Ihah Parihah

Lahir di Kuningan Jawa Barat tanggal 26 Juli, Ihah Parihah bercita cita menjadi penulis sejak kecil. Putri ke tiga dari ayah KH. Imam Nawawi dan Ibu Tit...

Selengkapnya
Navigasi Web

SISI LAIN WISATA RELIGI MESJID AGUNG BANTEN

Ihah Parihah

Minggu, 12 Januari lalu, saya bersama rombongan sekolah berniat untuk berwisata religi dengan berziarah di daerah Banten. Berangkat menggunakan bis pukul 07.00 pagi, kami tiba di tujuan sekitar pukul 09.00 WIB. Perjalanan lancar tanpa macet. Cuaca pagi hingga sore cerah, padahal satu minggu ini hujan hampir turun setiap hari. Perbekalan berupa payung dan jas hujan pun akhirnya tidak terpakai.

 

Salah satu destinasi wisatanya adalah Mesjid Agung Banten. Selain bangunannya terlihat megah, Mesjid Agung Banten dijadikan ikon sejarah bagi perkembangan Islam di provinsi Banten. Terletak di desa Banten, Kecamatan Kasemen, Banten Lama, berjarak sekitar 10 km dari Kota Serang. Masjid Agung Banten dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin tahun 1556. Sultan pertama dari Kesultanan Banten dan merupakan putra pertama Sunan Gunung Jati. Meninggal pada tahun 1570, Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya dimakamkan di lingkungan Masjid. Terdapat juga makam Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Mualana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin. Selebihnya adalah makam keluarga dan Ulama Banten lainnya.

 

Bangunan masjid dilengkapi Menara setinggi 24 meter yang berdiri megah. Lantai alun-alunnya kini dilapisi batu marmer dan terdapat delapan payung besar mirip dengan Masjid Nabawi di Madinah. Keberadaannya dijadikan tempat pengunjung berswafoto bersama. Jika dilihat dari gerbang depan, terlihat kemegahan dan kesahajaan bangunan masjid yang merupakan kebanggan masyarakat Banten.

 

Karena bis kami parkir di terminal belakang, maka rombongan pun memasuki tempat ziarah dari pintu belakang. Perjalanan dari tempat parkir melewati pasar oleh-oleh. Barisan pedagang menjajakan dagangan khas oleh-oleh Banten. Warung makan sederhana lengkap dengan menu makan siang, jadi tidak perlu repot-repot membawa bekal nasi. Siapkan saja uang jajan lebih, karena harga yang ditawarkan katanya agak mahal jika dibanding di tempat lain. Untuk satu potong cumi ukuran besar, dibandrol Rp. 35.000. Untungnya kami dipesankan untuk membawa bekal dari rumah, jadi lebih hemat. Sebenarnya harga tersebut normal-normal saja jika rasanya memuaskan.

 

Oleh-oleh yang ditawarkan cukup beragam, mulai dari emping melinjo, petai, buah sawo, kacang kacangan arab, kismis, kopiah, cendera mata, pakaian dengan sablon gambar Mesjid Agung, durian dan lainnya. Pedagang menawarkan dengan harga murah, namun tidak satu pun menarik perhatian saya, karena barang-barang tersebut bisa dengan mudah dibeli di pasar dekat rumah. Ada sesuatu mencuri perhatian saya, kehadiran anak-anak pencari sedekah yang datang menghampiri. Penampilan mereka kotor dan kumal, rambut kusut, tanpa alas kaki terus merapat dan menarik tangan salah satu rekan guru. Seperti setengah memaksa, terus mengikuti hingga kami masuk pasar.

 

“Silakan, kalau mau dikasih uang, siapkan juga untuk yang lainnya. Karena kalau kita memberi satu, maka yang anak lainnya akan mengikuti.” Pesan salah satu guru.

 

Memasuki pintu gerbang tempat berziarah, kami harus melepas alas kaki. Sepatu sandal dimasukkan kantung plastik agar tidak hilang. Jadi jangan heran jika sepanjang jalan tadi banyak pedagang menjajankan kantung plastik dan air mineral. Selain anak yang kami temui di terminal tadi, ternyata di dalam lebih banyak lagi para peminta sedekah. Dari mulai anak-anak, orang dewasa sampai kakek nenek. Ada yang hanya duduk di emperan sambil menengadahkan tangan, ada pula yang menjaga kotak amal sambil terus memukul kotak dan mengajak para peziarah untuk bersedekah. Awalnya kaget karena mereka setengah berteriak-teriak sambil tidak henti memukul kotak amal. Jumlahnya bukan hanya satu, lebih dari sepuluh dan berada di tengah lorong menuju mesjid.

 

Setelah berwudlu, kami bergabung dengan peziarah lain yang sudah duduk di area makam sambil membaca Surat Yasin dan Tahlil. Tujuannya untuk mendo’akan arwah keluarga dengan bertawatsul melalui karomah yang dimiliki para Ulama yang dimakamkan di mesjid itu. Setiap sudut mesjid dipenuhi para peziarah bersama pimpinannya masing-masing. Terlihat di satu sudut sangat ramai. Seorang penceramah tengah berdakwah dikelilingi jemaah. Tanpa pengeras suara, tapi cukup terdengar jelas. Sudut lainnya terlihat seorang tengah membagikan air dari sebuah gentong.

 

Pengunjung yang berdsak-desakan memaksa saya untuk terus bergerak agar tidak tertabrak peziarah lain. Tujuan selanjutnya kami menuju menara dan hendak berfoto bersama di bawah payung besar di tengah alun-alun. Cuaca terik tidak menyurutkan kami untuk berswafoto mengabadikan moment kebersamaan di tempat semegah Mesjid Agung Banten.

 

#TantanganGurusiana

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post