Judul tulisan ini, terinspirasi ketika saya membaca tulisan "teman" pada wag Rumah virus literasi. Teman dalam tanda kutip. Bagi saya rasanya tak pantas menganggapnya begitu. Saya berada di wag dengannya bisa jadi hanyalah kebetulan. Berangkat dari keinginan untuk bisa menulis, istiqomah menulis yang pada akhirnya mempertemukan dalam satu wadah RVL.

Dia adalah Dr. Ngainun Naim (Dosen IAIN Blitar ). Bagian dari deretan senior seperti Muh choiri ( Dosen Unesa), OM Jay (wijaya Kusuma Guru Lab school Jakarta) serta para senior lain yang melalui tulisannya selalu menggugah, memberikan spirit literasi kepada penulis pemula.

Seperti tulisannya yang diposting 29 Juni lalu, Plong tulisan sederhana ini memantik saya menulis tentang Plong versi saya. Ada apa dengan plong yang beliau tulis?

Menurutnya menulis itu adalah perjuangan. Perjuangan bagaimana sesorang berproses menghasilkan tulisan. Ada kisah inspiratif yang dicontohkan. Seorang kawaannya konon untuk menghasilkan buku, terlebih dahulu ia menuliskannya di buku tulis. Katanya tak punya labtop dan laptop jadulnya rusak. Tulisan yang ditulis di buku tulis kemudian diketik di rental. Lalu dikirim ke penerbit.

Aneh bukan hari gini tak punya alat tulis modern. Ait tunggu dulu Anda pasti dibuat berdecak kagum dari buah perjuangannya, sudah ada 23 judul buku yang dihasilkannya.

Siapa yang aneh semestinya?

Yang lebih aneh itu seharusnya saya, atau mungkin juga Anda, fasilitas modern dan canggih punya tapi tidak menghasilkan tulisan.

Oleh karenanya mengapa dikatakan bahwa menulis itu adalah perjuangan. Menulis itu hanya bisa dilakukan oleh sebagian kecil saja dari manusia. Tidak semua orang bisa "menulis"

Bagi pemula (saya) untuk menghasilkan tulisan perlu perjuangan yang tak biasa, sangat luarbiasa. Saya harus berjuang melawan rasa takut, malu, tidak PD. Takut kalau tulisan jelek, akan dicemooh, malu tulisan tidak bermutu, malu tak ada yang membaca, merasa yang ditulis tak ada manfaatnya dll.

Perjuangan menulis inipun masih terus berlanjut, saya harus bisa menyisihkan waktu disela kesibukan atau sering menggunakan waktu istirahat malam. Disaat orang orang sekitar pada terlelep dengan mimpinya saya sering masih "mellek" an.

Benar saja ketika tulisan jadi maka plong rasanya. Ada bahagia di jiwa.

Pada level selanjutnya, saat diri dilatih menulis tiap hari dan menulis harus posting di blog. Perjuangan menulispun bertambah panjang. Apalagi mereka yang ingin menaklukan tantangan, menulis tiap hari tanpa jeda 30,60,90 bahkan 365 hari.

Tak sedikit dari mereka yang jiwanya terguncang gegara signal menghadang. Tak jarang mereka terjengkang dan mengulang.

Bahagianya kembali memancar saat postingan tanpa gagal.

Plong!

Salam literasi

Bondowoso, 1 Juli 2020

Penulis : Husnul Hafifah