Ayah
Tiap hari ayah menikamkan sejarah di dadanyameludahkan darah, tubuh anak-anak sebagai kanvasdesis mantra, muntah rupa-rupa lukawangi dupa dan tembakau bau napasnya
Ayah menancapkan riwayat layaknya pemahatmenggoreskan sawah gerimis, tebu berbaris-baris,bilur telapak kaki menginjak matahari,jasmani hangus, sungai keringat, rongsok pundak,bertaruh tiap jejakrayakan malam bangkrut di meja judi,kartu-kartu kalah, hidup-hidup yang payah
Ayah mencorengi dahi dan kedua pipi anaknyaseakan totemmenumpahkan sihirLalu anak-anak mengonggok jasad merekadi sudut kamar, dirubung debu dan sawang: Terlupakan
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Wow keren..Puisi yang menggoreakan pilu dalam bait2 indah...Salam literasi Pak...
Terima kasih, bu Rini. Salam literasi
Pilu aku membacanya,mengingatkan akan perjuangan almarhum bapakku untuk menghidupi anak anaknya, salam literasi pak Ichsan.
Semoga Allah ampuni dosa-dosa almarhum, aamiin. Salam literasi, bu.