Ibnu Rusdi Handono

Lahir di desa Pajaran, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, pada tanggal 25 Juli 1969. Lulus SDN Genengwaru Rembang th 1981, SMPN 1 Gondang Wetan P...

Selengkapnya
Navigasi Web
BADUT

BADUT

Taman Kota

Ahad di taman kota, langit cerah. Akhir pekan September ceria. Matahari telah naik sepenggalah. Hangat. Awan tipis bergelantungan menyebar seputih kapuk, bagai ornamen dalam hamparan lazuardi biru. Sejuk angin semilir menelusur relung-relung pagi, di bawah rindang pokok-pokok trembesi. Bunga putih dan merah muda menyeruak diantara rimbun dedaunan, bagai mozaik indah bersepadan. Kerumunan kecil warga kota dalam aneka warna menyebar di setiap sisi penjuru taman. Di bawah pepohonan taman yang rindang, mereka bercengkerama suka-suka. Beragam warna baju mereka, menyuguhkan panorama nan indah, mozaik kehidupan ceria dalam berkah.

Di sudut barat seberang masjid, beberapa orang dewasa dan anak-anak berkerumun mengitari atraksi topeng monyet. Seorang bapak menggendong seorang anak gadis kecil, berdiri terpaku memandang seorang lelaki tua di tengah kerumunan. Laki-laki berbadan kurus, kulit gelapnya kontras dengan kaos putih lengan pendek yang tampak lumer oleh peluh. Kedua matanya cekung di bawah alis runduk beruban. Sorot matanya tampak memudar dalam bayang topi laken lusuh. Topi laken hitam menutupi rambut putih. Ada sebintik tahi lalat di dagunya, tepat di tengah. Pak Tua, demikian anak-anak memanggilnya. Namun demikian, kedua tangannya masih terampil memainkan seperangkat tetabuhan. Satu kendang butut, kulit kendang yang sudah aus selingkar sisi-sisinya. Dua kaleng biskuit bekas beda ukuran dan keprek terbuat dari rangkaian lempeng logam.

Di samping Pak Tua, duduk seekor monyet jantan yang masih belia. Matanya gesit mengerling para penonton. Sesekali dahinya mengernyit, tampak genit. Joss, Pak Tua menyebutnya. Si Joss terlatih dan terampil mempertontonkan adegan-adegan layaknya manusia. Ia bisa bersepeda, memikul beban, memanjat tiang, mengambil barang atau aksi-aksi jenaka lainnya. Dan yang terpenting bagi Pak Tua, Joss piawai mengumpulkan uang receh dari para penonton.

“Tam…pung…plak…,tam…pung…plak…plak…,preeeng….” Bunyi tetabuhan berirama, mengiringi gerak si monyet sesuai perintah Pak Tua. Sesekali, Pak Tua menghentak rantai pengikat ketika si Joss tidak tanggap perintahnya.

“Joss…, angkat tangan…, hormat penonton.” Suara parau Pak Tua menyeruak diantara suara-suara girang anak-anak. Ditariknya rantai pelan dan Si Joss melakukan tabik penonton sambil melengos.

“Loh, sopanlah Joss….” Ditariknya rantai, Si Joss bergerak berkeliling satu putaran dan sesekali mendekati penonton. Seorang ibu berjingkat mundur, sembari meraih anak kecilnya yang terbengong. Anak-anak lain bersuara gaduh, tertawa bahkan menjerit kecil. Si Joss trengginas dalam kendali tangan terampil Pak Tua yang tangkas.

Dari pintu utara, seorang badut berjalan menenteng perangkat pemutar lagu. Berdandan warna menyolok. Badan kecilnya dalam balutan kaos putih dan rok hitam selutut. Kaki kurusnya dibalut legging hitam. Kedua telapak kakinya membenam dalam sepasang sandal jepit bermotif buah semangka selingkuh, kanan merah kiri kuning. Rambut ekor kudanya merah, menyembul bagai rambut jagung. Wajahnya bersembunyi di balik topeng lateks putih. Topeng seorang wanita.

Pengamen berpakaian badut, berjoget berlenggak-lenggok monoton mengikuti lantunan lagu dangdut koplo, jaran goyang…semar mesem. Tanpa ekspresi, tak peduli apapun tanggapan orang-orang.Si badut berkeliling mendatangi setiap kerumunan di seluruh penjuru taman. Satu dua orang yang tersentuh, mengulurkan uang receh kedalam kantong lusuh bungkus ‘potatoes snack’.

Setelah berterimakasih, ia bergegas pergi. Langkahnya goyah, kemana saja menuruti naluri.Tetapi, ketika sampai di arena Pak Tua, Si Badut berdiri sejenak memandangi kerumunan seakan berhitung. Ia matikan pemutar musiknya, memperhatikan aksi si Joss dan Pak Tua. Pak Tua merespon dengan anggukan kecil, Si Badut beringsut menjauh. Pak Tua hela nafas panjang, sambil terus beraksi pandangannya mengikuti kepergian Si Badut.

Si Joss melepas topeng. Ia bergerak berkeliling sambil angkat tangan kanan, sementara tangan kiri menenteng topeng. Itulah aksi pamungkas si topeng monyet dari pagi hingga menjelang duhur di taman itu. Penonton puas, merasa terhibur dan mengulurkan uang receh seihlasnya. Mereka hatur apresiasi, berbagi tanpa ribet oleh opini atraksi atau eksploitasi. Pak Tua membuka topi, merunduk hatur syukur dan berkeliling menjemput rizki hari ini.

“Terima kasih..., terima kasih. Alhamdulillah….” Ucap pamungkas Pak Tua.

Kerumunan pun bubar, Pak Tua bergegas berkemas. Si Joss duduk menikmati seikat kacang rebus. Tepat saat azan shalat duhur berkumandang, mereka keluar taman dari pintu barat arah masjid.

RSUD

Senin pagi, ruang tunggu RSUD penuh oleh orang-orang yang sedang antri. Kursi-kursi panjang berjajar enam baris di depan beranda loket, masing-masing baris terisi penuh dua puluh empat orang. Terdapat empat loket berjajar, bahkan masih banyak pendaftar yang berdiri menyebar merata dalam ruang ini. Mereka harus mengikuti mekanisme layanan yang menuntut kesabaran dan daya tahan. Mereka berdiri berbaris mengular, beringsut selangkah demi selangkah menuju loket ambil nomor antrian. Setelah memperoleh nomor urut, sekali lagi mereka menunggu dalam antrian untuk pendaftaran layanan melalui portal umum atau BPJS Kesehatan. Selesai proses pendaftaran, mereka harus antri lagi untuk mendapat layanan medis dari klinik-klinik yang tersedia.

Di antara kerumunan pengantri, berdiri seorang lelaki muda di belakang deretan kursi. Tatapannya tertuju pada seorang lelaki tua di depannya. Ia duduk berdampingan dengan seorang gadis belia. Lelaki itu berambut putih, alis putih, ada tahi lalat di tengah dagu. Gadis berambut merah, wajah ayunya tampak kuyu. Rambut tipisnya, diikat ekor kuda dengan karet gelang warna warni. Tangan kanannya membawa kartu berobat, sementara tangan kiri memegang kantong kemih. Kateter.

“Capek, pak.” Suaranya lirih, tangan kiri menurunkan kantong kateter di lantai. Meringis kecil, meluruskan selang lalu bersandar ke bahu bapaknya.

“Sabar…, sebentar lagi.” Bapak itu mengelus rambut anaknya. Matanya menatap layar monitor, 047 tertera dengan lampu led merah.

“Nomor antrian empat puluh tujuh, menuju loket satu.”

Suara itu menggugah semangatnya. Jam dinding menunjukkan angka sembilan lima belas.

Lelaki muda bergegas menempati tempat duduk yang kosong, di sebelah lelaki tua itu.

“Assalamualaikum. Permisi, pak.” Tersenyum, mengulurkan tangan menyebut nama.

“Salim, Gempeng. Bapak dari mana?” Sapanya ramah.

“Ahmad, saya dari Karadenan .” Sekilas memandang layar monitor.

“Nomor berapa, pak?” Salim mulai menelisik.

“Lima puluh empat. Masih tujuh lagi.” Jawabnya menyirat semangat.

“Sebentar lagi, pak. Kalau saya seratus sebelas.” Salim tertawa kecil, selonjorkan kaki. Pandangannya tertumbuk pada kateter di lantai. Tawanya seketika terhenti, tercekat melihat derita anak pak Ahmad.

“Urinologi, batu. Rawat jalan, ini yang ke empat.” Jelas pak Ahmad, seolah paham ‘kepo’ batin Salim.

Salim terdiam, pandangannya menerawang. Berkelebat dalam ingatannya, Pak Tua, topeng monyet dan badut pengamen di taman kota. Saat itu, ia bersama anak perempuannya larut dalam keceriaan atraksi topeng monyet. Bahkan, ia sempat meminta si badut memutar tiga lagu sambil berjoget. Sepuluh ribu rupiah, si badut menerima pemberian Salim tanpa ekspresi. Salim tersenyum kecil, mengenang ceria anaknya.

“Nomor antrian lima puluh empat, menuju loket tiga.” Pak Ahmad bangkit dari duduknya. Salim tersadar dari lamunan.

“Ini antri sejak jam enam, belum antri di klinik nanti.” Pak Ahmad berpamitan. Gadis kecil itu mengikuti sambil menenteng kateter.

Salim mengikuti langkah mereka, tak terasa matanya merambang. Ia tengadahkan wajah, agar air mata tidak menetes jatuh. Ia masih duduk menunggu, sabar menanti giliran. Sementara, anak perempuannya tergolek di ruang isolasi UGD. Menunggu layanan rawat inap.

Derap jarum jam di dinding, angka-angka di layar monitor bergeming. Satu dua pengantri menguap, gelisah, bahkan beberapa dari mereka mulai gerah. Kontradiktif, ada petugas ribet dengan gadget bahkan ada yang sedang ngobrol asik.

Klinik Urinologi

Beberapa pasien duduk di deretan kursi-kursi panjang. Kursi-kursi roda berisi pasien manula. Ranjang beroda menopang tubuh-tubuh ringkih. Wajah-wajah pilu kuyu, sedih menahan ngilu dan perih. Jarum jam di angka sepuluh. Ruang tunggu klinik bedah dan urologi semakin penuh. Tiada riuh, tanpa gaduh.

“Bapak Kadir, Rombo Kulon, urinologi.” Suara panggilan pertama dari petugas wanita.

Seorang bapak masuk ruang pemeriksaan. Ukur tensi dan timbang badan. Keluar membawa map berkas dan nomor antrian. Antri menunggu layanan dokter, yang kebetulan hari ini terlambat datang.

Bapak Ahmad dan anak gadisnya duduk di kursi barisan terdepan. Pak Ahmad memegang erat map putih bertuliskan BPJS KD. Mereka menunggu hampir sejam, di depan pintu masuk ruang dokter. Pintu terbuka, seorang ibu berkursi roda keluar. Pak Ahmad dan anaknya bergegas masuk. Pintu ditutup.

“Selamat siang, Pak.” Dokter menyapa ramah. Pak Ahmad tersenyum, menyerahkan map.

“Naik, Dik. Saya periksa.” Gadis Pak Ahmad menuju ranjang.

“Selesai.” Dokter selesai memeriksanya, kembali ke kursi mengambil telepon genggam.

Pak Ahmad duduk menghadap dokter. Anak gadisnya sibuk dengan kateter yang diganti baru. Menunggu dokter selesai dengan urusannya.

“Senin depan, operasi. Siap ya, pak?” Dokter memberi keputusan.

“Ya, Dokter. Terima kasih.” Pak Ahmad tak mampu berkata lebih dari itu.

Sepuluh menit bersama dokter, Pak Ahmad dan anaknya keluar. Mereka masuk ke ruang pemeriksaan seperti semula, mengembalikan map dan memperoleh resep obat yang harus mereka ambil di apotik RSUD.

Di apotik sudah banyak orang yang menunggu layanan pengambilan obat. Mereka adalah para pendamping pasien. Sebagian besar pasien sudah pulang, sebab terlalu menyiksa bagi mereka yang sudah mengantri berjam-jam menunggu layanan medis jika harus antri selama dua jam lagi sekedar untuk ambil obat.

Tapi, tidak ada pilihan lain bagi anak gadis Pak Ahmad, ia harus ikut antri. Karena, Pak Ahmad hanya datang berdua bersama anaknya. Jadi, tidaklah mungkin ia mengantarkan anaknya pulang terlebih dahulu, lalu kembali ke RSUD untuk mengambil obat. Mereka harus berjuang seharian, berangkat dari rumah jam enam pagi. Dua jam antri untuk memperoleh nomor pendaftaran, dua jam menunggu untuk urusan administrasi, dua jam antri untuk layanan medis klinik, dan dua jam antri pengambilan obat.

Rembang, di ambang batas, Januari 18

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post