It's a magic? ... Tergantung dari sudut mana melihatnya. Jika memang "melangkah di atas awan" seperti apa adanya, maka ini merupakan magic yang sebenarnya. Sementara jika yang terjadi adalah peristiwa seseorang melangkah di atas "awan" yang berupa gambar, maka hal ini juga riil, namun tidak ada istimewanya, karena semua orang bisa melakukannya.

Apa istimewanya jika hanya melangkahi gambar awan? ... Setiap kejadian yang ada di sekitar kita, sangatlah beragam isinya, semua tergantung dari bagaimana memandangnya.

Menyenangkan, menyedihkan, menggembirakan, menguntungkan, merugikan, menghibur, mengintimidasi, memotivasi, semua tergantung kepada cara memandangnya. Tentu saja kita tak ingin memasukkan sampah ke dalam pikiran. Sementara begitu banyak potensi sampah disekitar kita, bahkan dijejal-jejalkan ke dalam pikiran. Jika tidak bisa memilih dan memilah, maka pikiran kita bisa menjadi tempat sampah raksasa.

Sudut pandang, jika kita bisa melihat "sesuatu" dengan sudut pandang yang tepat, maka akan kita dapati "kejernihan informasi". Semakin luas cakupan sudut pandang yang bisa dilakukan, maka dengan sendirinya akan menjadi semakin mudah dalam menempatkan diri terhadap informasi tersebut.

Bahkan berita "hoak" pun bisa menjadi sebuah pengetahuan, jika menemukan sudut pandang yang pas.

Media sosial zaman now, perlu disikapi dengan bijaksana. Ia bisa menjadi baik, pun sebaliknya. Orang memotong informasi sesuai kepentingannya, kemudian menyebarkannya, ada begitu banyak bertebaran di luar sana. Dan ironinya, tak sedikit pengguna media sosial yang "asal share" tanpa memahami betul apa yang dishare, sehingga berujung pada ketidak baikan bagi dirinya sendiri.

Kenapa jadi serius begini ya? ...

Tadinya hanya ingin bercerita tentang seseorang yang awalnya sangat mengagumkan, luar biasa, karena sesumbar bisa "melangkah di atas awan". Namun kenyataannya ia melangkah di atas gambar awan. Ya gambar yang diletakkan di atas tanah, kemudian ia melangkah di atasnya.

Salahkah ia? ...

Semua berpulang kepada bagaimana memandang info tersebut. Persepsi kita yang tidak utuh, menjadikan hanya ada satu kemungkinan peristiwa yang ada, sementara kenyataannya ada beragam peristiwa yang mungkin terjadi dari info tersebut.

Kalau sudah begini, bagaimana coba. Kita harus menjadi subyek, ya menjadi subyek dari setiap informasi yang bertebaran di sekitar kita. Hak memilih informasi, ada pada kita bukan sebaliknya.

Apapun informasinya, minumnya tetap ... (biar tidak jadi iklan), tidak bisa dilakukan lagi, karena efeknya akan merugikan kita sendiri. Sepertinya tak ada pilihan lain, kita harus menjadi orang yang "waspada betul" di era sekarang. Orang terpelajar saja bisa menjadi makanan hoak, apalagi orang yang tidak "belajar" (multi tafsir).

Jangan-jangan tulisan ini pun salah satu sampah, yang tidak perlu dimasukkan ke dalam pikiran kita. Semua kembali kepada yang membaca. Karena andalah subyeknya, bukan yang membuat tulisan.

Terdengar suara kenthongan bertalu-talu, tanda petugas ronda masih eksis. Sementara itu, semua sudah tertidur, ... saatnya kurebahkan tubuh ini, memberikan haknya beristirahat.