STRUKTUR PERCAKAPAN DAN SELUK - BELUKNYA
Dalam menjalani hidup tentunya kita tidak lepas dari sangkut paut manusia yang lain. Dasarnya manusia adalah saling membantu dan saling mengingatkan untuk itu saat sekolah selalu diajarkan bahwa kita adalah makhluk sosial yang mempunyai arti bahwa kita akan kesulitan jika hidup tanpa membantu dan dibantu orang lain.
Diperlukan cara agar dalam penyampaian dapat memberikan maksud dan tujuan bisa dipahami kepada sesama manusia. Ada banyak cara salah satunya adalah percakapan. Percakapan adalah prosesi penyampaian antar manusia yang mempunyai tujuan.
Terdapat banyak cara yang dapat dipakai untuk memperlihatkan suasana dari suatu percakapan berlangsung. Brown dan Yule (Suhartono dan Yuniseffendri, 2009), misalnya, menggambarkan percakapan sebagai kegiatan seperti yang dilakukan oleh seseorang yang diminta menunjukkan arah jalan di sebuah kota yang tidak dikenal oleh petutur. Secara kooperatif ia akan mulai menjelaskan arah jalan dari tempat ia ditanya dan kemudian mencoba menggambarkan rutenya secara berurutan. Dengan sikap kooperatif ia berupaya menjelaskannya secara runtut agar pendengar dapat mudah memahami.
Agar dalam percakapan sesuai dengan fungsinya maka terdapat urutan untuk menggambarkan percakapan terlihat teratur.
Dalam percakapan, penutur yang mematuhi prinsip kerja sama berusaha menyampaikan gagasannya sesuai dengan sub-submaksim dalam maksim cara. Agar penutur dapat berusaha menyampaikan tuturannya dalam bentuk singkat dan teratur.
Jika terdapat masalah sulit dipahami maka dalat menggunakan cara seperti alur tuturan tertentu, misalnya sebelum hal-hal yang sulit disampaikan, penutur menyampaikan hal-hal yang mudah dipahami. Hal itu berarti penutur menggunakan alur mudah ke sulit. Penutur juga dapat menggunakan alur yang lain, misalnya klimaks (dari yang berkadar rendah ke tinggi), antiklimaks (dari yang berkadar tinggi ke rendah), umum ke khusus, khusus ke umum, dan konkret ke abstrak. Sebagai contoh, seperti yang disampaikan Suhartono dan Yuniseffendri (2009), penutur dapat menggunakan alur umum ke khusus.
Dalam melaksanakan percakapan, strategi bertutur juga merupakan hal yang diperhatikan oleh penutur dalam menyampaikan tuturannya. Suhartono (2005), strategi penyampaian tuturan dapat berupa strategi (1) berbasis tuturan dan (2) berbasis partisipan.
Strategi bawahan pada strategi berbasis tuturan mencakup :
(1) strategi penggunaan alasan,
(2) strategi penggunaan petunjuk asosiasi,
(3) strategi ironi,
(4) strategi generalisasi,
(5) strategi metaforis,
(6) strategi pertanyaan retoris,
(7) strategi tautologi,
(8) strategi elipsis,
(9) strategi prasekuensi,
(10) strategi tanya balik,
(11) strategi pernyataan kurang, dan
(12) strategi pernyataan lebih.
Strategi bawahan pada strategi berbasis partisipan mencakup Strategi penggantian petutur dan Strategi terminalisasi. Untuk menjelaskan realisasi strategi-strategi tersebut.
Substansi strategi terminalisasi mempunyai arti menurut pendapat Suhartono (2005), adalah (1) penutur bermaksud menyampaikan tujuan ilokusinya kepada orang lain melalui petutur dan (2) penutur mengedepankan kesantunan. Dalam strategi terminalisasi, maksud penutur ditujukan kepada orang lain melalui petutur dengan mekanisme petutur kemudian meneruskannya kepada orang lain tersebut.
Bentuk tuturan menurut Leech (1983) dan Yule (1998) (Suhartono, 2019), bentuk tuturan dapat dikelompokkan ke dalam sepuluh jenis :
(1) Tuturan Berpagar.
Tuturan berpagar adalah tuturan yang penutur tidak yakin bahwa proposisi yang disampaikannya benar.
(2) Tuturan Performatif Lesap.
Tuturan performatif lesap adalah tuturan yang penutur melesapkan verba ilokusi.
(3) Tuturan Performatif yang diperluas.
Tuturan performatif yang diperluas adalah tuturan yang verba performatifnya diturunkan dari konteks tuturan.
(4) Tuturan Oratio Obliqua.
Tuturan oratio obliqua adalah tuturan yang mengandung dua situasi tutur, yakni situasi tutur primer dan situasi tutur sekunder.
(5) Tuturan Hibrida,
Tuturan hibrida adalah tuturan yang mempersyaratkan kehadiran minimal dua konstruksi kalimat yang ciri gramatikalnya berbeda.
(6) Tuturan Bereferensi dan Beratribut.
Tuturan bereferensi dan beratribut adalah tuturan yang berkonsentrasi pada sifat referensi nomina yang terdapat dalam tuturan.
(7) Tuturan Berdeiksis.
Tuturan berdeiksis adalah tuturan yang acuan konstituennya berubah-ubah.
(8) Tuturan Berstruktur Pilihan.
Tuturan berstruktur pilihan adalah tuturan yang erkonsentrasi pada sifat hubungan antara tuturan penutur dengan respons verbal dan nonverbal (khususnya “diam”) petutur.
(9) Tuturan Berilokusi Bersyarat.
Tuturan berilokusi bersyarat adalah tuturan yang menunjukkan bahwa penutur menanyakan sesuatu dengan tujuan tertentu.
(10) Tuturan Bernegasi.
Tuturan bernegasi adalah tuturan yang berkonsentrasi pada eksistensi penanda negasi dalam suatu tuturan.
Beberapa pakar menggunakan metafora tertentu untuk mendeskripsikan struktur percakapan. Satu di antaranya adalah bahwa percakapan dianalogikan sebagai kegiatan bisnis. Dalam bisnis terdapat istilah the floor yang dapat diartikan sebagai hak untuk berbicara. Dalam praktik berkomunikasi, hak berbicara antarpartisipan sama. Akan tetapi, sering muncul fenomena bahwa realisasi hak tersebut tidak sama, yakni ada partisipan yang dominan dan yang tidak dominan. Hal itu, menurut Yule (1998), disebabkan oleh perbedaan gaya komunikasi antarpartisipan.
Gaya komunikasi partisipan dalam pandangan Yule dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yakni gaya keterlibatan tinggi (high involvement style) dan gaya bepertimbangan tinggi (high considerateness style). Dalam gaya keterlibatan tinggi penutur berbicara cepat, hampir tidak ada jeda (pausing) antargiliran, terdapat tumpang tindih (overlap) tuturan, dan terjadi pengambilan giliran milik petutur. Gaya yang demikian biasanya dimiliki oleh pribadi-pribadi extrovert. Kebalikannya, dalam gaya bepertimbangan tinggi, penutur berbicara lambat, terdapat jeda yang lama antargiliran, tuturan tidak bertumpang tindih, tidak terdapat pengambilan giliran milik petutur, tanpa interupsi, dan penutur tidak menjatuhkan petutur (non-imposing). Gaya yang demikian biasanya dimiliki oleh pribadi-pribadi introvert.
Yule juga menyatakan bahwa bila penutur yang secara tipikal menggunakan gaya pertama berbicara dengan petutur yang menggunakan gaya kedua, pembicaraan cenderung menjadi berat sebelah (one-sided). Gaya pertama cenderung mendominasi (overwhelm) gaya kedua. Pengguna gaya pertama mungkin berpikir bahwa pengguna gaya kedua tidak memunyai banyak hal yang harus dikatakan, pemalu, dan barangkali bosan atau bodoh. Kebalikannya, dia mungkin dipandang cerewet, penekan, pendominasi, egois, dan membosankan (tiresome).
Hal lain yang menarik dicermati adalah bahwa dalam percakapan yang panjang biasanya terdapat beberapa topik (hal yang dibicarakan atau pokok bicaraan). Sesuai dengan prinsip sekuensi yang diuraikan di depan, topik-topik percakapan perlu ditata dan ditandai sedemikian rupa agar hubungan dan pergeserannya jelas serta mudah dipahami. Penataan atau pengaturan topik dalam percakapan lazim disebut topikalisasi (Suhartono dan Yuniseffendri, 2009).
Topikalisasi dalam percakapan ditandai oleh isyarat-isyarat intonasi yang menandai permulaan paraton. Pada umumnya, intonasi yang digunakan lebih tinggi daripada paa bagian lain.
Akan tetapi, penutur tidak selalu melakukan hal tersebut untuk semua paraton dalam percakapan yang dilakukannya. Untuk paraton tertentu, mungkin penutur menggunakan isyarat intonasi sebagai tanda topikalisasi, sementara untuk paraton yang lain ia tidak menggunakan hal tersebut.
Penanda lain yang potensial digunakan adalah ungkapan pengantar untuk memberitahukan apa yang secara khusus ingin dibicarakannya. Ungkapan pengantar itu secara fonologis dibuat menonjol dan seluruh klausa atau kalimat pertama dalam paraton diujarkan dengan nada yang ditinggikan sehingga tampak berbeda bila dibandingkan dengan klausa atau kalimat lain.
Bila pada awal paraton penutur menggunakan penanda tersebut, pada akhir paraton penutur merendahkan nada, menghilangkan amplitudo, dan memanjangkan jeda dengan irama dan ritme yang jelas sehingga mudah diamati. Penanda akhir paraton yang paling konsisten pada umumnya adalah jeda panjang, biasanya lebih dari satu detik (Brown dan Yule dalam Suhartono dan Yuniseffendri, 2009)
Pada umumnya, hal-hal kinestetis dari anggota badan tersebut reflektif sehingga penutur tampak tidak sadar ketika melakukannya. Hal lain yang tampaknya juga tidak disadari dalam pergeseran topik adalah penggunaan berbagai selingan pengisi (fillers), misalnya “baiklah”, “emmm”, dan “okelah”.
Berbagai selingan tersebut tampaknya merupakan bagian idiosinkratis sehingga antarpenutur memiliki ekspresi yang berbeda baik dari segi jenis maupun frekuensi.
Untuk itu dalam membahas ilmu mengenai percakapan memiliki cakupan yang sangat luas sehingga dapat dikatakan bahwa ilmu bahasa tidak bisa diremehkan begitu saja. Harus tetap belajar dan berani belajar supaya nantinya saat berkomunikasi dapat musyawarah mufakat dalam menentukan arti dari kata yang dikeluarkan dari mulut maupun hasil tulisan tangan.
Rujukan :
- Suparno. 1994. Bahan Ajar Analisis Wacana. Malang : IKIP Malang
- Yule, G. 1998. Pragmatics. Oxford University Press
- Suhartono dan Yuniseffendri. 2009. Pragmatik. Jakarta : Universitas Terbuka Press
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar