Saat kupulang kampung selalu kurindukan setumpuk buku masa bersekolah dan berkuliah. Hanya dengan membukanya sejenak terobati sudah rindu mendera dengan senyuman lepas. Ya, merasa lucu saja. Era zaman itu aku menulis. Era zaman ini aku membaca. Benar-benar dua mata uang logam yang tiada terpisahkan. Hanya dua zaman itu masih begitu adanya. Berupa goresan pena di atas kertas dengan rangkaian huruf latin. Hanya juga saat itu aku masih malu menampakkannya karena takut dianggap sebelah mata.

Suatu hari juga kurindukan membaca tulisan yang sempat kukirimkan ke sebuah media. Kutiada malu lagi karena ada nilai rasa pembaca yang mengomentarinya.

Dua tahun lalu,setahun lalu, tahun ini, dan hari ini, sedikit demi sedikit rasa malu semakin tersingkir. Bahkan berbalik menjadi rasa semakin berani menggerakkan diri bebas berekspresi dalam gerakan literasi. Sudah kubuktikan bahwa "Malu adalah sebagian daripada iman" aku yakin seratus persen jikalau itu untuk hal keburukan. Itu ajaran Islam. Sebuah keyakinan yang harus kupegang. Namun malu dalam menebar kebaikan tidaklah pantas dilakukan.

Menulis adalah perjuangan menebar kebajikan. Setiap kata hati, pengalaman, pengamatan berusaha aku rangkai dalam tulisan. Kusebar dan kusemai. Hingga suatu hari ada ungkapan.

"Terima kasih, Ibu."

"Bu, lanjut. ceritanya, ya."

"Bu, lucu."

"Bu, itu kan saya."

Apa pun Ungkapan mereka sudah buat hati berarti karena hanya ini yang bisa kuberi.

SALAM LITERASI

GURU PENGGERAK

HARUS TETAP RENDAH HATI

TUK JADIKAN

PESERTA DIDIK BERPOTENSI