Ichsan Hidajat

Write. Just write....

Selengkapnya
Navigasi Web

Biarkan Siswa yang Mengajar

Saya kesengsem mengajar. Juga belajar.

Tapi momen paling luar biasa bagi saya adalah ketika siswa mengajari saya.

Tantangannya adalah bergeser mundur, mengendurkan kendali. Berhenti mengoceh. Mulailah pasang telinga. Mendengarkan. Ubah pemaknaan konsep guru dan siswa. Lihatlah, sebenarnya kedua peran tersebut tidaklah terpisah atau secara diametral berbeda. Sudah semestinya guru benar-benar menguasai materi yang disampaikan. Dia harus terlebih dulu mempelajarinya. Saat mengajar, guru berusaha menginternalisasi siswa dengan materi pembelajaran yang sebelumnya masih superfisial, teks bisu. Dengan memberi siswa keleluasaan dan dukungan untuk merasuki peran guru, saya yakin mereka akan lebih belajar.

Kelas harus bertransformasi dari kelas dengan guru mengajar dan siswa belajar menjadi siswa mengajar dan semua orang belajar.

Gali lebih dalam tentang siswa Anda

Kenali siswa dan kehidupan mereka, Mulailah menyapa, mengobrol dan sepenuhnya mendengarkan mereka. Anda mungkin mencuriga seorang siswa sedang menatap marah dari belakang kelas dan membenci kelasnya. Kemudian Anda akan terkaget ketika ternyata siswa tersebut tengah menyekap masalah di dalam dadanya, sesuatu yang membuatnya sedih. Atau, bisa saja, wajahnya itu sebenarnya adalah wajah yang tengah sungguh-sungguh berkonsentrasi. Dan bukan memancarkan permusuhan. Cari tahu mengapa wajahnya seperti itu. Jangan sebaliknya, tersinggung dengan wajah itu.

Tiap tahun para siswa mengajari saya nilai-nilai sebagai manusia. Saya merangkum pemahaman yang semakin dalam tentang betapa kompleksnya kehidupan kita. Dan betapa merusaknya bila berburuk sangka. Sebagian besar prasangka membuat saya tersinggung, misalnya siswa ketiduran, tidak menyelesaikan PR, tidak hadir di kelas, tidak mau terlibat dengan kelasnya, atau aneka masalah lain yang terjadi di luar kelas. Hal-hal seperti ini, mau tidak mau, menerbitkan kepenasaran: mengapa terjadi dan apa solusinya?

Saya ingat Tegar, siswa saya yang unggul dalam speaking, tiba-tiba menghilang dari kelas. Dugaan saya dia jenuh, tidak menyukai aktivitas kelas, kelasnya tidak sesuai dengan tingkat kemampuannya. Ketika akhirnya Tegar muncul, saya mengajaknya ngobrol seusai pembelajaran. Tegar, boleh Bapak tahu kenapa kamu menghilang? Dia bercerita panjang. Saya mendengarkan dengan sabar. Ternyata dia tengah memerangi depresi yang membuatnya sulit bangun pagi. Anak itu juga mengenalkan saya kepada ibu angkatnya. Saya jadi punya akses untuk mengeceknya dan mendorongnya untuk kembali hadir di kelas. Masalah tidak menghilang namun mulai mereda. Saya temukan cara untuk mendampinginya mengatasi depresi dan berhenti melabelinya pemalas.

Mengetahui pengalaman hidup siswa memudahkan guru dalam memahami, menerima dan berempati. Bahkan menyelami dunia siswa secara menyeluruh. Menginsafi ragam jungkir balik sikap dan perilaku aneh remaja, mengenal budaya lokal tempat siswa tinggal dan keunikan tradisinya. Ternyata setiap siswa punya keunikan kebiasaan, tata nilai dan badai masalah yang tak pernah sama.

Saling mengenal adalah fondasi bagi hubungan yang lebih interaktif. Jangan-jangan guru keliru menyebut nama siswa di kelas. Yang sebenarnya Maya, Anda panggil dengan Nadya.

Coba bayangkan reaksi mereka.

Biarkan siswa membagikan pengetahuannya

Selain kemampuan mereka dalam speaking dan writing, saya kerap dibikin terkaget dengan hal-hal lain. Pernah siswa saya mempresentasikan resep tradisional yang belum pernah saya cicipi, membuat lukisan yang nyaris layak masuk pameran seni, menyanyikan lagu Michael Buble, menemukan kata baru dan menyelesaikan teks prosedur di atas level kelasnya. Bahkan antusias sekali membagikan pengetahuan mereka kepada saya. Nah, saya tinggal merevisi skenario pembelajaran agar mereka punya ruang untuk memeragakannya.

Guru sering berusaha mengkreasi pembelajaran yang melibatkan kita semua. Orang cenderung senang membicarakan apa yang mereka sukai, ketahui dan kuasai. Dan ini berbeda bagi setiap orang. Mintalah siswa untuk saling berbagi tentang sesuatu yang mereka sukai. Dengan begitu, Anda dapat merancang pembelajaran individualis meskipun mereka mengerjakan topik yang sama.

Atau beri mereka daftar pilihan tugas. Misalnya, ketika meminta respon atas sebuah teks naratif pendek yang baru saja mereka baca, jangan minta mereka melakukan hal yang sama. Biarkan mereka memilih format tanggapannya: membuat video, menciptakan karya seni, memparafrase teks, menyusun reviu, menggambar ilustrasi, mendramakannya, menyanyikan sebuah lagu, menulis puisi atau bentuk lainnya. Lihatlah, kelas jadi lebih hidup, berisik, meriah dan menyenangkan. Daftar menu bisa menjadi trik yang luar biasa. Tiap siswa bebas mengerjakan sesuatu yang berbeda, menunjukkan potensi unik dirinya. Dan mereka merasa berharga.

Efektifkah cara Anda mengajar? Tanya siswa

Tak banyak siswa yang mau menemui guru dan mengatakan “Pak, Dina benci kegiatan ini.” atau “Bu, Agung suka sekali kegiatan ini.”. Siswa cenderung menyembunyikan pendapat mereka atau mengeluhkannya di luar kelas. Jauh dari tangkapan telinga guru. Kalau cukup jeli, guru mestinya bisa menguping bahan dan kegiatan apa yang melibatkan dan diminati siswa.

Biasanya guru meminta umpan balik siswa pada akhir semester. Hmm, sudah terlambat untuk melakukan perbaikan. Kuesioner umpan balik dibagikan pada lima menit terakhir. Pada saat tersebut guru sudah kebelet meninggalkan kelas untuk urusan lain. Jarang sekali guru merespon kuesioner ini dengan lengkap, dan – begitu pula – jawaban dari siswa pun asal-asalan.

Saran saya, guru meminta pendapat siswa pada sepertiga awal semester. Mintalah mereka menuliskan seberapa menyenangkan aktivitas dan bahan tertentu di kelas mereka. Kegiatan mana yang membantu mereka mencapai tujuan belajar. Lalu aturlah mereka berbagi pendapat dalam kelompok-kelompok kecil. Biarkan mereka merasa percaya diri dalam menyuarakan pendapat.

Berbagi pendapat dalam kelompok besar manfaatnya. Selain berpeluang untuk menyetujui atau menolak pendapat, siswa merasa dirinya penting dan merasa didengarkan. Kadang siswa merasa berbagi pendapat dalam kelompok besar terasa canggung dan menakutkan. Sebagai siswa, saya juga dulu merasa malu dan jarang “berbunyi” dalam diskusi. Guru perlu meyakinkan siswa bahwa suara mereka berharga. Untuk teman-temannya. Juga untuk gurunya.

Biarkan sebagian peranan guru mereka ambil. Biarkan siswa merampok kelas, membajak pembelajaran. Bebaskan siswa menjelaskan, mengeksplorasi pengetahuan, memeragakan capaian keterampilan dan bersama-sama merayakan keunggulan mereka. Bayangkan, guru ngacung, bertanya dan siswa kasih penjelasan. Dengan kepercayaan diri yang meluap-luap siswa mempresentasikan pencapaian hebat mereka.

Bukankah pekerjaan guru menjadi lebih ringan? Lebih dari itu, lihatlah, mereka lebih antusias.

Biarkan Mega, Kayla atau Budi mengajar. Pada saatnya nanti, tanpa disadari, kita telah belajar banyak dari siswa.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post