Icha Hariani Susanti

Icha adalah alumni Unesa yang sekarang menjadi guru bahasa Inggris di SMPN 4 Bojonegoro. Sebelumnya, selama belasan tahun dia pernah mrngabdi di SMPN 2 Kedungad...

Selengkapnya
Navigasi Web
M U T I K
@kartun.muslimah

M U T I K

Namanya Mutia Nuraini, tapi teman-teman dan orang-orang sekitarnya lebih suka memanggilnya dengan sebutan Mutik, mungkin karena tubuhnya yang cilik mentik. Dia seorang gadis kecil yang manis berusia 12 tahun, duduk di kelas VI sebuah SD Negeri di kawasan Gembong. Tapi jika orang melihat postur tubuhnya yang ceking dan kurus, mereka akan mengira kalau Mutik baru berumur 10 tahun. Sebenarnya Mutik punya wajah yang cantik, sayangnya wajah cantiknya seolah tertutup dengan penampilannya yang kurus kering dan agak kurang terawat. Biarpun begitu, Mutik anak yang sangat lincah dan ceria.

Ibunya, Nur Salamah sebenarnya juga seorang wanita yang cantik berkulit putih dan berambut panjang dan hitam. Tapi sama seperti Mutik, kecantikannya itu tenggelam dalam kemiskinan dan kesusahan hidup, sehingga dia nampak beberapa tahun lebih tua dari usia sebenarnya. Sehari-hari Nur Salamah bekerja membuat gorengan -pisang goreng, tahu isi, ote-ote- untuk dititipkan di warung-warung. Siangnya dia bekerja menjadi buruh cuci dan setrika. Itupun jika ada keluarga yang membutuhkan tenaganya. Hasil dari dia bekerja dia gunakan untuk menghidupi tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil.

Nur Salamah dan Mutik serta dua orang adiknya tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di wilayah Gembong, sebuah perkampungan kumuh dan padat penduduk yang terletak di seberang sungai Kalianyar. Mereka berhimpitan-himpitan tinggal di sepetak rumah karena hanya sebatas itu kemampuan mereka mengontrak rumah. Ini semua disebabkan Naryo, suami Nur Salamah yang juga ayah Mutik dan adik-adiknya, adalah seorang pemalas. Tiap hari kerjanya hanya berjudi dan mabuk-mabukan. Sesekali dia bekerja menarik becak, tapi hasil dari menarik becak pun dia habiskan di meja judi atau membeli minuman keras. Jika pulang dalam keadaan setengah mabuk, tak jarang Naryo marah-marah atau bahkan memukul istri dan anak-anaknya. Jika sudah begitu, Mutik langsung kabur, bersembunyi di rumah tetangganya, takut kena bogem ayahnya. Ibunya hanya bisa menangis sambil mengelus dada melihat keadaan ini.

Mutik anak yang tabah. Meski hidup dalam kemiskinan dan punya ayah yang sangat tidak bertanggung jawab, dia tidak pernah mengeluh atau meratapi nasib. Dia selalu optimis dengan cita-citanya. Dia ingin sekolah setinggi-tingginya. Dia selalu mengagumi mbak Kartika, tetangga sebelah rumahnya yang sering menyelamatkan dia dari amukan ayahnya. Dia ingin sekolah di kampus seperti mbak Kartika. Hal itu pernah dia ungkapkan pada ibunya.

“Bu, sehabis SD ini aku ingin masuk SMP 8 yang dekat rumah kita. Biar aku bisa jalan kaki ke sekolah jadi aku nggak perlu keluar ongkos buat naik angkot. Nanti setelah SMP aku mau masuk ke SMA 7 yang dekat rumah juga, dan setelah itu aku mau sekolah di kampus seperti mbak Kartika” ucapnya lugu setengah berkhayal pada sang ibu di suatu sore ketika mereka sedang duduk santai.

Nur Salamah tercenung dalam diam mendengar cita-cita sederhana anaknya. Ketika anak-anak lain punya cita-cita muluk untuk bisa masuk SMP 1 atau 6, Mutik, anaknya yang sebenarnya sangat cerdas itu hanya memilih SMP 8 agar ibunya nggak harus banyak keluar ongkos. Pedih hatinya mengingat itu semua. Jauh di lubuk hatinya dia ingin sekali Mutik bisa sekolah setinggi mungkin, seperti yang dicita-citakan, tapi apa daya, himpitan ekonomi membuat dia tidak bisa berlaku apa-apa.

“Ibu kok diam aja sih. Kenapa, Bu?” Tanya Mutik keheranan melihat ibunya hanya membisu.

Sambil menghela nafas dan mata yang sedikit berkaca-kaca, akhirnya keluar juga kata-kata dari mulut Nur Salamah “Nduk, maafkan ibu ya. Harusnya kamu bisa sekolah setinggi mungkin seperti yang kamu mau. Kamu anak yang cerdas. Tapi kamu tahu kan bagaimana kondisi keluarga kita? Ayahmu yang penggangguran…, adik-adikmu…, kebutuhan hidup kita…. Ibu bahkan tidak punya cukup uang untuk membiayaimu masuk SMP.”

Mutik diam. Keinginannya sangat besar untuk bisa bersekolah. Dia sama sekali tidak menyangka ibunya akan berkata seperti itu. Dadanya sesak menahan rasa sedih. Tapi bukan Mutik namanya kalau berlarut-larut dalam kesedihan. Dia benar-benar seorang optimist sejati.

“Jangan kawatir, Bu. Mulai sekarang Mutik akan membantu ibu bekerja. Mutik mau berjualan gorengan buatan ibu pagi sebelum sekolah dan sore juga. Aku bisa jualan keliling kampung-kampung atau ke orang-orang proyek yang sedang bekerja membangun bantaran sungai Kalianyar. Pasti laris. Dengan begitu kita bisa menabung cukup uang untuk sekolahku nanti. Kan kita masih punya waktu satu tahun lagi. Benar kan, Bu?”

“Tapi Nduk? Kamu masih terlalu kecil untuk melakukan itu semua.”

“Jangan kawatir, Bu. Mutik pasti bisa. Mutik pandai berhitung kok. Harga satu gorengan Rp. 1.000,00. Kalau ada orang beli 3 berarti Rp. 3.000,00 kan. Kalau dia bayar pakai uang lima ribuan berarti kembalinya…emmm… Rp. 2.000,00. Betul kan, Bu?” cerocos Mitik penuh semangat.

Nur Salamah hanya bisa terdiam.

“Boleh kan Bu? Boleh ya?” rayu Mutik pada ibunya.

Akhirnya ibunya mengalah melihat semangat anaknya yang menggebu-gebu itu, “Baiklah kalau begitu. Tapi kamu harus janji pada ibu, kamu harus berhati-hati jika jualan nanti. Dan bila kamu lelah, kamu bilang ibu, sehingga kamu bisa libur jualannya. Gimana? Setuju?”

“Beres Bu. Jangan kawatir, aku ini anak yang kuat. Kecil-kecil cabe rawit hehehe… Jadi mulai besok aku jualan gorengan ya?”

“Baiklah. Ayo sekarang masuk dulu. Sudah maghrib. Kita sholat berjamaah.” Kedua anak beranak itu pun bergandengan masuk ke dalam rumah.

*****

Begitulah. Sejak saat itu jadilah Mutik anak penjual gorengan. Dia anak yang ulet. Tiap hari dia tak kenal lelah keluar masuk kampung dan menyusuri bantaran sungai Kalianyar untuk menjajakan dagangannya. Gorengan….gorengan…. teriaknya setiap hari, pagi dan sore. Lambat laun semakin banyak orang orang yang mengenalnya. Sebagian orang membeli dagangannya karena iba melihat penampilannya yang kecil dan kurus kering.

Salah satu langganan Mutik adalah bang Adji, mandor proyek Kalianyar. Tiap pagi dia selalu membeli gorengan Mutik beberapa biji. Sesekali dia ajak ngobrol si Mutik.

“Wah, laris daganganmu pagi ini, Tik?” Tanya bang Adji.

“Lumayan Bang. Saya jadi bisa cepat pulang dan siap-siap ke sekolah” jawab Mutik.

“Kalau gak habis biasanya gimana, Tik?”

“Ya saya bawa ke sekolah Bang. Saya jual sama teman-teman.”

“Kamu gak malu?”

“Hlo, kenapa mesti malu? Saya kan gak nyolong? Ini halal Bang hehehe….”

“Mutik…Mutik…. setiap lihat kamu, aku jadi ingat lagunya Iwan Fals. Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu. Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu, dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal” timpal bang Adji sambil bersenandung.

Mutik hanya tersenyum mendegar senandung bang Adji. Segera dia berlalu setelah mengucapkan terima kasih. Bergegas dia pulang dan bersiap-siap ke sekolah. Dia tidak mau terlambat karena hari ini jam pertama adalah pelajaran kesukaannya, matematika. Sambil berjalan dia bersenandung lagu favoritnya. Andaikan aku punya sayap….ku kan terbang jauh….mengelilingi angkasa…. kan kuajak ayah bundaku….terbang bersamaku…melihat indahnya dunia…..

Sore hari setelah melepas lelah, Mutik kembali berjualan gorengan. Kali ini dia akan ke kampung Kapasari, sebuah kampung yang terletak di sebelah kampungnya. Rupanya hari ini dewi fortuna sedang bersamanya. Baru saja dia masuk kampung dan mulutnya berteriak gorengan….gorengan… bu Ela, salah seorang langganannya, memanggilnya.

“Mutik….sini… Ibu mau pesan gorengan ke kamu. Bisa kan?”

“Oh, bisa…bisa….Bu. Ibu butuh apa saja dan berapa jumlahnya?” jawab Mutik dengan mata berbinar.

“Buatin pisang goreng, tahu isi, ote-ote dan pelas ya. Masing-masing 30 biji. Jadi total 120 biji.”

“Banyak sekali, buat apa Bu?”

“Besok ada pengajian di rumah ibu. Nah, ibu ingin kasih suguhan gorenganmu buat ibu-ibu jamaah. Uangnya sekarang atau besok?”

“Besok aja Bu, pas saya antar gorengannya.”

“Yaudah kalau begitu. Kamu antar jam 3 ya. Jangan sampai telat.”

“Oke, siap boss” jawab Mutik sembari menaruh tangan kanan di atas kening seperti tentara yang menghadap atasannya. Ibu Ela tertawa sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah Mutik yang lucu dan ceria.

Segera setelah dagangannya habis, Mutik bergegas pulang. Dia sudah nggak sabar mengabarkan pada ibunya kalau dia dapat pesanan banyak buat besok sore. Sudah terbayang dalam benaknya, 120 gorengan. Untuk tiap gorengan biasanya dia diberi laba Rp 200,00 oleh ibunya, yang kemudian dia simpan dalam celengan. Dia tidak pernah menggunakan sepeser pun hasil jualannya untuk jajan atau membeli hal-hal yang tidak terlalu penting. Dia benar-benar fokus menabung untuk biaya sekolahnya. 120 X Rp. 200,00… Rp. 24.000,00. “Wah lumayan, kalau gini terus, aku bukan saja bisa membayar biaya SMPku, aku bahkan bisa membiayai adik-adikku” gumamnya dalam hati. Dia pun tersenyum riang dan tak lupa bersyukur pada Allah atas rejeki yang dia terima hari ini.

*****

Sore itu Mutik sibuk menghitung laba. Baru saja dia terima uang pesanan dari ibu Ela yang pesan gorengan kemarin.

“Berapa pendapatanmu hari ini, Nduk?” ibunya datang menghampirinya.

“Lumayan, Bu. Hasil jualan pagi Rp. 10.000,00, laba dari bu Ela hari ini Rp. 24.000,00. Terus tadi aku dikasih bonus sama bu Ela Rp. 5.000,00. Lumayan. Katanya sebagai uang lelah karena mengantar pesanan ke rumahnya. Bu Ela baik ya Bu. Coba kalau semua orang kaya baik kayak dia….”

“Kamu ini ada-ada saja tho Nduk… Allah menciptakan sesuatu berpasang-pasangan. Ada orang kaya, ada yang miskin. Ada orang baik ada orang jahat. Ada orang royal ada pula yang pelit” timpal ibunya sambil mengelus-elus kepala Mutik. “Jadi total penghasilanmu hari ini Rp. 39.000,00 ya? Simpanlah baik-baik, jangan sampai ketahuan ayahmu. Kamu tahu sendiri kan bagaimana ayahmu…”

Belum selesai Nur Salamah bicara, Naryo suaminya datang. Melihat berlembar-lembar uang dalam genggaman tangan mungil si Mutik, matanya jadi bersinar.

“Wah, Tik, banyak uang juga ya? Sini ayah pinjam barang sehari atau dua hari” seloroh sang ayah setengah mabuk.

“Jangan Mas. Itu tabungan hasil jerih payah Mutik yang akan dia tabung buat biaya sekolahnya” larang sang istri dengan nada cemas.

“Iya Yah. Jangan! Tolong, jangan ambil uang Mutik…” rengek Mutik.

Naryo melotot mendengar anak istrinya berani menentangnya.

“Ah, sini…kamu mau jadi anak durhaka!!!” hardik Naryo pada Mutik. Mutik langsung menciut.

“Durhaka gimana? Mas nggak pernah menafkahi kami. Setiap hari kerjanya hanya tidur, judi dan mabuk-mabukan. Giliran anak punya uang mau kamu rampas juga. Ayah macam apa mas ini?” Nur Salamah tak kuasa menahan emosi.

Naryo muntap mendengar ceramah sang istri. Langsung saja dia gampar pipi istrinya lalu merebut uang dari genggaman Mutik. Setelah itu dia berlalu meninggalkan rumah dengan emosi membara di matanya.

“Ayah…jangan… Jangan ambil uang Mutik!!!”

Mutik berusaha merebut kembali uangnya dari tangan sang ayah. Dia menarik-narik tangan ayahnya. Tapi apa yang terjadi, tanpa belas kasih sama sekali, Naryo mendorong tubuh kecil Mutik hingaa anak itupun terjatuh, terjengkang beberapa meter ke belakang. Naryo pun berlalu tanpa mau menoleh barang sejenak ke arah anak istrinya yang memanggil-manggil namanya. Kedua anak beranak itu, Mutik dan ibunya, hanya bisa menangis sambil berpelukan.

Sejak peristiwa itu, Mutik semakin berhati-hati menyimpan uang hasil jerih payahnya. Dia menghitung dan menyimpan uang tabungannya di tempat yang sangat tersembunyi, yang tak seorang pun tahu. Dia benar-benar trauma dengan kejadian kala itu. Dia tidak ingin ayahnya tahu kalau dia menyimpan banyak uang, lalu mengambilnya dan menghabiskannya di meja judi. Ah Mutik, malang sekali nasibmu, punya ayah seperti itu.

*****

Hari demi hari berlalu. Tak terasa sudah hampir setahun Mutik berjualan gorengan dan menabungkan hasil jerih payahnya. Kini Mutik telah lulus dari SD dan berkat kegigihannya dalam belajar dia berhasil diterima di SMP 8 sesuai dengan keinginannya. Berkat keuletannya dalam berjualan juga dia kini punya tabungan bebarapa ratus ribu, cukup untuk biaya persiapan dia masuk SMP.

Sore itu pukul 04.30, di luar sedang hujan gerimis. Mutik sedang sendirian di rumah. Ibu dan ke dua adiknya sedang tidak di rumah. Mereka sedang berkunjung ke rumah neneknya yang tinggal di kampung lain. Mutik libur tidak berjualan, dia ingin mempersiapkan diri karena esok dia harus registrasi sebagai siswa baru di SMP. Saat itu Mutik tengah asyik menghitung uang yang akan dia gunakan untuk daftar ulang di SMP. Saking asyiknya, dia lengah. Dia tidak sadar kalau ayahnya datang dan mengintip apa yang sedang dia lakukan. Melihat anaknya memegang uang ratusan ribu, mata sang ayah menjadi hijau. Dia segera menghampiri Mutik dan menegurnya.

“Sedang apa kamu, Tik?”

Mutik terperanjat. Matanya terbelalak kaget melihat ayahnya tiba-tiba muncul di hadapannya. Dia berusaha menyembunyikan uang yang ada dalam genggamannya. Tapi terlambat, sang ayah terlanjur tahu keberadaan uang itu.

“Sini, bawa sini uang itu” bujuk sang ayah.

Mutik tidak ingin peristiwa beberapa bulan yang lalu terulang lagi. Dia tidak mau ayahnya mencuri lagi uang darinya. Kali ini dia berusaha mempertahankan diri sekuat tenaga. Terjadilah rebutan di antara bapak dan anak. Sang ayah hampir kewalahan menghadapi perlawanan Mutik. Dengan sangat berani dan sekuat tenaga dia dorong sang ayah hingga terjatuh. Mutik kabur ke luar rumah. Dia tidak peduli meski di luar hujan semakin deras. Yang ada di benaknya saat itu hanyalah bagaimana dia bisa menyelamatkan uangnya dari jarahan ayahnya.

Sebenarnya tujuannya adalah rumah mbak Kartika, perempuan yang selalu menyelamatkannya dari keganasan ayahnya selama ini. Sialnya, mbak Katika sedang tidak di rumah. Pintu rumahnya tertutup rapat. Dia gedor rumah mbak Kartika, tidak ada jawaban. Di belakangnya, dia melihat ayahnya sempoyongan, setengah mabuk, berusaha mengejarnya. Mutik semakin panik. Dia terus berlari menyeberang jalan dan menyusuri bantaran sungai Kalianyar. Sang ayah semakin bernafsu mengejarnya dan hampir berhasil menangkapnya.

Dan…terjadilah malapetaka itu. Karena panik, Mutik jadi kurang hati-hati. Dia pun terpeselet jatuh ke sungai. Saat itu arus sungai sedang deras-derasnya. Sungai Kalianyar meluap karena hujan yang terus mengguyur beberapa hari belakangan ini. Tubuh mungil Mutik pun hanyut terbawa arus sungai. Lalu kepalanya membentur batuan besar, sobek dan berdarah. Mutik tak sadarkan diri. Beberapa tetangga yang mengetahui kejadian itu, berusaha menolong Mutik sementara beberapa anak muda menghajar Naryo, ayah Mutik, karena kesal dengan ulahnya.

Beberapa saat kemudian, Mutik berhasil diselamatkan. Dia masih pingsan, tubuhnya membiru kaku kedinginan. Darah masih juga mengucur dari kepalanya. Dia segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ibunya yang dikabari tentang peristiwa yang menimpa anaknya segera berlari menyusulnya ke rumah sakit, diantar tetangga yang baik hati, sambil berlinangan air mata.

Sesampai di rumah sakit, Nur Salamah segera tanya ke sana sini, mencari keberadaan anaknya. Seorang suster menuntunnya ke suatu ruangan. Di sana, suster itu menunjukkan tubuh Mutik yang sudah kaku membiru. Mutik sudah tiada. Dia kehilangan banyak darah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Nyawanya tak terselamatkan. Nur Salamah menangis meratapi kepergian anaknya. Sedih dan menyesal, mengapa dia tinggalkan Mutik sore itu sendirian di rumah, sehingga dia jadi korban kebrutalan ayahnya. Terbayang di matanya, cita-cita Mutik untuk bisa melanjutkan sekolah di SMP yang tinggal selangkah lagi bisa dia gapai. Hati Nur Salamah hancur teringat itu semua. Tiba-tiba semua nampak gelap, pekat. Dan Nur Salamah pun jatuh tak sadarkan diri.

Lamat-lamat terdengar suara lagu yang diputar dari sebuah HP oleh seorang anak kecil usia SD, yang sedang opname di rumah sakit itu. Lagu kesayangan Mutik.

Satu-satu daun-daun berguguran tinggalkan tangkainya

Satu-satu burung kecil beterbangan tinggalkan sarangnya

Jauh…jauh…tinggi ke langit yang biru

Andaikan aku punya sayap ku kan terbang jauh mengelilingi angkasa

Kan ku ajak ayah bundaku terbang bersamaku melihat indahnya dunia…

Selamat jalan Mutik… Terbanglah ke angkasa, tinggalkanlah dunia yang tidak pernah berpihak padamu. Pulanglah ke rumah Tuhan-mu. Di sana kau akan bahagia. Di sana kau bisa bermain dan belajar sepuasnya, tanpa harus menanggung beban yang tak seharusnya kau tanggung.

Dan para bidadari pun tersenyum menyambut kehadirannya di surga…

***T A M A T***

Tuban, 15 Januari 2013; pukul 10.10 pagi

Gambar diambil dari @kartun.muslimah

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mbrebes mili. 16 Jan 2013

29 Oct
Balas

Wahhh...pelanggaran ini...paklik sdh bc sejak 2013

29 Oct
Balas



search

New Post