Idris Apandi

Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat...

Selengkapnya
Navigasi Web
PENGUATAN GERAKAN LITERASI PADA JENJANG SEKOLAH DASAR
Gerakan literasi di SD harus diperkuat. (Foto : http://1.bp.blogspot.com/)

PENGUATAN GERAKAN LITERASI PADA JENJANG SEKOLAH DASAR

PENGUATAN GERAKAN LITERASI PADA JENJANG SEKOLAH DASAR

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar/KPLJ)

Gerakan Literasi Sekolah (GLS) saat ini tengah dilakukan oleh pemerintah pada berbagai jenjang pendidikan, tidak terkecuali pada jenjang Sekolah Dasar (SD). SD merupakan awal dari pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun, sehingga gerakan penumbuhan minat baca sangat strategis untuk dilakukan. Walau demikian, sebelum masuk SD, ada anak-anak yang telah cukup akrab dengan buku pada masa Pendidikan Usia Dini (PAUD).

Optimalisasi gerakan gerakan literasi pada jenjang SD perlu didukung dan dioptimalkan. Kegiatannya fokus pada penumbuhan dan pembiasaan membaca. Harapannya, ketika seorang siswa sudah terbiasa membaca sejak dini, maka pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bahkan setelah bekerja dan berkeluarga pun menjadi manusia yang hobi membaca. Dengan kata lain, pembiasaan membaca di SD akan menjadi fondasi pada seorang siswa. Ketika membaca telah menjadi hobi, maka hal tersebut akan dilakukan dengan penuh suka cita dan penuh cinta.

Pentingnya optimalisasi gerakan literasi pada jenjang SD didasarkan pada masih rendahnya literasi pada jenjang tersebut. Berdasarkan hasil test Indonesian National Assessment Programme (INAP), Tes yang mengambil sampel siswa kelas 4 di 34 provinsi menunjukkan bahwa Kemampuan literasi membaca, literasi sains, dan literasi matematika siswa masih sangat rendah.

Pada literasi membaca, siswa memperoleh skor rendah pada domain kognitif C3 (menginterpretasi dan mengintegrasikan ide dan informasi), yaitu 29.65, dan C4 (mengevaluasi konten, bahasa, dan elemen-elemen teks), yaitu 22.25. Siswa tampak kurang menguasai teks sastra yang dibuktikan dengan rendahnya skor membaca teks ini (27.65) dibandingkan dengan teks nonsastra (43.34). Siswa kesulitan membaca teks panjang yang biasanya diberikan pada topik bacaan sastra dan teks terkait ranah C3 dan C4. Namun demikian, siswa mampu menjawab pertanyaan terkait lingkungan terdekatnya dengan baik. Siswa kesulitan menjawab pertanyaan yang menuntut penafsiran, kemampuan memparafrase teks bacaan, dan imajinasi (misalnya pertanyaan terkait perasaan tokoh cerita). Selain itu, pertanyaan mengandung istilah teknis juga sulit dipahami.

Pada literasi matematika, kemampuan penalaran matematika siswa rendah, terutama pada pemahaman konsep matematika, penerapan, dan penalaran matematika. Hal ini membuktikan bahwa pengajaran matematika masih belum bermakna dan kurang terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa. Siswa juga kesulitan memahami representasi visual atau model dalam penjabaran konsepsi matematika.

Pada literasi sains, Siswa kesulitan memahami dan menginterpretasi gambar terkait konsepsi saintifik fisika dan ilmu hayat. Sama halnya dengan matematika, kemampuan siswa dalam penerapan dan penalaran saintifik masih lemah. Meskipun siswa menunjukkan pemahaman terhadap soal yang terkait dengan kehidupan sehari-harinya, siswa kurang memahami konsep secara bermakna dan masih terpaku pada penjelasan pada buku teks.

Berdasarkan kepada hal tersebut di atas, maka Pembelajaran literasi di SD diperlukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap teks bacaan dalam semua mata pelajaran dan meningkatkan kemampuan berpikir tinggi siswa (Higher Order Thinking Skill/HOTS).

Gerakan literasi pada jenjang SD dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama, masih terbatasnya perpustakaan. Dirjen Dikdasmen dalam kesempatan memberikan sambutan pada kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Tim Pengembangan Kurikulum 2013 SD di Hotel Allium Tangerang tanggal 14 Maret 2017 mengatakan bahwa masih ada 40% SD yang belum memiliki perpustakaan. Walaupun ada, perpustakaan kadang kurang representatif, seadanya, tidak ada ruangan khusus. Hanya menggunakan ruangan yang disekat, dihalangi oleh lemari buku.

Ada sekolah kalaupun memiliki ruang khusus perpustakaaan, tapi koleksinya bukunya terbatas, sudah lama tidak menambah koleksi buku baru, kurang terawat, berdebu, dan tidak memiliki petugas khusus. Bahkan kadang ada buku yang segelnya belum dibuka. Saya suka melihat, buku-buku bagus seperti ensiklopedia justru bukan berada di perpustakaan, tapi di ruang Kepala Sekolah. Hal ini tentunya mengurangi akses siswa untuk membaca buku. Koleksi buku-buku yang tidak ada penambahan, berdampak pada rendahnya minat siswa untuk berkunjung ke perpustakaan.

Kedua, manajemen perpustakaan yang belum optimal. Sekolah-sekolah yang memiliki perpustakaan belum memiliki tenaga pustakawan yang khusus. Pengelolaan perpustakaan diserahkan kepada salah seorang guru atau tenaga administrasi, dan belum tentu pula memiliki dalam keilmuan mengelola perpustakaan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya personil di sekolah sehingga memanfaatkan personil yang ada.

Ketiga, masih adanya anggapan bahwa urusan literasi hanya menjadi tanggung jawab guru bahasa. Anggapan ini muncul karena seolah-olah literasi adalah urusan baca dan tulis yang identik dengan pekerjaan guru bahasa, sedangkan guru yang lain, kurang memiliki kepedulian. Padahal, literasi bukan hanya berkaitan dengan aktivitas baca dan tulis saja (keberaksaraan), tetapi juga berkaitan dengan kemelekan (keberpahaman) pada berbagai aspek kehidupan seperti sains, teknologi, informasi, hukum, seni, budaya, kesehatan, ekonomi, lalu lintas, olah raga, agama, lingkungan, dan sebagainya.

Ketiga, masih rendahnya dukungan berbagai pihak terkait terhadap pengembangan budaya literasi. Akibatnya, pelaksanaan kegiatan literasi di sekolah terseok-terseok, dan tidak berjalan dengan optimal. Kegiatan literasi dianggap menambah pekerjaan guru yang sudah padat. Anggapan tersebut muncul karena kegiatan literasi diarahkan kepada teknis administratif, dan prosedural. Guru harus membuat berbagai administrasi dalam kegiatan literasi, sementara hal yang bersifat mendasar, yaitu menumbuhkan kebiasaan membaca kepada siswa kurang tersentuh. Akibatnya, kegiatan literasi yang dilaksanakan seolah tanpa ruh, penuh dengan seremonial dan formalitas.

Berdasarkan kepada beberapa hal tersebut di atas, maka perlu ada langkah-langkah yang dilakukan sebagai solusi mengatasi masalah tersebut. (1) pengadaan dan melengkapi sarana, dan menata lingkungan perpustakaan, (2) menambah koleksi buku-buku perpustakaan, utamanya buku-buku fiksi, (3) pelatihan bagi staf perpustakaan, (4) adanya sosialisasi gerakan literasi kepada semua warga sekolah (Kepala Sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa) orang tua, dan komite sekolah.

Untuk mendukung penguatan GLS pada jenjang SD, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, pertama, secara fisik, lingkungan sekolah kondusif menjadi “sekolah ramah literasi”. Misalnya dengan tersedianya perpustakaan, sudut baca, mading, dan sebagainya. Kedua, lingkungan sosial yang mendukung implementasi GLS. Adanya budaya suportif dan apresiatif terhadap para pelaku GLS dan prestasi yang dicapai oleh siswa. Dan ketiga, semua warga sekolah mendukung implementasi GLS. Dengan demikian maka, akan terjadi sinergi dan kerjasama yang efektif dalam mewujudkan manusia Indonesia yang literat.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post