Ichsan Hidajat

Write. Just write....

Selengkapnya
Navigasi Web

KEIKO DAN RIZAL - Bagian Kedua

KEIKO DAN RIZAL – Bagian Kedua

#Tantangan Menulis 30 hari

#tantangangurusiana

Hari ke-29

Nah, ini dia bagian kedua cerita saya. Kalau belum baca bagian pertamanya, silakan cari postingan saya beberapa hari yang lalu.

KEIKO

“Jangan lupa, Kei. Malam ini kamu ditunggu Tante Lia makan di rumahnya. Love.”

Berbekal pesan singkat dari Ayah, malam ini aku minta Mang Ujang nganterin aku ke kampung bawah. Bertiga bareng Bi Rani, aku harus memenuhi undangan Tante Lia untuk makan bersama. Aku ngerti maksud Ayah sebenarnya, supaya aku mulai akrab sama keluarga Kuningan. Saudara-saudara Ayah yang sudah lama banget aku nggak ketemu mereka. Dulu, kalau mereka datang ke Bogor aku jarang ketemu mereka. Sekarang aku harus stay di sini - tanpa Ayah, jadi aku harus mencoba bersosialisasi.

Aku setengah maksa Mang Ujang dan Bi Rani jalan kaki biar sekalian aku mengenal lingkungan baruku. Malam begini orang tidak akan terlalu perhatian sama orang aneh kaya aku. Cuma sesekali ada bapak-bapak, sepertinya pulang dari mushola, yang menyapa Mang Ujang. Rumah-rumah berderet sepanjang jalan, bersahaja. Ada yang berukuran kecil, ada beberapa yang besar dengan halaman luas. Tidak berdempetan, selalu ada ruang. Sebagian besar tidak berpagar. Dengan kolam ikan di bagian sisi kiri atau kanan. Hampir tiap rumah memiliki kolam pemeliharaan ikan. Tak sampai sepuluh menit berjalan kaki.

Yang membuka pintu ternyata seorang anak cowok.

“Hai,”

Tak ada balasan “hai”. Cowok itu hanya mengangkat alis mata. Membuka pintu lebar-lebar. Menyilakan kami masuk kemudian langsung pergi.

“Masuk deh. Udah ditungguin tuh.”

Mang Ujang dan Bi Rani sudah nyelonong langsung ke ruangan keluarga lalu menghilang. Aku ditinggal sedikit canggung sampai muncul sesosok pemuda lain di pintu sambung menuju ruang keluarga.

“Hei, ini pasti Keiko ‘kan?”

Dan langsung menyalamiku, bahkan malah memelukku hangat dan mengacak rambutku.

“Dan pasti lupa siapa aku. Ya kan?”

Sebentaran aku berusaha mengingat nama-nama. Terganggu oleh wangi rambutnya yang gondrong, baru keramas kayaknya. Yang tadi buka pintu si Rizal, pasti. Seumuran. Belagunya udah keliatan. Yang ini kayaknya anak kuliahan, lebih ramah ....

“Ini Aa Dwiki, aku ga lupa kok.”

Si Aa Dwiki tersenyum lebar. “Oke deh. Keiko, kamu emang pinter. Ayo sana terus ke dapur. Mami udah nanyain terus tuh. Takut kamunya nggak jadi datang. Tadi yang bukain pintu si Jay kan? Mana dia? Kok ngilang.”

Aa Dwiki langsung membimbingku jalan menembus ruang tamu, ruang tengah dan langsung menuju pantry.

Tante Lia lagi masak.

“Keikooo,” di ujung dapur Tante Lia sudah merentangkan kedua tangan menyambutku. Menghampiri dan memelukku erat, mencium pipiku kiri kanan juga jidat. “Ayo sini, Sayang. Bantuin Tante masak ya. Sini, Tante lagi nyiapin sup gurame.”

“Dan kamu pasti belum pernah nyobain sup gurame,” goda si Aa Dwiki.

Pelukan yang hangat. Daster Tante berlapis rempah-rempah dapur tapi tubuhnya tetap wangi.

“Wah, harum banget supnya. Terus, aku kudu ngapain nih, Tan?” kataku seketika ceria sambil menyelidik meja dapur yang menyisakan beberapa bumbu untuk masakan Tante Lia malam ini. Uap dari sup gurame menyerbu masuk ke hidungku.

“Supnya sebentar lagi selesai, Kei Sayang. Lima menitan. Kamu siapin meja saja, ya. Tuh bantuin bi Rani. Kamu bisa bawain masakan ke meja,” Tante menunjuk bi Rani yang sedang pak-pik-pek di ruangan sebelah, menata meja makan. “Duh, Tante kangen banget sama ponakan lucu ini. Cerita-cerita ya. Kasih tahu Tante sekolah kamu hari ini.” Si Tante meramu bumbu sambil terus bicara.

School is good,” kataku bersemangat, jarang sekali ada yang nanyain kabar sekolahku. Tante Lia memelukku lagi sebentar. “Anak sini baek-baek ya, Tan?”

“Padahal aku mau liat Tante masak nih,” ucapku lagi sambil meninggalkan dapur dan menuju ruang makan di sebelah.

“Kita punya banyak waktu buat masak bareng, Kei,” si Tante coba menghibur. “Nanti kita atur ya. Mungkin weekend. Eh, Tante malah ga yakin kamu bisa masak.”

“Kok tau?” aku ketawa denger sindiran Tante Lia.

Beresin meja makan, menata piring-piring, gelas dan hidangan ringan sudah dituntaskan Bi Rani. Aku cuma bantuin sebentar, membawakan mangkuk sop dan masakan lain ke meja.

“Kei,” Aa Dwiki muncul lagi, “aku gak bisa ikutan ya. Harus pergi nih. Ada acara di rumah temen.”

“Yaah, kurang seru dong, A,” Tante mencium pipi A Dwiki waktu pamitan. “Jangan kemaleman pulangnya, ya,”

“Kan ada si Jay tuh,” kata A Dwiki sambil ngaleos ke luar.

Mana? Si Jay alias Rizal dari tadi nggak muncul lagi. Ngilang nggak tau ke mana.

Sebelum keluar rumah, aku lihat A Dwiki menaiki tangga ke lantai atas sambil teriak-teriak manggil adiknya. Hm, Jay ini seaneh apa sih?

***

RIZAL

“Jangan malam ini atuh, Mi,” jawabku males waktu Mami cerita tentang rencana makan malam bareng si Keiko. “Males.”

“Males apaan? Kamu tuh lucu, Jay,” jawab Mami sambil ketawa. “Kamu nggak ikut belanja. Kamu nggak usah ikutan masak. Nggak usah beresin meja makan. Biasanya juga langsung makan. Nemenin apa susahnya sih?”

“Aku nggak ikut deh, Mi. Ada acara sama anak-anak di Cigugur.”

Mami senyum manis sekali dan menepuk pipiku. “Jangan ngarang. Tiba-tiba saja ada acara bareng temen. Udah sana cepetan mandi. Magriban dulu.” Begitulah cara Mami ngusir anaknya dari kamar.

Habis Magrib aku ngirim pesan ke Budiman, Aldi, Rizal juga Cecep. Budi nggak bisa dihubungi. Aldi juga sama. Rizal cuma kirim pesen “hampura euy, moal bisa. aya acara di imah.” Cecep, dia kan nggak pegang ponsel.

Yang aneh, malah si Agung menghubungiku.

“Jay, aku mau minta maaf,” si Agung mengawali dengan aneh.

“Maksud kamu?”

Hampura euy. Aku tau aku bercandanya kelewatan tadi siang.”

Padahal aku yang nonjok si Agung.

“Aku nggak tahu kalau kamu sama Keiko sepupuan,”

Oh, baru aku tahu arah pembicaraan si Agung.

Untung si Agung sudah minta maaf. Sebetulnya sudah kepikiran juga aku mau minta maaf sama dia besok pagi.

“Ya udah, Gung. Lupain aja. Ketemu di tempat futsal besok, ya.”

Malas itu muncul lagi waktu habis Isya aku kebetulan ada di lantai bawah dan kebetulan denger ada yang mengetuk-ngetuk pintu depan. Dan terpaksa membukakan pintu depan buat tamu. Mang Ujang, Bi Rani dan si anak baru, Keiko. Padahal biasanya Bi Rani dan Mang Ujang tidak ba-bi-bu. Lewat pintu samping, langsung ke dapur.

“Hai,” si Keiko berdiri depan pintu.

Tampang pucat itu muncul. Jangan salahkan aku, memang nggak biasa pasang senyum. Dia mengernyitkan alis, matanya yang kecil makin menyipit, - aku mah biasa saja. Kubukakan pintu semanis mungkin berharap dia tak banyak berkomentar. Dan Tuhan selalu baik, sebab kulihat A Dwiki turun dari tangga. Kubiarkan saja mereka saling sapa. Aku memilih naik lagi ke atas. Tiba-tiba berasa ingin baringan sebentar di kamar.

Dan ketiduran.

“Woy, bangun woy,” kukenali suara abangku, A Dwiki.

Ngaganggu wae, ah,” aku menelungkupkan muka ke arah bantal.

A Dwiki ketawa renyah. “Masih sore, Jay. Banguun. Tuh, temenin si Keiko makan. Bangun, pemalas. Hey, aku pinjem jaket kamu, ya,”

“Jaket yang mana?” tanyaku terbangun kaget. “Jangan dong, A. Aku mau keluar malam ini. Hey, jangan atuh. Ada acara,”

“Eits, ga bisa malam ini. Acara di luar batalin. Belajar hormati tamu, Little Brother,” kata A Dwiki lagi sambil keluar dari kamarku. “Dia juga temen sekolah kamu kan,”

Tak bisa lagi berkelit, ketika lima menit kemudian si Keiko muncul di celah pintu kamarku.

“Heh, ngapain kamu masuk kamar aku?”

Si tampang pucat Keiko membelalak dan menunjukkan bakat cemberutnya. “Aku belum masuk ke dalam kok. Jangan kegeeran deh,” katanya bergeming di luar.

Mau tidak mau kubukakan pintu lebih lebar dan membiarkannya masuk. Kamarku berantakan, sangat berantakan, ah biarkan saja. Beberapa seragam yang terserak di kursi, di lantai dan di atas kasur segera kurenggut dan kuamankan begitu saja ke dalam lemari. Bantal dan selimut gagal kusembunyikan.

“Mami minta aku temenin kalian makan malam, ya kan?” tanyaku sambil mengubek lemari mencari t-shirt. Ngambil satu, mengenakannya cepat dan merapikan sedikit rambut. Si Keiko seenaknya saja duduk di kursi dekat pintu, matanya menyelidik seisi kamar. “Bisa gak tunggu sebentar di bawah?”

“Yey, ngapain juga aku nungguin kamu di sini. Belajar rapi dikit kali,” tukas si Keiko sambil keluar dari kamar. “Tante Lia tuh yang udah ga sabaran.”

Dan belum jauh si tampang pucat itu turun, Mami sudah teriak-teriak manggil. Bahkan kedengaran ketuk sepatunya menaiki tangga. Aku berusaha turun secepatnya. Dan ketemu di tengah. Aneh banget, si Mami sudah berpakaian lengkap, berdandan hebat, wangi dan bawa tas tangan pula.

“Turun sekarang, Jay. Makan bareng. Temenin Keiko,” Tegas, tiga perintah sekaligus.

“Mami mau ke mana?”

“Undangan. Tuh, Tante Rika udah nungguin di depan.”

“Hah? Ga bareng makan dulu?”

“Ga bisa. Ini juga Mami udah telat.”

“Lah, yang makan malem siapa dong?”

Si Mami malah ketawa. Puas sekali kedengarannya.

Buset. Bencana nggak pernah turun satu-satu, selalu ada bonusnya. Jadilah kita makan berdua. Aku dan si tampang pucat itu. Aku memang laper, siang tadi lupa ambil jatah. Jadi ya makan banyak-banyak. Si Keiko juga keliatannya nikmatin banget sup guramenya Mami. Mang Ujang dan bi Rani ikutan, walaupun di meja lain.

“Di Jepang ikan dimakan tanpa dimasak dulu ‘kan?” tanyaku iseng.

“Maksud kamu?” tanya balik si Keiko.

Sashimi, dimakan sama wasabi,” ucapku hati-hati.

“Sok tau kamu,” tunjuk Keiko senyum-senyum. Aku angkat bahu, peduli amat salah juga. “Aku ga pernah nyoba sashimi.”

Sake?”

Keiko menggeleng. Nyuap sup ke mulutnya.

Origami?”

“Ngasal banget.”

“Terus, ngapain aja kamu di Jepang?”

Keiko menggeleng. “Belum pernah ke Jepang.”

Sendok di tanganku tiba-tiba jatuh.

“Kenapa?”

“Gaa. Ga pa pa,” aku berusaha menutupi kekagetanku. “Terus itu bapak kamu, Om Yusuf? Dia kerja di Jepang kan?”

“Di Darwin. Di Konsulat.”

“Salah lagi aku ya?” ucapku konyol.

Keiko cuma ketawa kecil. Dia sudah menyelesaikan makannya. Aku jadinya ga enak makan sendiri. Tapi masih laper.

“Habisin, nggak baik nyisain nasi.”

Sok tau. Tapi aku lanjutin nyuap. Nambah nasi. Dan ngabisin sisa sup gurame. Nguyup kuahnya. Seger pisan. Daging gurame gurih luar biasa. Apalagi buatan Mami. Diem-diem Si Keiko ngeliatin, ketahuan dia juga ngumpetin senyum. Ah, abaikan dia.

“Makasih ya,” kedengaran suara Keiko.

Aku jadi berhenti nyuap.

“Apaan?”

“Makasih,” ucap Keiko lagi.

Aneh. “Buat apa?”

“Kamu belain aku di depan Agung tadi siang,”

“Ngapain juga aku tonjok Agung cuma buat belain kamu? Ga ada urusannya sama kamu, tau?”

“Aku sudah denger kok dari Euis. Dia nge-chat tadi sore.”

“Jangan percaya gitu aja sama anak-anak.”

“Aku ngucapin makasih, kok kamu malah ga suka?”

“Bukan ga suka. Ga usah makasih. Apaan?”

“Aneh ya kamu tuh,”

Keiko enak bener menilai orang. “Betul. Seratus.”

“Aku boleh pinjem catatan kamu ya? Biar nyambung sama progres di kelas.”

Aku cuma ngangkat bahu sedikit. Minum, takut keselak. “Eh, ngapain kamu ditaroh di sini, si Om Yusuf nya kan masih kerja di Jakarta,” tanyaku penasaran. “Jauh-jauh di Kuningan, aneh.”

“Ngapain nanyain itu?” si Keiko nadanya sewot.

“Iseng aja nanya,” jawabku ngasal.

Keiko tiba-tiba meredup. “Ask your mom. Not me,” Dia serampangan bangkit dari kursinya dan memanggil-manggil Bi Rani.

“Makasih ya udah nemenin. Aku pulang.”

Dan anak itu langsung meninggalkan meja makan. Aku titipkan sama Mang Ujang catatan Matematika, Fisika dan Kimia. Si tampang pucat Keiko sudah mematung di luar gerbang.

Cewek!

***

.

.

@01032020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantap

01 Mar
Balas

Nuhun, Om

02 Mar

Nuhun, Om

02 Mar



search

New Post