Susilowati Susi

Bu Suzi, begitu ibu dari empat putra-putri ini disapa. Ibu yang memiliki nama lengkap Susilowati ini lahir di Banten, 06 Oktober 1973. Tak sengaja menjadi...

Selengkapnya
Navigasi Web
Selamanya Cinta

Selamanya Cinta

Selamanya Cinta

Oleh : Suzi

Hanya lampu temaram yang menerangi saat itu. Aku masih duduk terdiam di muka teras, sambil mengumpulkan cerita yang siang tadi bergulir begitu cepat , namun masih saja menyita dimensi ruang waktuku hingga aku tenggelam dalam lamunan.

“Teteh!” panggil adik bungsuku. “Ni hape teteh bunyi”. Panggilan tak terjawab muncul di ponselku. “Siapa sih Teh, malam-malam gini telpon?”Tanya adikku dengan rasa penasaran, matanya yang belo dihiasi bulu mata jentik menyorot tajam ke arahku. “Oh, itu teman kantor Teteh”. “Ikhwan apa akhwat, kan ini sudah jam sembilan lebih?”Rentetan pertanyaan adikku seperti memberondong kawanan penjahat saja, pikirku.

Ya,… Anda memang penjahat Mas Faisal, mencuri dan mencari perhatianku. Aku manusia biasa, yang bisa menilaimu sama dengan kaum hawa di manapun. Kamu laki-laki yang cerdas, sholih, disegani banyak teman, dan terkenal dengan gaya bicaramu. Ya Allah bagaiman aku harus bersikap jika harus bertemu dengannya setiap hari. Mana mungkin aku harus memasang muka masam atau jaim untuk mengekspresikan rasa tidak suka ini. Bukan benci, tapi dengan kau memberikan perhatian lebih padaku, aku jadi tidak nyaman. Bergulir lamunanku, berceloteh rasa dalam hatiku.

Detak jam dinding menjadi ilustrasi musik detak jantungku malam itu. Ingin segera ku rebahkan diri untuk rehat. Tapi mataku tak terpejam juga. Berkali-kali aku berwudhu, membasuh hati mendinginkan rasa. Perlahan, mataku merajut malam, menjemput embun pagi esok hari.

Kumandang adzan, subuh kulipat selimut hangatku. Alhamdulillah ya Rabb, kumasuki pagiMu dengan penuh syukur kepadaMu. Triiit bunyi ponselku. Muncul tulisan di layar whatsappku “ Assalmmu’alaykum Ustadzah Zahra, selamat pagi dan selamat beraktivitas”. Tanpa pikir panjang kubalas pesan whatshapp itu dengan emotikon jempol. Selang lima menit usai berpakaian dan berkemas, terdengar klakson mobil Arina yang tak asing lagi di pendengaranku. “Assalamu’alaykum, Ra. Aku tunggu yach, pagi ini kita jalan bareng dan kita sarapan bareng”. Aku hanya menjawab singkat”Ya, tunggu sebentar”.

Arina sahabatku istri dari Mas Faisal, lelaki yang sering mencuri dan mencari perhatianku serta melelehkan imanku. Ya, Allah semoga selalu terjaga. Aku dan Arina bersahabat sejak kecil, kami bersekolah di SMP dan SMA yang sama. Bahkan di perguruan tinggi pun kami mengambil jurusan yang sama pula. Teman-teman semua sudah mengenali kami, dimana ada Arina disitu ada Zahra.Awal pertemuan dengan Mas Faisal pun Arina selalu bercerita kepadaku. Hingga mereka menikah dan kini kurang lebih lima belas tahun usia pernikahannya . Tapi selama usia pernikahan itu Arina sahabatku tidak juga menampakkan kehamilan. Padahal aku melihat dari raut mereka betapa mereka rindu malaikat kecil yang menghangatkan rumah mereka. Hingga suatu saat Arina pernah bercerita kepadaku tentang kondisinya, Arina tidak bisa lagi memberikan anak untuk Mas Faisal karena ada kelainan dalam Rahimnya. Akan tetapi Arina pun tidak bisa menutupi kegundahan Mas Faisal yang merindukan momongan. Hingga pada suatu saat Arina pernah menangis dan menghambur ke dalam pangkuanku bahwa baru saja Faisal menelpon seorang wanita, dan berbicara sangat mesra sekali. Aku terhenyak, darahku mendesir hangat. Jangan-jangan Arina tahu bahwa Mas Faisal sering menelponku atau mengirimkan pesan singkat kepadaku melalui whatshapp. Dia menangis histeris dan mengulang kata-katanya “Aku tidak ridho Zahra, kalau Mas Faisal menikah lagi”. Kata-kata itu yang selalu ku ingat manakala Mas Faisal menggodaku.

“Ra, pulang ngantor mau kemana?” Tanya Arina di sela-sela merapihkan berkas-berkas kerjanya. Jam sudah menunjukkan Pk.16.45 saat itu. “Ya, langsung pulang lah. Si bungsu dan mamah menungguku untuk makan malam bersama”. Jawabku. “ Ra maaf ya, jangan marah nih kalo aku Tanya” Sambung Arina . “Mau Tanya apa?” Jawabku tanpa melirik. “Kangen ga Ra, dinanti suami atau anak di rumah, kalau kangen ayo segera cari pasangan, berani eggga pacaran. Harus berani dong, jodoh itu harus dicari, itu bagian dari ikhtiar loeh”. “ Ulas Arina sambil mengaitkan tas pada pundaknya. Aku hanya tersenyum, menyimak ulasan Arina tentang kesendirianku.”Ya sudah nanti aku kasih info ke kamu via whatshaapp saja ya, Ra?”. Tegas Arina sambil mencium kedua pipiku tanda pamitan “Oke, aku tunggu ya”. Jawabku.

Ahad yang cerah mentari bersinar cerah dengan memantulkan pijarnya masuk ke jendela kamarku. Perlahan ku putar nasyid indah kesukaanku dari grup nasyid Edcoustik yang berjudul Jalan Masih Panjang. Triit, bunyi ponsel menghela ke asyikanku saat itu. “Assalammu’alaykum Ra, aku mohon doa darimu, jam dua pagi tadi aku terbang ke Singapur, kelainan di rahimku harus segera di angkat, karena jika didiamkan akan menjalar ke yang lainnya,jika operasi berjalan lancar aku akan mengahabiskan waktuku di Singapur. Aku akan tinggal bersebelahan dengan apartemen Omku, dan Mas Faisal berjanji akan mengadopsi anak dari Indonesia. Sementara Mas Faisal akan bertugas dulu di Riau selama 2 tahun ini, sekali lagi mohon doanya , ya Ra”. Getir dan perih menyelinap di hatiku, teryata Allah membeikan ujian pada manusia dari sisi mana saja.

Dua bulan berlalu, aku tak lagi bertemu Arina di kantorku. Sementara Mas Faisal yang semula Izin ke Arina untuk bertugas di Riau semakin intens menemuiku. Benteng pertahanan hatiku jebol juga. Hingga pada suatu malam di malam Ahad Mas Faisal menemui Mamah, dan menuturkan keinginannya untuk menjadikan aku istri kedua setelah Arina. Mamah seorang muslimah yang taat syariat baginya dilamar menjadi pertama atau kedua tidaklah masalah, apalagi usiaku yang sedang merangkak tua, tiga tahun lagi usiaku genap empat puluh tahun. Maafkan aku Arina, bukan aku mendustaimu. Mas Faisal mengutarakan ini untuk menjaga dirinya dari zina, Mas Faisal mengutarakan seluruh kegundahannya selama ini, Mas Faisal merindukan manisnya kehidupan berumah tangga dengan pelayanan terbaik, kesehatan yang baik dan hadirnya seorang anak. Mas Faisal manusia biasa begitu juga aku. Bismillah. Aku menerima lamaran Mas Faisal.

Aqad pernikahan yang indah dan penuh kebahagian meskipun dalam suasana yang sederhana . Terima kasih Mas , semoga aku bisa menjagamu, dari sikap flamboyanmu, dan dari lirikan wanita-wanita nakal. Semoga dengan aku disampingmu, engkau menjadi lelaki terbaik dan imam terbaik yang akan menarik kami ke dalam surganya Allah.

Waktu berlalu begitu cepat, hinga detik kehidupan berdenyut dalam rahimku.”Mas, aku hamil” begitu teriakanku, memanggil Mas Faisal yang sedang berkemas . Mas Faisal akan bertolak ke Singapura mengunjungi Arina. Haru bahagia menyelimuti kami di pagi itu, Mas Faisal memeluk erat dan merangkul mamah serta adik bungsuku. Suka cita kami tak terbayangkan dengan kata-kata saat itu. Tiba saatnya Mas Faisal pamitan padaku “Jaga diri baik-baik Umi, Abi akan mengunjungi umi tiga bulan berikutnya, mohon ridhonya. Dan mohon doakan Arina agar segera pulih”. Begitu pinta dan izin pertama kalinya Mas Faisal kepadaku. Perih menyayat hatiku, tapi aku segera beristghfar, ini garis tangan yang Allah berikan untukku”. “Pergilah, Mas . Fii amanilah. Aku akan selalu merindukanmu, dan doaku ada dalam setiap langkah kakimu”. Ku cium tangan hangatnya, dan Mas Faisal memeluk dan mencium keningku. Yaa Rabb semoga ini bukan pelukan dan ciuman terakhirnya untukku.

Aku dalam penantian panjang, kandunganku terus membesar, jagoan Mas Faisal semakin hari semakin mendesak ingin keluar, sementara aku ingin persalinanku ditemani Mas Faisal. Tapi kenyataan berkata lain, aku melahirkan bayi laki-laki yang tampan tanpa Mas Faisal di sampingku. Hingga waktu berlalu, ratusan whatshaap terpending tanpa ceklis ataupun warna biru. Begitupun dengan panggilanku. Ada apa dengan Mas Faisal semoga baik-baik saja. “De, kita berdoa untuk abi yuk, semoga Allah selalu menjaga Abi di manapun Abi berada”. Aku tak perduli Mas Faisal membaca emailku atau tidak, ku tuliskan perkembangan hari demi hari jagoan kecil kami yang kuberinama Hibban Faisal Akmal. Kukirimkan foto dan video Hibban hari demi hari, sampai aku lelah untuk mengirimkannya.

Enam bulan usia Hibban kini, senyumnya manis sama seperti senyumnya Mas Faisal. Kami tak pernah mendapat berita. Tapi selalu kuselipkan doa setiap saat, setiap waktu.

Hujan merintik manja diakhir Desember, taxi blue bird merapat ke halamanku. Seorang wanita cantik yang sudah lama ku kenal keluar dari mobil itu. Dia memelukku dalam pelukan yang hangatnya berbeda dari pelukan sebelumnya.

Arina, kulihat mendung yang tersamarkan dari indahnya bola matamu. Arina menanyakan kabarku, ibu, dan adik bungsuku, Arina datang mengunjungiku membawa pesan Mas Faisal. Mas Faisal telah menyampaikan pada Arina tentang pernikahan kami, Arina menyadari akan kelemahan dirinya. Untuk itu dia datang ke rumahku tanpa api amarah dalam genggamannya. Terasa pahit kerongkonganku, sesak dadaku, degub jantungku seakan terhenti. Bagaimana tidak, Mas Faisal mengalami kelumpuhan karena kecelakaan yang dialaminya. Satu hal yang membuat Mas Faisal merasa hidup terus, yaitu dengan mengambil Hibban dari tanganku. Lalu bagaimana dengan diriku? Mas Faisal langsung menalakku karena kondisi kesehatannya kini, Mas Faisal mempersilakan padaku untuk menikah kembali.

Aku berjuang keras untuk menjadi muslimah yang baik dan menepati janji. Pernah kukatakan pada Mas Faisal, bahwa cinta itu tak harus memiliki. Cinta terindah manakala kita dapat memberikan kebahagian pada orang yang kita cintai. Inilah saatnya aku membuktikan cinta terbaikku padamu Mas , kubuktikan bahwa kata-kata itu bukanlah kata-kata klise.. Kuikhlaskan Hibban dan dirimu berlalu dari kehidupanku, tetapi akan selalu bersamaku dalam relung batinku, hidup dalam hatiku. Sampai cinta dan rindu ini Allah ambil dariku.

“Bagaimana Ra, setuju dengan permintaan Mas Faisal?”. Pertanyaan Arina yang tiba-tiba mengagetkanku hingga surat Mas Faisal terjatuh dari tanganku. “Aku tahu tidak mudah menerima ini, seperti halnya aku memahami kalian berdua, akan tetapi aku berusaha agar orang yang kita cintai memiliki semangat hidup”. Ungkap Arina sambil tertunduk.’Aku tak bisa menahan air mata. “Baiklah aku penuhi janjiku pada Mas Faisal akan makna cintaku kepadanya, asal izinkan aku untuk menyusui Hibban sampai selesai masa penyusuannya, ASIku akan ku kirim se steril mungkin”. Pintaku menghiba pada Arina. “Baiklah, jika itu yang terbaik”. Kata Arina.

Ya Allah aku ingin malam ini sepuluh kali lebih panjang dari malam-malam sebelumnya, aku masih ingin menyusui putraku, memeluk hangat dan mencium harum tubuh anakku. Kucium berkali-kali Hibban tampan yang terlelap dalam tidurnya. Anakku, malam ini malam terakhir kita, kamu dan Umi. Esok kau akan bertemu Abi dan akan bersama Abi selamanya. Sampaikan salam Umi untuk Abi ya Nak, sampaikan lewat senyum manismu dan tawa ceriamu. Selalu tersenyum ya Nak, jangan buat gundah hati Abi. Ku peluk dan kuciumi Hibban, ku resapi wangi kayu putih yang menempel di badannya. Hingga hari itu berganti. Kukemasi beberapa potong pakaian Hibban, ASI di botol-botol kecil yang telah kusiapkan, ku tata dengan apik agar Hibban bisa menikmati ASIku . Kutulis salam terakhir untuk orang yang aku cintai,

“Mas semoga Allah selalu menetapkanmu dalam kebaikan, ku kirim Hibban untukmu. Izinkan aku untuk mencintaimu selamanya, selamanya sampai akhir hidupku. Jaga dia dalam asuhanmu. Asuhan terbaik dan terindah yang selalu kau ceritakan padaku, meski mulai saat ini asuhan itu bukan bersama aku, syafakallahu syifaan ajilan, aku menolak talakmu Mas, biarkan aku menjadi istrimu sampai kita berdua datang kepadaNya”.

Roda mobil yang melindas kerikil halaman rumahku, melempar dan menghujam dasar hatiku. Aku menangis dibalik tirai jendela. Menyaksikan putraku yang baru enam bulan bersamaku harus berlalu dariku. Tapi aku berusaha mengenyahkan kepedihan ini, karena kepergiannya untuk bertemu Abinya, orang yang menghadirkan dia di dunia ini. Kututup jendela perlahan. Dalam hening, dalam sunyi, dan sepi yang mengigit sepanjang hari. Allahu akbar, aku tidak boleh bersedih. Batinku harus selalu sehat., agar ASI yang ku kirimkan tidak berkurang. Anakku perlu ASI. Sedapat mungkin aku harus memompanya setiap hari dan mengirimkannya ke Singapura. Dengan kesungguhan cinta jarak Bogor-Singapura adalah jarak yang pendek.

Hari kesatu, kedua dan seterusnya, ku pompa ASIku ku kirim melalui jasa pengiriman yang sudah terpercaya. Kabar balik dari Arina, bahwa ASIku sudah sampai adalah kabar kebahagiaanku. Bulan kesatu, tahun kesatu, hingga kering sudah ASIku di pengiriman untuk 2 tahun terakhir, Ya. Allah pasti Hibban sudah besar. “Rabbana hablana min ajwajina wa dzuriyatina qurrota’ayun waja’alna lil muttataqinna immama” setiap saat dalam hela napas, hingga 60 tahun usiaku kini.

Setiap yang berjiwa pasti akan mati. Berpulang kepada yang maha pencipta. Untuk semua orang, begitupun dengan Mas Faisal. TPU Blender mengharu biru, aku menahan diri untuk tidak berbaur di sana. Saat seluruh pelayat kembali pulang. Perlahan kulangkahkan kaki yang mulai ringkih ini. Kubersimpuh luruh di hadapan tanah merah yang menutup orang yang aku cintai. Dalam doa yang bersimbah air mata, kumohonkan padaMu ya Rabb, terimalah suamiku dengan cintaMu.

Selamat jalam Mas, kau pernah sematkan untaian melati putih di jilbabku, semoga harumnya mengantarkan perjalananmu. Kau bawa aku ke langit biru dengan cintamu, semoga birunya cintamu meneduhkan perjalananmu. Aku disini, dalam doa dan cinta yang tak pernah berakhir. Untukmu Selamanya.

Doaku terhenti saat ujung sepatu hitam bergerak ke arahkau dalam lirikan mataku. Langkah itu semakin dekat. Aku masih bersimpuh, dan terpaku dalam kesedihanku, andai Nabiku membolehkan sudah kepeluk gundukan tangan merah itu, hangat tubuh Mas Faisal tak pernah aku lupakan. Ujung sepatu itu mendekat dan terhenti disebelah kiriku. Perlahan kudengar suara lirih”Umi, assalammu’alaykum”. Tengadah wajahku ke arah suara itu. “ Subhanallah, kaukah Hibban anak Umi?” . Lelaki tampan berkulit putih dengan waajah mirip Mas Faisal meraih dan mencium tanganku, lalu memelukku begitu erat. Darah di tubuhku yang hampir membeku seakan mencair kembali. Berhadapan wajah kami, dalam linangan air mata kerinduan yang hamper 18 tahun tertahan. “Umi, Hibban sampaikan amanah Abi untuk Umi” Katanya, sambil mengambil kotak merah hati dari kantong kemeja kokonya.”Ini Umi dari Abi untuk Umi”. Kubuka kotak merah hati itu. Ku keluarkan isinya, untaian tasbih cantik dari butiran mutiara Lombok, dalam untaiannya tergantung kertas bertuliskan “UMI TERIMA KASIH UNTUK KESETIAN CINTA UMI, ABI TUNGGU UMI DI RUMAH ALLAH. ABI MENCITAI UMI SELAMANNYA, MAAFKAN ATAS KESALAHAN ABI”.

Ya, Allah Mas Faisal. Kuseka airmata kesedihan dan kebahagian saat itu. “Hibban, dimana Bunda Arina, Umi ingin bertemu dengannya” sambil menuntunku Hibban menjawab dengan nada yang ringan, “Bunda sudah pulang dengan suami barunya, sampai Abi meninggal beliau sudah tidak bersama kami”. Sesak sesal menendang ulu hatiku. Tapi denyut kepasrahan menyeruak batinku.

Mas, kau berpulang saat genap 20 tahun pernikahan kita. Terima kasih kau kembalikan Hibban untukku.

Serasa kau ada di sini, kurasakan wangi nafasmu, kurasakan hangat sentuhanmu. Aku menunggu hari dalam taat dan takutku padaNya, Untuk menjumpaimu. Allah penulis skenario terbaik. Aku tak bisa mendampingimu di duniaNya, semoga diakhiratNya. Karena aku cinta padamu Mas, selamanya.#

#Tanjung Priok, 30 Desember 2016

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post