Iin Nuraini

SEORANG GURU KELAS DI KOTA SOLO...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sepayung Hitam

Sepayung Hitam

Payung. Warna-warni payung yang berjalan di sepanjang jalan mulai mengkerucut ke arah makam. Gerimis siang ini membawa keranda Pak Tua ini ke tanah asalnya. Orang-orang berkerumun mengelilingi gundukan tanah basah. Sambil membawa keranjang bunga, mereka mulai mengaji. Imam masjid Pasar Tegalmulyo yang tegap dan bersuara serak itu memecah kesunyian. Ngiang di telingaku mulai meracau. Mulutku komat-kamit dan mengamini secara jamaah. Seperti saat pak guru mengajar di depan kelas, suaranya hanya serampangan aku dengar. Pun saat ini, dengungan doa-doa dari Pak Mudin hanya timbul tenggelam. Ingatanku tertambat disana. Pada perjalanan menemani pak tua itu berkeliling. Pada mimpi-mimpinya yang sering ia utarakan selama singgah di mushala. Pada akhirnya saya tenggelam dalam sesal. Payung warna-warni itu seolah menghitam. Payung hitam Bapak yang sering ia tawarkan pada orang-orang. Payung yang gagah, kokoh menaungi dan menandaskan hujan ke tanah. Mungkin payung-payung yang ada disini pernah kau pegang. Pernah kau perbaiki dengan bisikan nyanyimu yang lirih. Toh selama itu aku hanya menunggu. Belajar memahami dan melanjutkan hidup. Tanpamu, tanpa payung-payung yang bergelantungan di kamar. Apa aku bisa hidup tanpa kau dan payung-payung itu. Akhirnya aku runtuh dalam suara doa dan mataku mulai sembab. Suara pak Mudin berseru terakhir kalinya, Al Fatihah ...... “Bapak, sebentar saja aku sudah rindu”.

--o0o--

Kami adalah tukang reparasi payung keliling. Kami senang singgah di musholla. Untuk istirahat juga sembahyang. Aku dan Bapakku berkeliling ke kampung-kampung dengan membawa beberapa payung rusak yang sudah kami perbaiki dan kami jual dengan harga yang murah. Kami juga dapat mereparasi payung yang rusak ringan maupun rusak berat. Harga reparasi payung sesuai tingkat kerusakannya.

Emak selalu membangkitkan tidurku dengan suaranya yang membuatku geragapan. Toh nasib tak lebih dari takdir yang harus diimani dalam lakon setiap harinya. Emak memasak, Bapak memberesi pesanan payung yang rusak dan aku, membuatkan pelanggan minuman dengan cangkir ukuran yang paling besar. Cangkir-cangkir besar itu berisi teh kental manis dan kuantarkan ke penjual-penjual maupun tukang becak di pasar. Itu kenapa Emak enggan pergi dari warung itu karena tidak pernah sepi dari rejeki. Bahkan untuk meminjam uang pun, koperasi pasar siap disatroni setiap waktu. Para penghuni pasar sudah terbiasa dengan huru-hara setiap pagi. Pembeli yang kecopetan, kecurian sepeda di tempat parkir atau heboh uang pedagang yang raib diambil thuyul. Huru-hara itu seperti kembang api yang senantiasa menghiasi langit saat bulan puasa tiba.

Aku dan Bapak jarang bicara. Kami tidak suka membicarakan sesuatu seperti halnya keakraban dua orang ayah dan anak. Kami suka bicara sendiri. Kelumrahan itu tidak lazim bagi kami.

“Pak... tidak istirahat sebentar ?”, dia terus berjalan dengan membawa kotak kayu perlengkapan yang sudah tua. Lebih tua usia kotak itu ketimbang aku.

“Pak... mendung pak, sebentar lagi hujan”, tandasku sambil mengikuti langkahnya dari belakang. Kalau tidak kasihan pada pak tua ini, lebih baik aku jaga parkir saja di pasar. Lebih banyak uang. Benar saja. Pak tua itu masih diam. Dia terus berjalan sambil setengah berteriak menawarkan jasanya. Bapak terus berteriak ‘Payung Rusak...Payung rusak....’ dan gerimis juga terus bergemerisik diantara atap-atap seng teras rumah.

“sore ini, warung emak akan dirubuhkan San... dan kita akan tinggal dimana?”, terangnya melanjutkan perkataan tadi dan mulai meletakkan kotak perkakas di teras rumah penduduk. Kakiku mulai kaku. Aku merasa orang paling dungu ketika kabar itu sampai di telingaku dengan amat terlambat. Toh jika Emak memberitahuku, lantas apa yang bisa aku lakukan?

“ayo pak kita segera pulang....”. Dadaku terasa panas. Baru kali ini, kumelangkah mendahului Bapak. Kuberjalan setengah berlari. Ingin sekali kakiku melangkah seringan bulu ayam. Namun tidak, kakiku amat berat. Terseok-seok sambil memanggul kotak perkakas dan menjinjing tas berisi payung.

Benar, sampai diujung perempatan lampu merah terlihat banyak kerumunan. Sore hari memang pasar sudah lengang, para pedagang sudah mengangkut dagangannya. Waktu yang tepat untuk merobohkan sebagian bangunan yang dianggap merusak pandangan. Pasar direvitalisasi katanya. Bahasa yang baru kudengar baru-baru ini. Entah apa artinya. Mungkin pasar akan diubah rupa dengan pasar yang lebih modern. Mungkin.

Tapi tidak, pasar semakin kacau. Para pedagang banyak yang demo. Berduyun-duyun berangkat ke balaikota sambil menenteng tas, tenggok, bronjong, karung yang berisi banyak dagangan. Penjual sate kere, daging, sayuran, ikan asin, panci wajan, sampai warung emplek-emplek seperti kami rela berduyun-duyun. Berdesak-desakan masuk lobi balaikota yang ber-AC. Bau amis, asin, tengik dan keringat kami bercampur jadi satu. Para pedagang minta keadilan, minta pasar tak usah dibangun dan ditata ulang macam akuarium berlampu hias. Tempat yang semrawut, ramai dan desak-desakan itulah yang mengantarkan rejeki pada rakyat jelata macam aku dan emak.

Kulihat emak tergeletak disamping trotoar dan dipangku Bu Minah penjual Buah-buahan depan pasar. Terlihat bu Minah mengipas-ngipasi wajah emak yang pingsan. Dia memberi kode padaku dengan menunjukkan jarinya pada Kamtib-kamtib berseragam biru-biru merobohkan warung Emak, kamarku, gerobak makanan dan meja kursi. Beberapa orang berkerumun sambil berbicara adu pendapat. Ada yang bicara lantang seperti pimpinan demo berdiri diatas reruntuhan seng, bambu-bambu reyot dan banyak orang. Banyak juga yang acuh dan hanya menyaksikan para kamtib menyingkirkan beberapa warung yang berdiri rapuh menempel disepanjang dinding pasar sebelah timur. Warung Emak ini ikut berdiri sejak pasar ini dibangun. Menempel hidup disini.

Emak mulai siuman, ditenangkan oleh para tetangga dengan nasehat-nasehat lama. “Semua yang hilang bakal hidup lagi mak.... semua yang hancur bakal kita bangun lagi”, demikian hibur Bu Minah sambil memijit-mijit lengan Emak yang kisut dan berkeringat. Badanku kaku. Lidahku kelu. Semangat untuk mempertahankan warung itu untuk tetap berdiri lenyap sudah. Mereka terlalu kuat, kami terlalu lemah.

Kulihat Bapak tergopoh-gopoh mendekati kerumunan di depan pasar. Tontonan rakyat yang tragis dan mnegiris. Bagi kami ini sebuah tragedi. Bagi mereka, para pemangku kepentingan ini adalah drama. Napas Bapak mulai tak teratur. Tiba-tiba tubuhnya lemas dan terduduk di trotoar sepanjang jalan ini. Beberapa orang yang sadar dengan situasi ini, langsung berlari menuju Bapak. Tanganku langsung meraih tubuhnya yang kulai. Napasnya tersengal-sengal. Nadinya mulai hilang nampak. Aku panik. Beberapa menit kemudian Bapak diangkat ke mobil pick up milik Pak Dandung pedagang sayur. Kerumunan berbalik kearah kami. Ingatanku tentang masa kecil, Bapak dan Emak yang mengambilku dari rumah nenek mulai berkelebat. Lelaki tua pendiam itu teman dekat orang tuaku. Mereka sudah tak ada. Ya lelaki itu harus kupanggil Bapak. Itu kata nenekku. Dan baru kelas 1, aku baru bisa memanggilnya Bapak....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post