ditengah keterpurukan yang melandaku.
Bagaimanapun waktu akan terus berputar, tentu roda kehidupanpun terus berputar. Aku benar-benar merasa berada di titik terbawah. Aku tidak boleh cengeng, anak-anakkku butuh makan. Maka mulailah aku mencari kerja, agar ada penghasilan untuk biaya hidup sehari-hari.
Kampungku adalah daerah pertanian, penduduknya bekerja sebagai petani. Mengolah sawah, kebun dan ladang. Tentu, mau tak mau aku harus ikut arus, bekerja sebagai petani. Ya bekerja sebagai buruh tani di lahan sawah orang untuk mendapatkan upah. Suatu pekerjaan yang sudah lama tidak aku tekuni, aku tergagap mengerjakannya. Tapi aku menguatkan hatiku, dan tidak lupa berdo’a dalam setiap sujudku. “Ya Allah berikan kekuatan”. Aku harus semangat ada Hayati dan Imam yang butuh makan setiap hari. Upah yang kuperoleh dari menjadi buruh tani, memang tidak mencukupi. Tapi, alhamdulillah selalu dibantu oleh bik Nur.
*****
Setelah di kampung kucoba kembali mengurus PNS ku yang sempat kutinggalkan. Tapi entah karena memang tidak bisa atau karena aku tidak tahu caranya. Pokoknya PNSku sudah hilang. Atas saran Umi, aku mencoba kembali menjadi guru honorer. Kujalani mengajar honorerku dengan tabah dan sabar. Ketika ada tes pengangkatan guru, aku coba ikuti. Tidak lulus. Bapak dari kantor PDK (Pendidikan dan Kebudayaan) Kecamatan mengatakan, “Mungkin belum nasib, bersabarlah”.
Aku terus melaksanakan profesiku sebagai guru honorer samabil mengasuh dua anakku. Untuk mengasuh anak-anakku aku dibantu nenek dan bik Nur. Kadang-kadang Umi pulang dari rantau untuk membantuku. Waktu itu Hayati sudah 4 tahun, sekali waktu Hayati kubawa ketempatku mengajar. Bermain-main dengan murid-muridku, banyak juga rekan guru yang sayang pada Hayati.
Setahun kemudian ada panggilan untukku dan beberapa guru honorer lainnya. Untuk melengkapi bahan pengangkatan Guru PNS. Alhamdulillah, usahaku sebagai guru honorer ada ujungnya. Untuk yang kedua kalinya aku diangkat menjadi guru PNS. Untuk pengurusan bahan pengangkatan, aku dibantu oleh pak Abu Bakar pejabat PDK Kecamatan. Aku ditempatkan di Kecamatan lain, berjarak lebih kurang 50 km dari kampungku. Aku terpaksa indekost ditempatku mengajar, sementara Hayati dan Imam tinggal bersama Umi di kampung kami.(Bersambung)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Perjusngan yang berat, sudah nampak titik terang