Ichsan Hidajat

Write. Just write....

Selengkapnya
Navigasi Web
Pale Entin

Pale Entin

Pale Entin

#Tantangan Menulis 30 Hari

#tantangangurusiana

Hari ke-18

Tidak banyak orang Betawi yang mengenal nama Mamat Klender. Apalagi bila dikaitkan dengan sosok jelita yang bernama asing Tinneke Allintine. Yang terakhir ini anak seorang soldaat di kantor gubernuran Batavia. Maklum, sang ayah, Sersan Maarseveen hanya prajurit rendahan, ya tapi di kantor gubernuran tugasnya.

Mamat juga cuma orang kampung biasa, rumahnya sembunyi di tengah kebun jagung dan pepaya. Sebagai pemuda kampung, tidak aneh kalau dia ikut-ikutan dalam gerakan rakyat yang berlagak sok berani punya nyali mau melawan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Awal 1900-an gerakan seperti itu sedang menjamur di kota-kota, apalagi di Batavia. Sekedar mencuri-curi informasi dari sekitar pos jaga, taman bunga tempat para pembesar minum teh dan di sudut gudang atau dapur gubernuran. Informasi sepele yang nanti suatu hari bisa diwartakan kepada Bang Panji atau Babe Sudin.

Dan mendapat pujian dari pemuda-pemuda lainnya.

Di situlah masalah bermula. Tak sengaja. pada suatu hari di jalan tembus dari kebun menuju dapur Mamat berpapasan dengan noni bule Tince alias Tinneke. Putih - putih sekali, pirang - punya rambut jagung, bangir, tinggi menjulang menjangkau puncak tanaman kembang. Dan senyumnya, duh, sangat menawan. Juga harum. Matanya biru kayak gundu.

Mamat sampai bengong melihat Tinneke muda yang sesekali mengganggu mpok-mpok menyiapkan masakan di dapur. Mamat, yang resminya pemasok sayuran, pernah dibentak mpok Romlah sewaktu tertangkap basah asyik mengintip-ngintip. "Dasar kampungan lu, Bocah. Kagak pernah liat yang bule. Kagak tau diri, lu."

Parahnya, Tinneke juga akhirnya penasaran dengan kehadiran tukang sayur muda di tengah berisik dapur, bulan lalu terlihat di antara tukang kebon dan penjaga yang tua-tua, minggu kemarin menampak di sekitar pedagang pasar.

Inlander sawo matang yang kelihatan bloon itu mulai sekilas-sekilas berkelebat dalam benak. Dan mengganggu pikirannya. Tinggi - lebih tinggi dari kebanyakan pemuda Batavia, kulitnya campuran antara coklat dan kopi. Juga bau rempah-rempah yang aneh dan menusuk hidung. Cengkeh? Suaranya jelas kampungan. Bunyi-bunyi lucu setiap Tince mencuri dengar obrolan orang-orang pribumi itu.

Mulailah Tinneke memgumpulkan informasi dari bisik-bisik mpok Romlah, mpok Siti dan bang Sabeni. "Anaknya baek, Non. Pinter ngaji. Rajin bantu-bantu di dapur. Rajin juge di kebon. Jualan di pasar. Noh buktinye. Sayuran dapur ampir semuanye die nyang ngirim. Ganteng juga. non. Ga kalah sama Letnan Dupree."

Sayang sekali, ternyata inlander itu mata-mata. Mpok Ati membisikkan itu langsung ke telinga Tinneke. Musuh. Jahat. Berbahaya. Bahkan pemberontak. Anak buah Otong dari Depok. Huh, ekstremis, kalo Papa bilang. Padahal sepertinya si Mamat bisa jadi teman baru. Bosan aku hampir tiap sore main dengan Maryance atau Lizzie. Dengan si Mamat pasti seru.

Eh, pikiran apa ini?

Pesta kebun hari Minggu pagi berlangsung dengan meriah. Pagi tadi sedikit gerimis tapi sekarang, lihatlah, langit cerah. Matahari baru merekah. Orang-orang pemerintahan dan militer dari daerah Pasundan dan Priangan Timur hadir. Malah juga dari kesultanan yang pakaiannya aneh tapi megah nan agung. Noni-noni teman Tinneke juga berkumpul. Kegembiraan menyambut musim semi di Nederland dirayakan di tanah tropis, aneh tapi tak apalah.

Namun Tinneke tak tenang ketika mpok Romlah berbisik hari ini bakal ada penangkapan ekstremis yang menyusup ke tengah pesta. Salah satunya tukang sayur. Si Mamat? Betulkah? Mau menyerang gubernur jenderal Van Ross? Ah. Tinneke sejak tadi sudah mengintip dan mencari-cari Mamat. Memang betul, Papa semalam berbisik hari ini prajurit rendahan harus lebih waspada. Ada tugas rahasia.

Tince alias Tinneke gelisah.

Benar saja. Penyergapan dilakukan di kebon belakang, tak jauh dari lokasi dapur. Ada informasi Mamat mencuri kertas catatan rahasia dari pos jaga. Mamat yang dianggap mata-mata dikepung oleh beberapa prajurit bersenjata lengkap. Ketika Mamat hendak mengeluarkan secarik kertas, salah seorang prajurit menyangka dia akan menarik senjata dari balik bajunya. Sang prajurit menembak ke arah Mamat yang tak sempat melawan, bahkan memang sedang tak memegang senjata apapun. Hanya secarik kertas daftar sayuran. Dengan bahasa Belande yang Mamat bener-bener kagak ngarti.

Yang terkapar justru Tinneke Allintine. Yang sedang cemas, yang sangat khawatir dan baru saja ingin memperingatkan Mamat. Gemparlah kantor Gubernuran. Letnan Dupree memerintahkan semua orang menutupi aib itu. Jenasah Tinneke dikuburkan di kebun itu siang itu juga, tanpa upacara berlebihan. Tak satu pun tamu boleh tahu tentang penembakan. Apalagi perihal siapa yang jadi korban. Informasi tak boleh tersebar keluar. Sekecil apapun.

Hanya Mamat yang kemudian mendadak jadi gila. Betapa tidak. Ia melihat dari jarak yang amat dekat Tinneke tertembak tepat pada pelipis kanan. Tembus ke batok tengkorak kepalanya. Tersungkur di antara tumpukan sayuran. Darah perempuan muda cantik itu muncrat ke tanah. Bercampur hijau beraneka segar sayuran, wortel oranye dan bunga-bunga terutama petikan segar mawar merah.

Sejak kejadian tragis itu Mamat sering mendadak kehilangan kesadaran, berteriak-teriak, meracau dan mengamuk atau bahkan menangis. Sinting dia. Sangat mengganggu, tentu saja. Memanggil-manggil Tin atau Tinneke atau kadang Entin. Orang kampung kewalahan dengan ulahnya. Sampai akhirnya ia dimasukkan ke sel bawah tanah, di bawah kantor gubernuran.

Nah, siapa yang bisa mempercayakan rahasia kepada ibu-ibu, mpok-mpok kampungan yang mulutnya selalu menyimpan banyak rahasia? Tidak ada. Berita dengan cepat beredar, tersebar dan menyebar, ke segenap penjuru gubernuran, bocor ke luar gubernuran, ke seluruh Betawi bahkan sampai ke pelosok Tangerang dan Depok. Tentang none Belanda yang kena tembak. Dibumbui kisah persahabatan Mamat-Tinneke, versi lain romantisme kisah cinta dua insan beda bangsa yang sebenarnya bahkan belum bermula.

Orang-orang Betawi mengenang peristiwa itu dengan sebutan Pale None Belande. Maksudnya kepala Tince malang yang kena tembak. Ada juga yang menyebutnya Pale non Tince. Tapi yang semakin populer adalah sebutan Pale si Entin, harap maklum orang kampung, lidah lebih gampang menyebut Entin daripada Tince atau Tinneke.

Sekarang sebutannya Pale Entin. Atau Palentin.

Sebagian mpok-mpok itu menyebar kabar, "Kalo kagak saleh nih, kejadian nye tanggal 14 Pebuari. Bener, Bang. Tanggal 14."

Benar tidaknya kabar itu, ah, namanya juga mpok-mpok dapur. Maklumin aje deh.

@19022020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren sekali Pak salam kenal sehat n sukses selalu

19 Feb
Balas

Salam kenal. Terima kasih atas doanya

19 Feb



search

New Post