Icha Hariani Susanti

Icha adalah alumni Unesa yang sekarang menjadi guru bahasa Inggris di SMPN 4 Bojonegoro. Sebelumnya, selama belasan tahun dia pernah mrngabdi di SMPN 2 Kedungad...

Selengkapnya
Navigasi Web
Dia yang Kupanggil Herman
Dirrafalways Roses

Dia yang Kupanggil Herman

Namanya Hermansyah. Biasa dipanggil Herman. Baru duduk di kelas VIII. Perawakannya kurus, tidak terlalu tinggi tetapi tidak pendek juga. Sedang-sedang saja. Wajahnya pun biasa saja. Khas abege di desa itu. Sikapnya-lah yang sangat istimewa. Tengil. Benar-benar tengil. Hampir tiap hari bikin masalah dengan guru. Datang terlambat, tidak mau mengerjakan tugas, berkelahi dan segudang keonaran lainnya kerap dia lakukan. Jika ditegur atau dingatkan, dia akan menantang berlagak sok jagoan, meski kemudian akan terdiam jika kami mulai sedikit keras kepadanya. Keras? Ya, kadang-kadang beberapa guru memang bersikap agak keras padanya, tak terkecuali aku. Kami benar-benar tidak tahan dengan ketengilannya.

Saking tidak tahannya, para guru menggelar ‘rapat’ pada saat jam istirahat. Sebenarnya bukan rapat formal sih, lebih ke arah rerasan, mengeluhkan sikap Herman yang makin hari tidak bertambah baik. Akhirnya, beberapa guru sampai pada kesepakatan “Lebih baik dia dikeluarkan dari sekolah saja. Biar tidak menjadi virus untuk siswa-siswa yang lain.”

What??? Dikeluarkan dari sekolah ini? Tidak!!! aku tersentak kaget dengan keputusan teman-temanku. Sebenarnya aku bisa menyadari sikap teman-teman. Aku pun sering dibuat uring-uringan oleh ulah Herman. Tapi, dikeluarkan dari sekolah? Aku sungguh tidak setuju. Kasihan dia. Aku yakin, kalau sampai keluar dari SMP ini, dia pasti akan semakin liar di luar sana. Bergaul dengan anak-anak nakal, tidak ada yang mengarahkan. Satu lagi generasi bangsa hancur, begitu pikirku. Segera aku datangi pak Antok, wakasekku. Beliau orangnya bijak dan lumayan dekat dengan anak-anak. Sampai di ruangannya, aku pun mencecarnya dengan bermacam-macam pertanyaan. Pembelaan terhadap Herman.

“Pak, bagaimana mungkin kalian punya keputusan seperti itu? Selama ini, sudahkah kita berlaku lembut kepadanya? Yang aku lihat, semua orang berlaku kasar kepadanya, termasuk aku. Bahkan BK pun begitu. Kalau kita’buang’ dia, akan jadi apa dia di luar sana?” aku hampir tidak bisa menahan emosiku. Setitik air menyembul di ujung mataku.

“Bu Icha tahu sendiri kan, selama ini dia memang sudah keterlaluan. Tidak mempan diberi jurus apapun. Bahkan orang tuanya, ketika aku datangi terkesan menutup-nutupi kenalakan anaknya. Entah kenapa. Mungkin, keinginan teman-teman itu bisa menjadi keputusan terbaik buat kita semua” jelas pak Antok dengan bijak.

“Setidaknya, beri dia kesempatan Pak. Elus dia, hal yang selama ini belum pernah kita lakukan” bantahku.

“Sulit Bu, sulit....” keluh pak Antok.

“Tapi....” Ah, sudahlah. Aku tidak jadi melanjutkan bantahanku. Percuma saja. Segalanya pasti sia-sia. Biarlah diam-diam aku coba cari cara untuk ‘menyelamatkan’ anak itu.

Hari berlalu. Kesibukanku sebagai urusan kurikulum, menyiapkan berbagai ujian untuk kelas IX, membuatku sejenak melupakan Herman. Pun begitu teman-temanku. Siswa kelas VII dan VIII harus libur beberapa kali karena adanya ujian ini dan itu untuk siswa kelas IX. Untuk sementara, rekan-rekan guru terbebas dari ulah Herman. Hingga tibalah hari itu. Hari ketika siswa kelas VII dan VIII masuk agak siang karena paginya ruangan dipakai try out kakak mereka. Pagi itu aku ke kantin pak Yanto. Ada beberapa siswa kelas VIII kumpul di situ. Kantin pak Yanto memang menjadi tempat favorit untuk kongkow, terutama bagi siswa putra yang agak bandel. Aku lihat Herman ada di antara mereka. Sejenak kami bercanda di kantin, hingga akhirnya aku putuskan untuk membawa Herman ‘mojok’.

“Ikut bu Icha, yukk” aku gandeng tangan Herman menuju salah satu sudut mushola, tak jauh dari kantin. Dan di sinilah mulai mengalir kisah itu.

Hermansyah, yang biasa aku panggil Herman, abege yang belum genap 14 tahun, setiap malam harus bekerja membantu keluarga. Jam 12 malam, ketika semua temannya, bahkan gurunya tengah lelap di peraduan, dia dipaksa bangun oleh keadaan. Setiap hari mulai tengah malam, dia bekerja di kandang ayam. Memberi makan ribuan ayam bersama ibu dan kakak lelakinya. Bukan ayamnya sendiri, melainkan milik seorang juragan kaya raya yang mempekerjakan keluarganya dengan paket gaji 2,5 juta. Menurutnya, tiap bulan dia hanya menerima Rp 50.000 dari hasil jerih payahnya. Sisanya dia biarkan dibawa ibunya, untuk kebutuhan hidup seluruh keluarga. Usai menyiapkan pakan ayam, dia tidur di sekitar kandang hingga subuh menjelang. Bau? Tentu saja. Tidur di kandang dengan ribuan ayam, mana mungkin tidak bau? Tapi sepertinya bau busuk kotoran ayam tidak berhasil mengintimidasinya. Hidungnya sudah kebal. Adzan subuh belum berkumandang, dia sudah terbangun. Kali ini kegiatannya adalah membersihkan semua kotoran ayam. Pagi, ketika matahari mulai menyapa, dengan terkantuk-kantuk dia pulang ke rumah. Mandi dan bersiap ke sekolah. ternyata itu yang menyebabkan dia sering terlambat datang ke sekolah. Hal yang selama ini alpha dari pantauan kami semua.

Jantungku berdegup kencang mendengar kisahnya. Awalnya aku agak tidak percaya dengan semua ceritanya. Aku anggap itu hanya bualannya. Tapi setelah aku cecar dengan berbagai pertanyaan, hatiku mulai gundah. Mungkinkah dia memang cerita keadaan yang sebenarnya? Herman pun melanjutkan kisahnya. Meski lelah tapi dia bahagia. Dia suka dengan pekerjaannya, terutama ketika masa ‘ngunduh’. Ngunduh adalah istilah yang mereka gunakan ketika ayam-ayam peliharaan mereka sudah besar dan siap jual. Ayam-ayam itu akan dibawal oleh para ‘bakul’ ke pasar. Dan ternyata Herman sangat bahagia melihat hasil kerja kerasnya: ayam yang gemuk dan sehat.

“Ya Allah, ampuni hamba” rintihku dalam hati. Selama ini aku hanya bisa marah dan marah menghadapinya. Tanpa aku pernah bertanya apa permasalahannya. Dan kini, kenyataan yang aku dengar sungguh membuat hatiku pedih. Dia bahkan setahun lebih muda dari anak sulungku, tapi harus menanggung beban seperti itu.

Kuusap kepalanya dan mulai kudendangkan nasehat indah untuknya. Kukatakan padanya, apapun keadaannya, harus tetap disyukuri. Di luar sana masih banyak saudara-saudara yang hidupnya lebih merana darinya. “Setidaknya kamu masih punya orang tua lengkap yang bisa menjaga dan membelamu. Di sana, nun jauh di sana, masih banyak saudara-saudaramu yang terpaksa menjadi yatim, piatu bahkan yatim piatu.”

“Kamu bilang, kamu bahagia ketika ‘ngunduh’. Setelah kerja kerasmu selama berbulan-bulan memberikan hasil, ayam-ayam yang gemuk dan sehat. Begitu juga sekolah, Le. Kalau selama masa sekolah kamu harus berpayah-payah, mematuhi segala aturan, itu tak ada bedanya dengan jerih payahmu memelihara ayam. Suatu ketika, kamu juga akan ‘nguduh’ hasil sekolah. Lulus ujian, menjadi orang sukses. Kalau kamu bahagia dengan pekerjaanmu, itu bagus. Mulai sekarang jadikan itu sebagai tujuan masa depanmu. Bukan untuk menjadi pengabdi selamanya. Tapi suatu ketika, kamu harus bisa ada di posisi itu, menjadi juragan, seperti juraganmu saat ini. Tak apa, kalau kamu merasa tidak mampu dengan semua pelajaran yang kami berikan. Setidaknya, perbaiki sikapmu. Berusahalah menjadi anak yang patuh. Kerjakan tugas sebisamu. Insya Allah, kami para guru, terutama bu Icha akan selalu mendukungmu” ucapku sambil mengelus lembut rambutnya. Dia terpekur mendengar kata-kataku.

Akupun melanjutkan kalimatku. “Berjanjilah, suatu ketika kamu akan sukses. Bu Icha pernah dengar kisah tentang seorang pengusaha yang menjadi pemasok ayam untuk resto cepat saji macam McD atau KFC. Ternyata, dia memulai dari memelihara sepasang ayam di halaman rumah. Berkat ketelaten istrinya, semakin hari ayam mereka berkembang menjadi lima, sepuluh, lima belas hingga akhirnya mereka memiliki ribuan ayam. Kamu sudah punya ilmu dari merawat ayam juraganmu. Suatu ketika nanti, setelah lulus SMA rintis usahamu sendiri. Kamu bisa memulai sejak sekarang. Kamu tabung uang yang kamu dapat setiap bulan. Tho, kamu setiap hari sudah dapat uang saku dari ibumu, kan?” Herman mengangguk saja.

Masih aku lanjutkan nasihatku. “Simpan uang itu. Suatu ketika, jika sudah cukup, buatlah kandang, belilah ayam dan peliharalah di rumah. Dengan ilmu yang kamu punya, bu Icha harap suatu ketika kamu bisa sukses. Bagaimana?”

“Siap, Bu. Saya akan ikuti anjuran bu Icha” senyumnya merekah, matanya berbinar cerah.

“Mari kita buat janji. Sepuluh tahun dari sekarang, bu Icha ingin kamu datang ke sini menemui bu Icha. Atau jika bu Icha sudah pindah, carilah alamat ibu. Bukan sebagai Herman si anak bandel, tapi sebagai Herman yang sukses. Tidak usah kau bawa apa-apa untuk ibu. Beri saja ibu kebanggaan. Melihatmu sukses, ibu akan sangat bangga dan bahagia.”

“Saya janji, 10 tahun dari sekarang, bu Icha akan melihat saya sukses” janjinya sembari mencium tanganku lama sekali. Hatiku basah. Tidak pernah dia berbuat seperti ini sebelumnya. Aku elus kepalanya sekali lagi untuk kemudian membiarkannya pergi. Kutatap punggungnya yang semakin menjauh sembari kulantunkan doa terbaik jauh di lubuk hati. Semoga Allah melunakkan hatinya dan memberi masa depan cerah untuknya. Entah apa yang akan terjadi esok hari atau bahkan sepuluh tahun lagi. Wallahu a’lam. Semoga kebaikan selalu menemani langkahnya, langkah seorang abege tengil yang biasa aku panggil Herman.

Bojonegoro, 12 April 2017

Pk. 21.15 WIB

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ini pelajaran bagiku...

13 Apr
Balas

Coach icha sdh nunggu hlo ya... Kpn setor tugas....

13 Apr

Bikin mewek

13 Apr
Balas

Cup cup cup...ustadzah...

13 Apr

Herman oh herman...keren cerpennya .

13 Apr
Balas

Terimakasih sudah mampir bu Dati....

13 Apr

Pagi-pagi, baca cerpen yang bikin mbrebes mili.

13 Apr
Balas

cerpen yang apik. salam

13 Apr
Balas

Waalaikumsalam. Salam kenal juga.

13 Apr

Cerpennya bagus banget. Top .

13 Apr
Balas

Ibu guru Icha........ is OK........ bisa membawa herman jadi pengusaha Ayam yg sukses

13 Apr
Balas

Aamiin... Ya robbal alamin.

13 Apr

Ibu guru Icha........ is OK........ bisa membawa herman jadi pengusaha Ayam yg sukses

13 Apr
Balas



search

New Post