Ummi Royhana

Dia lahir di Jember, pada tanggal 27 Agustus 1982. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Mengukir di Atas Batu

Belajar, belajar, belajar, dan belajar. Begitu seterusnya. Sebut saja Hana. Dia merupakan salah satu mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Dia sebenarnya tidak memiliki kemampuan berbahasa Inggris. Namun, itulah kenyataannya. Kenyataan itu tidak lantas membuat pupus bagi Hana untuk mencoba ikut kegiatan menulis jurnal internasional. Pengalaman kali kedua ini disebabkan tulisan jurnalnya lolos Internasional di tahun kemarin. Boleh dibilang ketagihan. Seperti halnya gurusianer di kerajaan Majalengka yang ketagihan menulis setiap harinya. Mau lagi, mau lagi, dan mau lagi.

Kembali ke masalah si Hana. Awalnya dia coba-coba. Berkat dia ikut pelatihan menulis, baik di SaguSabu maupun lainnya, akhirnya dia memberanikan diri untuk mencobanya. Biasanya dia menulis buku solo, maupun buku antologi. Kini, dia melunjak menulis sebuah jurnal. Ketika tulisan itu selesai, mau dikemanakan tuh tulisan? Dia mulai bingung. Beruntung dia berteman dengan siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Merdeka Belajar. Berkat teman, dia diajak untuk menerbitkan jurnalnya di tingkat Nasional. Setelah terbit, bukan kepalang senengnya. Bak kejatuhan bulan di siang bolong. Kali pertama buku jurnal dipesan orang sebagai kenang-kenangan. Duh, kepo. 

Dia terus saja menulis. Entah sampai di mana tulisannya. Yang penting dia menulis tanpa henti. Suatu hari, atas saran teman dan dosennya, tulisan jurnal berikutnya diterbitkan di tingkat internasional. Dia polos dan lugu. Dia bilang apa adanya kalau tidak bisa berbahasa Inggris. Jangankan berbahasa Inggris, translate saja dia tidak tahu bagaimana bahasa Inggris yang halus dan sopan. Kebingungan itu sebenarnya wujud penyesalannya selama ini. Kenapa sewaktu dia sekolah tidak menekuni bahasa Inggris juga. Nyesel, kan tuh. Penyesalan memang tidak di depan. "Ah, tak apalah," pikirnya. Asal kedepannya tidak terulang lagi. Tidak ada kata-kata terlambat, selagi mau belajar dan mencoba. Dia bersyukur, saat mempresentasikannya tidak ada yang bertanya. Dalam hatinya bergumam, "kok tidak ada yang bertanya? Apakah mereka mengerti dengan apa yang ku maksud? Jangan-jangan, bahasa Inggris yang ku gunakan tidak menjadi kalimat yang tersusun sesuai kaidahnya. Ah, biarlah. Yang penting, tahapan itu telah ku lalui." Pertanyaan-pertanyaan itu tak hentinya diulang-ulang di benaknya. Seiring berlalunya waktu, dia sudah mulai melupakan kejadian luar biasa itu. Apa yang terjadi? Suara lantangnya hampir memecah kesunyian di pagi hari. Dia teriak sekerasnya, "alhamdulillah." Ternyata, jurnalnya dimuat di tingkat Internasional. Kabar itu didapat dari WA dosennya.

Tujuh bulan telah berlalu. Tiba-tiba, dosennya menghubungi dia lagi. "Ayo, coba lagi". Berkat pengalaman di tahun sebelumnya, dia mau mencoba. Namun, pandemik membuat hatinya galau. Dikarenakan presentasi di tahun ini dilakukan secara daring. "Duh, bagaimana ini? Pastinya banyak orang yang menonton. Bahkan, tidak menutup kemungkinan seluruh dunia. Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah terlanjut submit dan bayar." Pertanyaan itu bergulat di benaknya. Lagi, lagi, dan lagi, suami dan temannya menyemangati tanpa henti. Pasti bisa. 

Waktu pelaksanaan untuk mempresentasikan tulisan jurnalnya telah tiba. Dia memberanikan diri menggunakan bahasa Inggris untuk mempresentasikan papernya. Alhasil, pada waktu pelaksanaan dia gagal tiga kali untuk presentasi. Mengapa? Suaranya tidak kedengaran oleh pemirsa. Dia mulai panik. Dia pasrah sepenuh jiwa bila gagal. Malu tidak kepalang, saat moderator berbicara kepadanya. Mau jawab apa, coba. Artinya saja dia tidak tahu. Dia hanya bisa menjawab "yes" dan "no". Beruntung, moderatornya baik hati. Dia masih diberi kesempatan yang kali empatnya. Kali ini, dia tidak mau tahu. Apakah pemirsa mendengar suaranya atau tidak, yang penting slide jalan terus. Apa yang terjadi? Ternyata tidaklah sia-sia, dia ngomong panjang kali lebar sama dengan luas. Para pemirsa ternyata mendengarkan dengan seksama presentasinya. Ketika moderator memberikan waktu untuk bertanya kepada Hana, tak ada satu pun pertanyaan. Wah, ini berarti presentasinya jelas dan gamblang. Jadi GR. Kalau tidak, tidak mengerti apa yang diomongin oleh Hana akibat tata bahasanya yang tidak dimengerti orang. Duh, apes. 

"Ah, biarlah. Yang penting sudah berlalu dan punya pengalaman baru. Namanya saja belajar. Sepintar apapun, bila tidak berani mencoba tidaklah bisa." Ternyata dia menghibur diri. Aslinya dia malu, lho.

Hikmah yang dapat diambil dari kisah tersebut adalah, jangan berhenti belajar dan mencoba. Sehebat apapun kita, masih ada yang lebih hebat. Kita tak ubahnya sebutir debu. 

#SalamLiterasi

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Selamat ya, Bu. Semoga semakin sukses.

26 Aug
Balas

Aamiin. Terima kasih, Bunda. Begitu juga dengan Bunda Diana.

26 Aug

Semangat memang sangat dibutuhkan untuk terus maju. Salam literasi

26 Aug
Balas

Terima kasih, atas motivasinya. Salam kenal.Salam literasi.

26 Aug



search

New Post