Judul buku = Konferensi Musim Sejagat

Penulis = Setyaningsih & Naimatur R

Peneebit = Kampungnesia Solo

Cetakan = 2018

Perihal buku anak, mata anak-anak langsung mendeteksi gambar yang ada di sampul buku. Visual mereka tak luput dari ketertarikan pada gambar. Sampul yang lucu dan berwarna di buku konferensi Musim Sejagat membuat mereka ingin segera memiliki dan membuka isinya. Lirikan pertama sungguh begitu mempesona, begitu kata penyair pinggir kali.

Kota Pepe, Na’imatur Rofiqoh menyeret ingatan kita pada kali, sungai kecil di kota yang berwajah keruh, sampah menggunung dan bau. Naim mengumpamakan kehidupan sungai yang (mulanya) perawan menjadi lakon apik dengan meletakkan sebuah kehidupan kota dasar sungai. Mengisahkan tokoh-tokoh ikan yang memanusia dan mencoba menghadapi situasi seperti halnya manusia. Datangnya monster sampah yang merusak kota dan alih-alih membuat mereka bermigrasi ke tempat yang aman.

Dalam kesempatan lain, anak pertama saya lebih menyukai Idan Takut Air karena pengalaman pribadi pembaca yang sama terhadap isi cerita. Dia menangkap kegelisahan Idan sama persis dengan kegelisahannya menolak permintaan Ibu yang mustahil ditampik, demikian katanya. Sedangkan Konferensi Musim Sejagat, membawa imajinasi kita pada para dewa yang berperan besar terhadap kelangsungan hidup bumi manusia. Para dewa tetap masih bermasalah dengan ulah manusia, dan pembaca dibuat untuk mikir betapa meruginya manusia. Dan Naim memaksa pembaca untuk tidak benar-benar mengakhiri cerita dan membiarkan pembaca melengkapi ceritanya sendiri.

Lattar kali, sungai kecil yang melata di pinggir-pinggir kampung di kota terus dihidupkan oleh Setyaningsih. Hantu Sampah menjadi favorit bacaan anak kedua saya. Kondisi yang tak jauh beda dijalani oleh anak-anak di kota yang berkurang jiwa ‘mbolang’nya. Mereka yang kekurangan lahan bermain harus berebut tempat dengan pengguna jalan kampung yang berseliweran. Alhasil, mereka terpaksa ‘mbolang’ di kali yang banyak hantu sampahnya. Namun, asyiknya anak saya lebih suka hantu sampah dalam arti bukan tersirat, justru benar-benar hantu yang terganggu karena banyak sampah di kali. “Kasihan hantunya ya bu”, begitu bilangnya.

Cerita Vionisa dan Kedip, Setya juga kembali membikin kita pengen ciblon dan keceh di kali. Si kedip yang berasal dari sungai di desa yang masih jernih, terlihat kangen pengen kembali ke habitatnya. Jika banyak ikan di akuarium diajak ngobrol dan ditanya, apa kamu pengen kembali ke habitat asli?, mungkin mereka ada yang menolak kembali ke kali. Sungguh kemerdekaan itu butuh persiapan dan pelajaran. Mereka bisa mati kaget karena tiba-tiba mendadak merdeka, begitu kata Putu Wijaya di salah satu cerpennya ‘Kemerdekaan’ (Zig-Zag :1996).

Di Pohon Detektif, Setya berseru-seruan dengan geng anak-anak yang terobsesi dengan cerita detektif. Cerita ini ditulis mungkin dimaksudkan untuk memberi motivasi pada anak-anak yang sudah kehilangan gairahnya dengan permainan anak kolektif yang edukatif dan bermoral. Ditilik dari kondisi saat ini, anak-anak sudah jarang berinteraksi seperti dalam cerita karena menjamurnya gawai dan game on-line. Disadari atau tidak, permainan modern itu kalah seru dengan bermain petak umpet, gobaksodor atau detektif-detektifan. Berbahagialah orang-orang yang telah merasakan keseruan main di pinggir kali (yang masih bersih) atau bahkan mencari ikan untuk lauk di rumah. Beberapa pesan moral disampaikan kedua penulis secara implisit, tak menggurui dan tak ragu-ragu.

(Nuraini : penikmat buku, guru, penulis cerita anak)