Ida Arijani

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

KARENA MEMBERI ITU ADALAH SUATU KEKUATAN

Untuk kesekian kali jalan pikiranku belum bisa menerima hal-hal yang mendasari bapak dan ibu mertuaku melakukan banyak hal. Sering kukernyitkan dahiku , sesekali ngedumel dan menganggap beliau tidak praktis, kuno, bahkan yang lebih ekstrim melakukan hal yang sia-sia.

Akhirnya kubiarkan saja apa yang sudah menjadi keyakinan beliau. Aku punya alasan untuk tidak setuju terhadap apa yang selalu beliau lakukan. Mengirim paket buah dan apapun yang ingin dikirim ke adik-adik di Jakarta. Okelah, kalau barang-barang itu tahan lama dan bebannya tidak begitu berat. Barang-barang yang dikirim itu buah, mangga , petai atau jambu. Beras wulu ,disisipi ikan asin, sambel pecel,kacang goreng, emping, dan loncis mentah.

Buah-buahan yang dikirim tidak jarang mayoritas membusuk ketika sampai tujuan, dan beras yang biaya pengirimannya jauh lebih mahal dari harga yang sebenarnya . Semua tidak pernah menghentikan niat bapak ibu dan mengevaluasi pengiriman itu. Bukan iri sebagai putra yang lainnya, tapi kemubaziran banyak hal terutama tenaga waktu itu yang mengganggu benakku. Karena kalau sakit, lebih banyak ekses yang timbul terutama bagi yang tinggalnya berdekatan. Mencari barang-barang yang akan dipaketkan, mencari kardus, membungkus dengan rapi sampai harus ke agen pengiriman yang jaraknya lumayan jauh.

Pernah hati-hati kuberanikan diri untuk bertanya, karena begitu takut membuat beliau tidak berkenan. “Bu, kenapa harus memaketkan semua itu ? bukannya di Jakarta yang seperti itu juga banyak”. Tapi apa jawaban beliau “ Di Jakarta tidak ada yang seperti ini, apalagi beras di sana sudah tercemar dan jarang yang organik”. Kalau sudah mendengar jawaban seperti ini, aku paling mengangguk entah mengerti atau tambah bingung. Bagiku asal beliau berdua sehat dan selalu ceria adalah hal yang sangat membahagiakan. Tetaplah seperti itu, karena doa-doamu menjadi penguat langkah kami nggulawentah cucu-cucumu.

Hal yang aku setujui , bahkan kusarankan adalah untuk tidak lagi bertransaksi dengan tukang tebas, yang rayuannya sering membuat bapak dan ibu nggregeli. Setiap panen buah apapun adalah alat berinvestasi dengan akhirat. Segala hasil tanaman biarlah, tetangga dan famili yang menikmati. Dari mangga, rambutan, apokat, aneka sayuran, ketela pohon biarlah menjadi bekal bapak ibu nanti.

Jalan pikiran yang tidak praktis lagi, adalah ketika adik – adik pulang harus menjemput dan mengantar ke stasiun atau bandara pagi dini atau malam hari. Bukannya bisa menggunakan taksi yang biasa atau online, lebih praktis. Tidak jarang ketika karena kesibukan, kami harus beralasan , kulihat roman kecewa yang mendalam. Kemudian beliau ke tetangga untuk meminta bantuan dengan biaya berapapun. Itu yang membuat ngga enak hati dan sungkan. Ketika mengantar ke bandara yang diantar sudah sampai Jakarta, yang mengantar masih mengurai kemacetan atau malah masih putar-putar kota cari makan.

Ketika pulang kerja kusempatkan untuk mampir karena hanya terpaut satu gang dari rumah kami. Ada saja yang ditawarkan dan harus kubawa pulang. Serasa belanja di pasar . Makanan-makanan yang ditawarkan lebih banyak hantaran dari tetangga atau famili. Ibu selalu menasihatiku bahwa rejeki itu seperti sumur. Semakin sering diambil semakin bening dan semakin besar sumber airnya. Maka dari itu ibu tak pernah lelah memberi , tanpa mengharapkan balasan .

Ketika aku membawakan oleh-oleh atau apa saja bukan pujian yang kudapatkan tapi sederet perkuliahan manajemen ekonomi tingkat dasar. “ Sudah ngga usah beli apa-apa untuk Bapak Ibu. Uang ditabung untuk keperluan lain atau beli tanah”. Kalimat itu seperti template yang selalu diulang-ulang.

Tentang hidup bertetangga, diperkenalkan aku dengan falsafah “Luwih becik pager mangkok daripada pager tembok”. Falsafah yang selalu didengungkan. Tetanggalah yang sebenarnya ikut menjaga tempat tinggal, mereka juga pertama ada ketika kita tertimpa suatu hal. Secuil makanan bisa mendekatkan hati dan menimbulkan kasih sayang.

Saat usia kian berpacu, seiring warna perak memenuhi mahkotanya. Tetap kukuh dengan falsafah-falsafah sederhana yang mulia. Meski energinya terlihat rentan ada kasih yang membuatnya untuk selalu memberi , karena itulah adidayanya. Implementasi perhatian dan kasih sayang adalah sumber kekuatannya.

Ternyata jalan pikiranku belum mampu menjangkau pola pikir temuwo yang sarat kasih sayang. Prasangka naif membuat aku harus lebih banyak bercermin dan bercermin.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Membaca tulisan ini mengajsk saya pada kenangan ibuku tercints, betapa kuatnya rasa berbaginya pada orang-orang yang dicintai.

18 Jan
Balas

Ibu tempat rahim atau kasih sayang bersemayam Bu. Beruntunglah kita sebgai seorang ibu. Karena memberi merupakan sebuah kebutuhan .

18 Jan

Josss...

18 Jan
Balas

Makasih Pak Wid

18 Jan
Balas

Membaca tulisan mbk Ida sy jd bs belajar byk ttg hidup dan kehidupan...mksh mbk Ida

20 Jan
Balas



search

New Post