Husain Yatmono

Husain Yatmono fb:husain.yatmono email: [email protected] Blog: http://menulisdimedia.blogspot.com http://duniapendidikanchannel.blogspot.com ...

Selengkapnya
Navigasi Web
DEMI PRESTASI, HARUSKAH CURANG?

DEMI PRESTASI, HARUSKAH CURANG?

Catatan: Husain Yatmono Pegiat Literasi

Pada suatu pagi, penulis melalui jalanan yang biasa penuh dengan pedagang kaki lima yang sedang menjajakan dagangannya. Namun pagi itu, suasana jadi hening tidak ada satu pun pedagang yang berjualan. Kalau pun ada hanya satu dua saja, itupun menempati lahan yang sempit di lorong. Usut punya usut, apa gerangan yang terjadi?

Ternyata, selama beberapa hari ini pedagang kaki lima yang biasanya manggal di jalanan diminta libur, tidak berjualan. Karena lagi ada lomba Adipura. Eng ing eng..... ternyata ini sebabnya. Ketahuan ya.

Adipura merupakan penghargaan bagi kota di Indonesia yang berhasil mengelola kebersihan dan lingkungan perkotaan. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup, tujuannya untuk menciptakan kota-kota di Indonesia menjadi bersih, teduh, dan rapi. Program ini telah berjalan sejak tahun 1986, dan sempat berhenti saat krisis 1998. Program berjalan kembali sejak tahun 2002 hingga sekarang.

Program yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara dan Lingkungan Hidup ini sangat bagus. Namun sayangnya, ada sejumlah daerah untuk meraih penghargaan sebagai kota Adipura harus melakukan kecurangan, alias hanya lip srevice saja.

Mereka menggakali dengan memerintahkan para pedagang kaki lima yang biasanya mangkal di sepanjang jalan raya untuk libur tidak berjualan selama beberapa hari. Hal ini dilakukan agar kota mereka nampak rapi, indah dan bersih sehingga meraih penghargaan kota Adipura. Lalu apa artinya penghargaan tersebut? Padahal sejatinya penghargaan di bidang kebersihan ini untuk mendidik masyarakat agar turut serta menjaga kebersihan lingkungannya.

Ketika meraihnya dengan kecurangan, penghargaan tersebut tidak ada pengaruhnya bagi masyarakat, selain hanya untuk memuaskan nafsu sang penguasa. Penguasa bangga mendapatkan penghargaan tersebut agar kota mereka tidak dicap sebagai kota kumuh. Penguasa senang mereka bisa diundang ke Istana Negara untuk menerima penghargaan, sekaligus menunjukkan kinerjanya di mata Presiden. Namun sejatinya ini hanyalah sebuah kepura-puraan, yang harus menggorbankan rakyat banyak.

Bagaimana tidak, coba pikir, biasanya pedangang kaki lima yang biasa mangkal di sepanjang jalan itu ada berapa banyak, kalikan dengan omset mereka dalam satu hari. Jika pedagang kaki lima itu diminta libur selama 4 hari, maka akan ada milyaran uang yang mengguap demi memuaskan penguasa untuk meraih Adipura. Nggak percaya, mari kita hitung. Jumlah PKL di satu kawasan 100 org x 850.000 omset perhari = 85 juta x 4 hari=340.000.000. Ini hanya satu kawasan, jika ada lima kawasan yang harus libur maka 340.000.000 x 5 = 1.700.000.000,- Demikian mahalnya ongkos yang harus dibayar untuk penghargaan Adipura.

Ketika penilaian Adipura sudah berlalu, pedagang kaki lima tersebut akan kembali berjualan di jalan sebagai mana biasanya. Hendaknya juri atau tim penilai Adipura memperhatikan skenario ini. Jika terbukti melakukan kecurangan penghargaan dicabut, diumumkan ke media. Ini sebagai sanksi sosial atas tindakan penguasa yang tidak jujur.

Mestinya pemkab itu menata, menyediakan lahan atau kawasan bagi pedagang kaki lima. Sehingga PKL itu bisa berjualan dengan tertib dan sedap di pandang mata. Di setiap sudut keramaian, di mall harus disediakan lahan untuk para pedagang ini. Mereka jika dikelola dengan baik juga merupakan aset bagi daerah. Merekalah yang menggerakkan ekonomi nyata di masyarakat. Jika mereka dikelola dengan baik kesejahteraan mereka akan meningkat, ini berarti usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat secara nyata.

Namun selama ini pedagang kaki lima itu tidak dibina, tidak dikelola, bahkan mereka diperlakukan kurang wajar. Kadang mereka harus berhadapan dengan petugas untuk membuyarkan dagangan mereka. Padahal mereka berusaha tidak pernah mendapatkan bantuan atau subsidi dari pemerintah. Mereka berusaha bertahan hidup dengan usaha mandiri, karena beratnya beban hidup yang harus mereka tanggung, mau tidak mau mereka harus kerja dipinggir jalan, karena tidak ada fasilitas yang disediakan buat mereka.

Sungguh ironis untuk meraih sebuah prestasi harus menggorbankan orang lain. Jika ingin berprestasi, bantulah orang lain sukses, maka anda juga akan sukses. Jika penguasa/pemda ingin mendapatkan penghargaan Adipura dengan benar, bantulah para PKL tersebut dengan sukses, maka anda juga akan sukses juga.

Kalau ketidak jujuran ini terus ditanamkan dalam masyarakat, dalam meraih prestasi, apa jadinya generasi kita nanti? Di sekolah diajarkan pendidikan karakter, budi pekerti. Di sekolah diajarkan: “Anak-anak, berbohong, mencuri, korupsi, itu adalah perbuatan yang tidak baik dan tidak terpuji. Kalian harus menjauhi itu karena nanti bisa berakibat pada pidana hukum dan di akherat kalian juga akan diminta pertanggung jawaban.” Namun faktanya, penguasanya mengajari tidak jujur demi meraih sebuah prestasi, pejabat menjadi tersangka korupsi.

Di sekolah tertentu, juga tidak jauh berbeda. Demi meraih predikat sebagai sekolah peraih nilai tertinggi dalam Ujian Nasional,lulus 1000 persen, melakukan kecurangan dalam menyelenggarakan ujian. Kebocoran soal, beredarnya kunci jawaban, dan skenario lainnya demi meraih sebuah prestasi.

Apakah demikian cara kita pengajarkan kepada generasi bahwa untuk meraih prestasi itu, harus melakukan segala hal, meski itu sebuah kecurangan, sebuah kebohongan. Lalu apa arti prestasi itu. Pendidikan karakter yang diajarkan di sekolah tidak akan ada hasilnya, melainkan hanya sebuah himbauan saja.

Kalau seperti ini, bagaimana kita bisa mengajarkan kejujuran pada anak didik, pada generasi kita? Bukankah pendidikan karakter itu perlu keteladanan? Keteladanan dari semua pihak baik penguasa, pejabat atau pendidik. Beliau-beliau itulah dalam kaca mata anak didik orang terhormat, yang layak dihormati.

Namun akan menjadi tanda tanya bagi anak didik, jika perilaku orang terhormat tersebut tidak sama dengan apa yang mereka dapatkan dibangku sekolah. Di bangku sekolah itulah kita mendidik generasi, menempa generasi agar tidak ada lagi dusta diantara kita. Lagi-lagi sebuah kebohongan, ketidak jujuran kita tanamkan pada anak didik, pada generasi. Kita harus putus mata rantai ini pada generasi kita. Cukuplah generasi yang sudah udzur ini yang mengalaminya. Selanjutnya marilah kita berikan keteladan yang baik dalam meraih prestasi. Berprestasi itu harus tapi harus juga ditempuh dengan cara yang baik, cara yang fair. Tidak mengajarkan menghalalkan segala cara demi meraih prestasi. Bantulah orang lain sukses, jika anda ingin sukses. Kebaikan maupun keburukan sekecil apapun yang kita kerjakan, akan kembali kepada kita. Apa artinya prestasi, jika justru menjerumuskan kita di akherat kelak. #IndonesiaMoveUp

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post