Ichsan Hidajat

Write. Just write....

Selengkapnya
Navigasi Web
Kisah Sepatu

Kisah Sepatu

#Tantangan Menulis 30 Hari

#tantangangurusiana

Hari Ke-3

Selamat pagi, anak-anakku tersayang. Gadis-gadis kecil, kuncup remaja yang tengah harum merekah di petamanan sekolah. Pagi ini luangkanlah waktu barang sejenak. Dan dengarkan sebuah kisah pendek berikut ini:

Suatu kali, pasti kalian pernah merajuk merengek dan setengah memaksa agar Ayah atau Bunda membelikan sepasang sepatu baru. Sepatu lama sudah mulai sempit menjepit kaki. Pudar pula warnanya. Atau sudah ketinggalan jaman. Malu kamu mengenakannya di depan para sahabat sebaya.

Kemudian pada suatu sore yang diam tak berhujan Bunda mengantarkan anak manjanya ke sebuah toko sepatu. Harus toko yang itu, katamu. Di lantai dua sebuah pusat belanja. Maka lihatlah dirimu melonjak-lonjak dan penuh semangat memilih-milih deretan sepatu pada lemari etalase. Pada rak-rak berpamer seru lampu-lampu. Memvonis satu per satu pajangan di situ, mendaftar poinnya dengan telunjukmu. Selalu ada cacatnya, ada saja yang keliru. Kamu tak puas dengan tiada lengkapnya koleksi yang ada, Bunda harus rela diseret-seret menuju toko sebelahnya. Lebih lengkap, katamu.

Untung Ayah hanya menunggu di kedai kopi lantai satu.

Lihatlah, kamu menunjuk sebuah model sepatu. Persis gambar yang ada pada dunia maya. Bunda meruncingkan mulutnya, mahal. Kamu meminta penjaga toko mengambilkan model yang sama tetapi beda warna. Motifnya harus meriah, katamu. Lalu kamu mencoba sepatu yang dikeluarkan dari dalam kotaknya. Nomor 37, katamu. Mematut diri beberapa jenak. Ini terlalu sempit. Kaki mungil berteriak sakit. Bunda meminta tolong penjaga toko mengambilkan nomor 38. Dan sepasang lagi, nomor 38 model yang lain, agak murah dari yang pertama. Lalu kamu mengepas lagi sepatu nomor 38. Berjalan melenggang, cukup nyamankah untuk bergaya.

“Bagus kan, Bun?”

Tapi kemudian mengembalikan kepada penjaga toko yang kelihatan penyabar. “Ada warna lain, Kak? Yang seperti ini, lho.” Kamu memamerkan layar ponsel menampilkan sebuah unduhan foto. Sang penjaga toko berjalan ke bagian belakang toko, membutuhkan waktu untuk mencari permintaan sang calon pembeli yang belia dan banyak minta.

Lalu kamu bersemangat sekali mencoba, mematut diri berlama-lama di depan cermin, meminta komentar – sebenarnya pujian belaka – dari Sang Bunda tercinta. Bunda berbisik kepada penjaga toko, pasti tawar-menawar harga. Mahal. Tentu saja kamu menyerbu memeluk cium Bunda, siasat jitu agar sudahlah Bunda membayar saja. Bunda cantik deh. Dan itu selalu berhasil, anehnya.

Deal.

Tunggu. Kamu tak mau menerima sepatu yang baru saja kamu coba. Mengembalikan kepada penjaga toko yang masih sabar. Berkata jumawa seakan putri raja, “Kak, ambilkan yang masih bersegel ya. Aku ga mau sepatu yang sudah dicoba. Bau kaki orang lain.”

Sebuah upacara pembelian sepatu dengan urutan acara yang panjang dan sedikit melelahkan.

Nah, anakku. Jangan pernah menempatkan dirimu lebih rendah dari sepasang sepatu di toko. Jejeran sepatu indah dan mahal dipajang di etalase kaca, terkena butir-butir debu tersapu angin, disentuh dijamah tangan silih berganti, mungkin puluhan. Dicoba pakai para calon pembeli. Paskah ukurannya? Bertemu beraneka telapak kaki, yang mulus yang berbau juga yang berpanu. Toh betapapun lamanya memilih-milih model, warna, motif, ukuran dan menawar harga, pada akhirnya tetap saja sang pembeli akan meminta penjaga toko yang memang penyabar untuk membawakan sepatu dari gudang di bagian belakang. Sepasang sepatu yang plastik pembungkusnya masih utuh, kotaknya bersegel rapat, bersih harum, suci, belum terjamah siapapun. Tak ada yang mau sepatu bekas pakai orang lain, apalagi banyak orang.

Memilih sepatu seringkali ruwet dan berliku.

Kamu bukan sepatu, anakku. Jangan mau disentuh sembarangan, dijamah secara sembrono dan murahan. Apalagi dicoba dipakai lalu dicampakkan. Jadilah pilihan. Jagalah pembungkus dan amankan segelmu. Harga dirimu. Jangan pernah sekalipun merendahkan diri. Milikilah kehormatan sebagai kuncup-kuncup bunga yang wangi merekah tak terjamah. Sampai pada waktunya yang tepat kuncupmu sebenarnya memekar.

Kukabarkan ini pada kalian, anak-anakku, karena sungguh aku sayang kalian.

Selamat belajar.

@04-02-2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post